Salah satu alasan pembantu rumah kami tak tinggal disini adalah, ketidak sukaanku pada keramaian meski hanya satu kepala. Jadi, bisa dibayangkan dengan 3 kepala tambahan? Tidak. Seharusnya tidak ada. Apa coba yang bisa dilakukan seorang duda, anak kecil dan seekor kucing yang mungkin akan membuatku merasa keberatan? Seharusnya seperti yang kukatakan, kami bisa hidup tanpa saling menganggu dan saling mengabaikan. Nyatanya, AKU KEBERATAN!!
Tok! Tok! TOK!
Dengan kesal aku kembali menggedor pintu kamar Hany. Aku tak bisa tidur demi menunggu jam menunjukkan waktu yang tepat untuk menggedor pintu kamar seorang anak umur 8 tahun. Sebentar lagi, aku mungkin akan menerjang pintunya begitu saja. Ini rumahku dan aku berhak untuk menghancurkan pintu manapun tanpa perlu mengetuk tapi aku mengetuk. Aku sudah cukup baik kan?
Tidak. Aku akan membunuhnya begitu pintu ini terbuka.
Bagaimana mungkin mereka sukses hampir membunuhku 2 kali dalam jangka waktu kurang dari 24 jam? Bagaimana bisa? Pertama, aku hampir kehilangan nyawa saat terjun bebas menghantam lantai dari atas tangga. Sekarang, yang kedua, aku hampir memecahkan kepalaku dengan menghantamkannya keatap mobil karena si kucing. Benar sekali. Kucing!
Sial.
Kepalaku masih sakit karena menghantam atap mobil. Kenapa kucing itu dibiarkan berkeliaran? Dia tiba-tiba meloncat ke kap mobilku dan mengeong kencang. Awalnya aku kira mata berkilat itu sejenis iblis hingga saking kagetnya aku langsung berdiri begitu saja di dalam mobil. Tentu saja, atap mobilku tak ikut berdiri dan aku menabraknya. Dengan kencang. Kenapa kucing itu tak diikat?
TOK! TOK! TOK!
Sekali lagi aku menggedor pintu kamar Hany. Dia memakai kamar yang ada di lorong yang sama denganku. Setelah sepertinya 3 per 4 abad kemudian, pintu itu terbuka. Terbuka tepat sebelum aku memutuskan aku sudah cukup sopan dan hampir mendobrak pintunya dengan kakiku. Mungkin saja gagal tapi sesaat aku berharap aku akan berhasil dan pintu itu akan menghantam pemiliknya sekalian. Sungguh. Sejak kapan aku jadi begitu jahat?
Muncul Hany dengan mata masih super mengantuk dan memeluk boneka kuning berbentuk kotak memakai celana serta berhidung. Dia bahkan tak repot membuka matanya. Hanya tetap terpejam. Secara sadar aku memerintahkan jantung menyuplai seluruh darah segar berkuota oksigen hingga keujung jari. Terutama otak. Karena aku ingin melempar anak ini dari lantai 2 sekarang juga, kalau sampai otakku tak mendapat suplai oksigen segar.
Dia bahkan belum membuka matanya sama sekali?
"Hany." kecamku berusaha membangunkannya dan berusaha menahan diriku sendiri dari berteriak. Tak menghargai usahaku, dia mendongak dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka.
"pagi kak. Kenapa?" Sapanya sambil menguap tak mendengar sama sekali sanggahan cepatku. Sudah kubilang, aku bukan kakaknya. Tapi dia sepertinya akan kembali tertidur jadi aku langsung bicara.
"aku pengen ngomong tentang kucing itu."
"bunny?"
"kucing."
"iya, namanya bunny." Jawabnya dengan nada penuh kantuk. Jelas tak menyadari tanganku yang terkepal erat. Makhluk di depanku ini benar-benar bernafas dan hidup kan? Dimana-mana, kucing diberi nama kitty. Mungkin saja pergaulanku minus tapi setidaknya aku tahu diseluruh dunia, bunny adalah nama untuk kelinci.
"kucing itu." aku menolak menyebutkan nama salah itu demi pengetahuan. "kamu punya kandangnya? Atau rantai? Atau apa aja? Jangan lepas kucing itu berkeliaran di rumah." Membayangkan aku memegang benda yang sama dengan benda yang mungkin tadinya bekas di jilat kucing itu... Ya sallam! Ini masih rumahku kan?

KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey of Miss What (completed)
RomansWHAT? Di umur 18 tahun, aku seorang master akuntansi lulusan universitas ternama Inggris. 2 tahun setelah itu, sekarang, aku seorang wanita karir dengan aktifitas yang serba teratur. Seperti, aku bangun dijam setengah 5 pagi dan jam 7 aku siap beran...