Demi kebaikan semuanya. Aku perlu menjauhi Gilang.
Setelah itu, aku menyambar tas dan berlari ke pintu. Jurus ampuh. Kabur! Belum jauh aku melangkah. Gilang menyambar tanganku saat di pintu. Matanya menatapku tajam. Dia kenapa?
"aku udah bilang mau jemput kamu kan?" suaranya terdengar berat dan nada kesalnya kembali lagi. Aku menarik tanganku. Sampai kapan dia akan muncul dan tiba-tiba perduli? Apa dia tak melihat betapa tak tertolongnya aku?
"aku bisa pulang sendiri." Kecamku.
"aku tahu. Tapi aku jemput kamu." Ulangnya.
Jemput? Aku tak pernah familiar dengan kata itu. "aku bawa mobil sendiri."
"udah jam segini Jade. Kita pulang pake mobil aku." Dia menarikku keluar ruangan. Tanpa bisa kulawan, kami sudah di depan lift.
"Gilang. Kamu gak usah ngelakuin ini semua cuma karena papa minta tolong." Dia melepas tanganku. Kami berdiri saling melotot sambil menunggu lift terbuka. Aku bersyukur ini jam 2 pagi. Bayangkan kalau ini jam 2 siang.
Tangannya terangkat dan bertengger di puncak kepalaku. "aku gak kesini karena om minta tolong Jadica. Aku gak tega lihat kamu pulang sendiri jam 2 pagi."
Jantungku berhenti berdetak. Terlebih saat dia menepuk-nepuk kepalaku disertai senyum manis yang tepat di depan hidungku. Gagal. Ronde kedua 'menetralisir pesona Gilang' baru saja hancur berkeping-keping.
Apalagi saat tangannya menggengam tanganku dan menarikku masuk lift. Aku tahu, aku hanya tamat. Game over.
Dia melakukannya lagi kan?
Dia baru saja melakukannya lagi.
Kepalaku sakit. Dadaku sesak. Aku terpesona.
"Karen. Kamu tahu kan kamu keras kepala?" aku berbalik menatapnya. Mendapati wajah tersenyum Gilang yang terlihat bangga berhasil menarikku pulang dengan tangan yang masih menggenggam tanganku.
Di suatu sore, aku sedang menyusun berkas-berkas yang baru saja selesai kubereskan. Lalu hampir berantakan lagi karena Diana yang tiba-tiba masuk. Matanya bulat membesar. Pasti, apapun yang ingin dikatakannya sekarang, akan berhubungan dengan hidup mati seseorang.
"ada cewek cantik banget di resepsionis. Dia minta ketemu pak Gilang cuma kayaknya ditolak. Sekarang dia lagi dihandle sama Bima, assistennya pak Gilang. Tapi dari meja aku aja kedengaran dia jerit—kasih tahu Gilang! Karen! Mantan istrinya mau ketemu. Sekarang!—kenceng banget suaranya bos." Aku Cuma bengong sambil merapikan letak pajanganku yang kembali bergeser 7 cm akibat meja yang di gebrak Diana. Itu hal hidup dan mati tadi?
"Na. Itu sama sekali gak penting." Diana melotot. Tak terima yang dikatakannya itu tak penting.
Sekarang, aku tak menyangka itu akan penting. Karena, kalau Diana tak menggebrak meja sedemikian keras, aku mungkin akan mengganggap Gilang hanya sekedar tertukar menyebutkan nama dengan nama seorang pegawainya. Dan aku akan menipu diriku sendiri kalau perhatian Gilang selama ini berarti sesuatu. Terima kasih Diana.
Aku menarik tanganku dari genggaman hangat Gilang dan menekan tombol agar pintu lift kembali terbuka. Lalu berbalik memandang Gilang yang masih tersenyum disampingku.
"Gilang. Nama aku, Jadica." Aku menarik nafas panjang dan menatapnya baik-baik. "bukan Karen. Tapi Jadica."
Aku keluar dan menutup lift dibelakangku dan berlari ke tangga.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey of Miss What (completed)
RomansaWHAT? Di umur 18 tahun, aku seorang master akuntansi lulusan universitas ternama Inggris. 2 tahun setelah itu, sekarang, aku seorang wanita karir dengan aktifitas yang serba teratur. Seperti, aku bangun dijam setengah 5 pagi dan jam 7 aku siap beran...