Chapter 22

1.8K 97 0
                                    


Nafasku tertahan ditenggorokan saat memasuki halaman rumah, kenapa ada mobil pemadam kebakaran? Belum lagi asap pekat yang membubung dari belakang rumah. Aku mencengkram lengan Gilang begitu erat. Apa yang terjadi?

Taksi yang kami naiki dari bandara belum lagi berhenti dengan sempurna saat aku dan Gilang melompat keluar dari mobil. Kebakaran!

"PAPA!!!" hanya satu nama itu yang terlintas dikepalaku saat menabrak semua petugas berseragam oranye yang dengan tak tahu diri berdiri dijalanku.

Papa! Mana papa?! Ya Allah...

"ada apa?" aku tak bisa mendengar dengan baik jawaban petugas atas pertanyaan Gilang. Aku berusaha lari menembus semua orang yang sepertinya berjuta-juta didepan rumahku. Dimana papaku?!

"Jade. Jadica." dari belakang aku mendengar suara papa. Aku kontan berbalik tapi malang, malah tersandung selang air. Aku jatuh. Menabrak sesuatu. Menghantam sesuatu. Kemudian, Gelap.

***

Kepalaku sakit. Lututku sakit. Tapi seseorang memanggilku. Memaksaku membuka mata. Ada yang menggenggam tanganku begitu erat. Ada yang mengelus rambutku dan ada yang memelukku. Mataku tak ingin terbuka. Terlalu berat.

"Jadica. sayang. Buka mata kamu..." satu elusan kembali mengusap rambutku. Suara papa. Jadi, dengan sekuat tenaga, aku membuka mata.

Papa memakai hiasan kepala suku indian dan muka yang tercoret-coret tak jelas. Dia yang mengelus rambutku. Hany juga memakai hiasan indian dengan muka yang dicoret, lengkap dengan bajunya, dan dia yang menggengam tanganku sambil bercucuran air mata. Dan aku, sedang berada dirangkulan Gilang. Pasti bermimpi.

Sekali lagi aku membuka mata dan mendapati pemandangan yang sama. Papa dan Hany yang berdandan ala suku indian, dengan Gilang yang merangkulku erat. Baru beberapa saat kemudian aku bisa mencerna apa yang mereka katakan dengan lebih baik.

"alhamdulillah. Terima kasih ya Allah." Papa mencium keningku. Dia lanjut mengatakan hal lainnya. Membuat kepalaku jadi pusing. Aku ingin meraba keningku tapi tak bisa melepas tanganku yang dipeluk erat Hany. Dia masih menangis bombay dengan alasan yang tak bisa kutebak.

"kamu gak papa kan Jade?" dia memelukku. Berhenti memelukku Hany! Lututku. Lututku juga berdenyut aneh. Tapi aku rasa aku masih hidup kalau masih melihat Hany. karena aku yakin Hany terlalu menyebalkan untuk mati bersamaan denganku. Tapi kenapa aku yang harus mati?

Kebakaran. Rumah yang berasap. Sirene mobil pemadam. Papa.

Tapi perhatianku teralihkan saat Gilang menyapukan tangannya ke pipiku. "aku rasa ada baiknya Jadica dibawa ke kamar om."

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang