Chapter 40

1.7K 86 0
                                    

Aku hanya terdiam memandangi apa yang kulihat. Ini, sungguh melebihi semua hal yang bisa kutolelir. Banyak yang bermanfaat yang bisa ku kerjakan tapi kenapa aku malah disini?

"hey. Berhenti ngasih tampang kayak kamu diajak bunuh diri." Gilang menyikutku.

Dia menyikutku?

Apa kami begitu dekat hingga dia merasa tak apa menyikutku? Apa kami sahabat yang setiap hari saling bertukar cerita? Karena terakhir aku cek, dia masih tertukar antara namaku dan nama istrinya. Luar biasa. Dan sekarang, papa dan Gilang menyeretku ke.. acara apa ini?

Jade, hari ini sekolah Hany ada pentas seni, orang tua diharapkan hadir. Kamu juga gak sibuk-sibuk amat kan? Ayo ikut.

Begitu. Setelah mengatakan itu, papa dan Gilang menyeretku dari kantor. Kalau tadinya Diana menggodaku karena Peter, tadi dia melotot melihat Gilang menggandeng tanganku keluar kantor. Tapi aku rasa aku lah yang melotot paling tajam.

Aku sudah menebar semua mantra anti Gilang dan kenapa dia terus-terusan kembali ke depan hidupku?! Argh. Aku benci ini.

Apalagi sekarang. Duduk di kursi tak penting ini, untuk menyaksikan pertunjukan tak penting dan acara yang jelas, tak penting.

"Jade. Sebentar lagi giliran Hany." papa berteriak penuh semangat.

Apa papa sudah mengadopsi Gilang dan membuat Hany cucunya yang sah secara hukum? Apa dia tak akan mewariskan perusahaan kepadaku sekarang?

Lihat. Betapa hebatnya cerita ini berjalan.

Dengan sangat terpaksa dan mengutuk semua hal, aku mengangkat kepala, memandangi panggung kecil. Semua orang tua terlihat riuh bertepuk tangan. Tepat saat gorden panggung diangkat hape ku berdering.

Hebat. Sesuatu yang kubutuhkan.

"pa, aku angkat telp dulu."

Lalu tanpa babibu, aku kabur keluar aula.

Siapa yang menelpon? Tak ada namanya. Tapi ya sudah, aku akan mengangkatnya karena telp ini sudah membantuku meloloskan diri dari masalah yang begitu pelik.

"hallo."

Hening. Tak terdengar jawaban.

"hallo."

Hening.

"oke. aku tutup sekarang."

"tunggu."

Ada yang bicara? Aku kembali mendekatkan hape ke telinga. Siapa orang ini?

"kamu lagi pakai baju biru kan? Sekarang lagi berdiri di belakang tiang aula SD." Katanya. Aku terdiam. Mengecek nomor dan tak bisa mengingat siapapun dengan nomor itu.

"kenapa?" apa dia memata-mataiku? Well, dia mungkin tak jauh dari sini.

"ya ampun. Kamu bahkan gak nanya aku siapa?"

Kali ini, aku yakin dia orang gila. Maka tanpa basa-basi, aku langsung menutup telp. Maaf, setidak pentingnya acara Hany, aku rasa telp ini lebih tak penting. Heran. Kenapa orang begitu sering mengerjakan hal tak penting.

"kamu matiin telp begitu aja?"

Terlompat karena kaget, aku berbalik tiba-tiba. Lalu terdengar tawa yang pecah mengikuti tampang kagetku.

"kamu."

"aku." jawabnya. Kembali, dia maju beberapa langkah dan memberiku senyum manisnya. Baik, biar bagaimanapun, aku tahu dia punya senyum yang manis.

Si polisi alias cowok yang hampir kucium saat di Bali, lengkap dengan seragam polisinya melambai senang kearahku. Aku melihat ke kiri dan ke kanan dan kemudian baru yakin kalau dia benar-benar menargetkanku. Kenapa dia jadi ada dimana-mana?

Menghela nafas, aku melipat tangan di dada dan bediri lebih tegap.

"kenapa lagi? Aku Cuma punya satu mobil buat kamu tilang." Dia hanya menahan tawa mendengar omonganku. Sungguh. Aku tak berusaha melucu dan aku benar- benar serius. Ini bukan kantor polisi dan ini jelas bukan tempat untuk mengurus tilang menilang.

"dan kamu juga Cuma punya satu hati buat aku tilang kan?"

What?

"oke. Itu tadi gak lucu. Kamu ngapain disini? Setahu aku kamu belum menikah. Ya, belum menikah bukan berarti kamu gak punya anak. Anak kamu disini?"

Aku lebih suka cowok ini saat di bali. Tak banyak tanya dan kami bisa menikmati waktu yang sangat menyenangkan. Sekarang, dia muncul di depanku dengan kepribadian yang sangat berbeda. Maka, menolak menjawab, aku melempar hape ke dalam tas. Berbalik.

Baik, aku akan pulang saja. Hany dan pentas seninya dan polisi ini boleh kembali ke neraka. Aku tak perduli! Kenapa aku harus menonton pentas seninya? Aku bahkan tak punya sekedar secuil hubungan darah agar punya sedikit alasan untuk hadir kesini. Aku bahkan tak datang wisuda ku sendiri. Kenapa aku harus menghadiri pentas seni anak SD? Luar biasa.

"Jade. Tunggu!"

Langkah penuh semangatku untuk pergi tiba-tiba saja tertahan. Saking tak menyangka seseorang akan menangkap lenganku, aku sampai berputar dan mendarat tepat di...

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang