"Hey dad." Aku mencium pipi kanan papa sambil menarik kursi. Dia mengajak kami—ya, kami. Bukan hanya aku, karena disana sudah ada Gilang dan Hany—ke restoran jepang. Semua makanan sehat itu. Ah, bisa kudengar semua menu memanggil namaku.
Tapi, mendapati Gilang yang tak sekedar mengangkat muka saat aku datang. Positif. Dia masih kesal. Berbeda dengan Hany yang menyapaku dengan teriakan melengking khas suku pedalamannya. Terkadang anak itu hanya terlalu ajaib atau dia benar ajaib?
Papa dan Gilang sepakat memfokuskan pembicaraan mereka pada Hany. Hany yang luar biasa bisa menguasai nervousnya. Dia berhasil memulai hari pertama sekolahnya dengan sukses. Menurutku itu bukan hal penting. Tapi, kedua bapak itu sepertinya tak akan setuju dengan pendapatku.
Belum lagi, Hany yang tersenyum bangga saat memandangku. Aku hanya menyeringai sambil memasukan satu gigitan penuh sushi. Aku makan lebih banyak dari biasa. Kalau biasanya aku banyak makan, kali ini, aku kalap. Mengabaikan makan dengan anggun, aku sengaja memenuhi mulutku dari pada harus ikut mengobrol. Karena aku yakin, aku tak akan bisa menyatu dengan topik yang sudah di pilih ini.
Boro-boro memuji, bisa saja aku malah menghina Hany. lalu Gilang akan menusuk kedua mataku dengan sumpit. Membuatku, memandangi mobil-mobil yang lewat tanpa suara. Walau saat mengalihkan pandangan pada tamu-tamu restoran itu, aku tak tahan melihat dasi mereng seroang bapak-bapak. Kenapa dasi itu tak tergantung dengan rapi?
"jade, kamu kenapa diam aja dari tadi?" aku tersedak. Kaget seseorang tiba-tiba ingat aku ada dimeja yang sama. Tanganku menggapai gelas tapi seseorang sudah mengambilkannya untukku. Gilang. Aku hanya menggangguk berterima kasih sebelum menghabiskan airnya. Lalu memandangi papa dengan kesal.
"Table manner, remember?" ujarku seadanya sambil berusaha untuk tidak menambahkan 'duh'. Dan kembali memasukan satu sushi utuh.
"it is what people call as communication, Jade." Untuk pertama kalinya aku memandangi Hany. What did she just say? "dan itu poin dari makan bareng. Saling bertukar cerita sambil makan. Berkomunikasi dan sosialisasi." Dia tersenyum manis setelah mengajariku.
Apa itu yang diajari di sekolah sekarang? Tak heran menghasilkan anak-anak seperti Hany. Mereka tak mengajarinya sekedar mewarnai kotak dengan berbagai warna lagi kurasa. Sekali lagi, aku tersedak. Tanganku menjangkau minum. Setelah menghabiskan satu gelas air keduaku untuk mendorong sushi, aku menarik nafas dalam-dalam. Take a deep breath. Sabar jade.
Tadi pagi Gilang merasa perlu membuatku merasa seperti sudah membunuh anaknya itu secara sengaja didepan matanya. Siang ini, Hany merasa perlu mengajariku. Obat. Aku butuh obatku.
"Yeah, communication and socialization. " Dan aku memasukan udang goreng untuk menyumpal mulutku sebelum aku memaki Hany. Seharusnya dia tahu, aku bukan orang yang punya emosi yang terkendali. Aku bisa saja menyiram cuka ini ke matanya kan?
Papa memeriahkan suasana dengan menambahkan. "Maklum, Jade memang gak terlalu suka keramaian." Kemudian mereka tertawa bersama papa.
Aku memijit keningku yang senat-senut tanpa alasan. Oke, aku punya alasan yang sangat jelas kenapa kepalaku mesti senat-senut. Rasanya aku sedang di toilet sementara di luar sana, sekumpulan cewek yang sedang membenarkan dandanan sedang bergosip seru.
Dan, mereka menggosipkanku.
Jadi, demi menjaga nyawa Hany, yang ku takut akan hilang begitu saja, aku memasukkan sayur salad paling besar ke dalam mulutku. Mungkin aku perlu ikut kelas manajemen emosi. Karena di manajemen keuangan, kami tidak mempelajari cara menahan amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey of Miss What (completed)
RomanceWHAT? Di umur 18 tahun, aku seorang master akuntansi lulusan universitas ternama Inggris. 2 tahun setelah itu, sekarang, aku seorang wanita karir dengan aktifitas yang serba teratur. Seperti, aku bangun dijam setengah 5 pagi dan jam 7 aku siap beran...