Chapter 15

2.3K 104 0
                                    

Salah satu hal yang bisa membantuku berpikir dengan baik adalah memandangi langit. Langit yang berwarna biru polos selalu hal yang paling kusyukuri. Dan hujan adalah hal yang tak kusuka.

Karenanya, memandangi langit di luar jendela pesawat adalah yang kulakukan dari tadi. Rasanya begitu damai.

"Why are you staring at me?" ujarku galak sambil berbalik kearah Gilang. Sejak tadi aku merasakannya menatap dari balik kepalaku. Lebih buruk lagi saat aku melotot galak padanya, dia malah hanya diam dan tak mengalihkan pandangannya sama sekali dari mukaku.

"Well Gilang, bisa kita bikin kesepakatan?" aku berbalik kearah Gilang sepenuhnya sekarang. Dia bersandar di kursinya dengan santai tapi tak mengalihkan pandangannya dariku. Apa dia akan mau?

Aku menarik nafas panjang. "aku udah telp panitia acaranya. Mereka bakal pura-pura kita kesana kalau papa—sebegitu punya waktu luangnya—ngecek ke panitia. Karena aku udah pesan 2 kamar hotel di kute jadi kita sama sekali gak perlu muncul diacara kemah konyol itu. Gimana?"

Gilang masih diam. Apa dia akan mendiamkanku sekarang? Aku sudah bersikap baik pada anaknya tadi. Aku memberikan goodbyehug! Masa aku tak berhak mendapat balas jasa untuk itu.

"Good." Begitu pelan sampai aku tak yakin mendengarnya.

"Really? You won't tell my father?" dia setuju? Dia setuju dengan rencanaku? Sepanjang malam aku tak bisa tidur takut dia akan menolak ideku.

"apa aku harus kasih tahu om Richard?" aku menggeleng cepat. Saking leganya aku melompat memeluk Gilang dari kursiku.

Sepanjang malam aku cemas memikirkan kehidupanku 3 hari ke depan di bawah tenda. Selain rasanya aku tak akan bisa tidur. Aku rasa aku juga tak akan bisa bernafas. Aku kemah? Yang benar saja.

"Thank you! Thank you very much!!" aku memberinya senyum terbaik yang bisa kuberikan. Gilang hanya terpatung. Jadi aku melepas pelukanku yang terasa begitu berlebihan sekarang. "sorry. Cuma aku kira kamu gak bakal mau." Rocosku semangat.

Sama sekali lupa kalau Gilang cukup berperan kenapa aku dikirim kesini. Perasaanku tiba-tiba ringan dan langsung berganti dengan minat liburan.

Tahu-tahu tanpa sadar aku terbangun dengan kepala di bahu Gilang. Aku ketiduran?

***

Tak kusangka semuanya bisa berbalik menjadi liburan yang menyenangkan sekarang. 3 hari tanpa hanya dan kucing salah nama itu? Well. Itu baru liburan.

"butuh bantuan?" aku sedang menggeret koperku dari bus saat suara ramah itu menyapa. Aku berbalik dan mendapati seorang cowok, yang mungkin seumuran denganku sedang tersenyum lebar. Tangannya menunjuk kearah koperku.

Apa aku terlihat tak kuat membawa koperku sendiri? Dan lagi, dia cowok yang memadangiku sepanjang perjalanan di bus hingga ke hotel tadi. Biasanya aku akan mengusirnya tapi mungkin ada baiknya aku bersosialisasi kan?

Seperti kata Hany.

"Yes, please." Lalu dengan tak biasa, aku memberikan senyum. Dengan semangat cowok itu mengambil alih koper. Aku rasa disini cukup ramai kalau ternyata cowok ini adalah pencuri koper.

Aku yakin koperku berat. Tapi dengan senyum lebar cowok itu menggeret koperku hingga ke resepsionis. Terkadang, cowok dengan egonya sungguh lucu.

"Makasih ya.." aku mengulurkan tanganku untuk mengambil koper tapi dia malah menangkap tanganku lalu menyebut namanya cepat.

"Ryan, by the way." Langsung berkenalan? Wah, cowok ini cepat juga. Aku hampir saja tertawa disana. Lihat, belum lagi cengiran bodoh yang dipajangnya itu. Apa dia pikir aku baru saja jatuh cinta setengah mati hanya karena dia membantuku membawa koper?

"Jadica." Ucap ku setelah beberapa saat dan menuntutnya melepas tanganku.

Baru saja aku berniat mengusir Ryan. Tiba-tiba ada 2 orang cowok lagi yang muncul bergabung entah dari mana. Dua orang itu jelas-jelas teman si Ryan karena mereka langsung menyambar bahu Ryan. Apa aku perlu meladeni 2 orang ini juga?

Tunggu, satu Ryan saja cukup. Sekarang saja melihat cengiran bodoh Ryan itu, aku sudah hampir menyesal mencoba sosialisasi.

"Wah, ketemu cewek cakep gak ingat kita. Siapa ini?" bisa kulihat, Ryan dengan berat hati memperkenalkanku pada temannya.

"Jade." Jawabku. Lalu sengaja memperbaiki kacamataku, mengabaikan tangan cowok yang malah terlihat lebih bodoh dari Ryan. Ingatkan aku. Kenapa aku melakukan ini tadi? Seharusnya aku langsung mengabaikan Ryan tadi. Sekarang, aku harus membayar mahal hanya karena koper.

Bertolak belakang dengan reaksi cowok yang tangannya tak kuabaikan itu, Ryan malah tertawa.

"Kyle." Hanya saja, cowok itu ternyata lebih tebal muka dari pada Ryan. Tak perduli tangannya yang tak kusambut, dia tetap memberiku cengiran bodoh itu. Ada apa cowok dengan cengiran bodoh seperti itu?

"Andi." Cowok terakhir yang berkacamata—yang kelihatannya lebih punya kesadaran—hanya melambaikan tangannya kearahku. Aku mebalasnya dengan senyum ringan.

"Berapa lama disini?" Tanya Kyle. Dia ingin mengajakku mengobrol? Apa dia tak melihat aku yang sudah siap pergi?

"aku check in dulu ya. Bye."

Setelah itu aku menggeret koperku dengan cepat dari depan 3 makhluk itu. Menyesali setengah mati hal konyol yang kulakukan tadi. Mungkin aku terlalu berlebihan dalam bersosialisasi. Atau aku baru saja salah tempat mengaplikasikannya?

Saat seorang cowok berdiri begitu dekat disampingku, aku berbalik dengan niat memaki yang tinggi.

"Where are you gentleman?!" semburku menatapnya. Apa Gilang memutuskan untuk mati saja tadi? Kenapa dia sama sekali tak menyelamatkanku dari 3 cowok abege itu?!

"aku dibelakang kamu." Jawabnya pendek.

"itu maksud aku." Kecamku frustasi.

Kesal karena aku baru saja mengikuti saran pemilik kucing salah nama itu dengan mentah-mentah. Aku matu mati saja. Sosialisasi? Sosialisasi my ass.

Seharusnya aku cukup pengalaman untuk tahu kalau sosialisasi dan Jadica hanya tak pernah bisa duduk satu meja dengan damai. Apa yang kulakukan barusan rasanya hal paling memalukan dalam hidupku.

Aku baru saja menerima tawaran cowok membawa koperku? Sungguh Jadica. itu hal memalukan yang pernah kau lakukan.

Akan kubawa malu ini hingga ke liang kubur. 

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang