"kamu punya rencana bakal nginap sampai senin?" usapan tangan yang menyapu poniku hingga memperlihatkan terangnya sinar lampu membuatku terbangun. Lalu dengan susah payah membuka mataku serta memperbaiki posisi duduk. Yang kulakukan malah, mendorong kursi terlalu jauh dan berakhir dengan aku yang terduduk di bawah meja.
"ehm, mau dibantu?" tawarnya.
"aku bisa sendiri!!" jeritku frustasi.
Aaaarrrrggghhhh! Sakiit. Pantatku. Sepenuh tenaga dengan nyawa yang masih melayang aku bangun-sambil tak sengaja menghantamkan puncak kepalaku kebawah meja dalam proses bangun itu. Mana kursiku?
Begitu akhirnya berhasil kembali duduk dengan tangan rapi diatas meja, aku mendapati Gilang duduk di kursi depan mejaku. Dia duduk tenang sambil memandangiku dengan tangan terlipat didada. Ini benar orangnya atau khayalanku kembali liar?
"kenapa kamu kesini?"
Yang kutanya hanya diam memandangiku. Lalu dia menghela nafas dan bangkit mendekat. Mau apa dia?
Dari seberang meja dengan tangan terulur, dia membenarkan kacamataku yang ternyata bertengger mereng. Untuk melengkapi kekagetanku, dia merapikan poniku. Poniku. Kalian tahu kan? Rambut yang dipotong lebih pendek. Itu... yang tepat diatas kening. Ya! Itu poni dan Gilang baru saja merapikan poniku-yang kuyakin, memang layak untuk dirapikan. Bukannya aku terbangun karena dia juga menyentuh poniku tadi?
Poni yang beruntung. Aku iri.
Gilang tertawa pelan. "Jade, ada pena nempel di pipi kamu." Apa?
Tanganku buru-buru meraba pipi. Benar. Ada pena tertempel disana. Bagaimana mungkin? Tak heran Gilang tertawa.
Mau apa dia kesini??
Aku sedang menjalankan program menetralisir Gilang dari kepalaku ronde 2. Benar. Belum ada apa-apa aku sudah 2 ronde berusaha menyadarkan diri dari pesona Gilang.
Ronde pertama di bali dan sekarang yang kedua. Sejak lututku cidera, dimana-mana Gilang. Bahkan di depan kamar mandi perempuan! Apa dia menyamakan jadwal ke toiletnya denganku? Aku bisa gila.
Belum lagi dia yang tiba-tiba muncul saat makan siang sambil membawa menu makanan laut favoritku. Atau makanan itali. Atau ayam bakar di ujung jalan itu. Argh! Ini buruk. Aku tak suka menunggu seseorang saat akan makan. Sekarang, aku jadi memandangi pintu setelah Diana pamit makan siang. Ini buruk kan?
Aku benci membuat diriku menjadi pecundang. Dan Gilang membuatku menjadi pecundang. Papa pun ikut berperan. Dia seperti sengaja menjadi pengasuh Hany demi membuat aku dan Gilang tinggal berdua. Terkadang, aku benar ingin bunuh diri saja.
Kenapa dia selalu bisa tiba-tiba muncul sambil memberikan senyum seperti itu? apa dia tak tahu? Apa dia tak mendengar bisik-bisik wanita satu kantor dari balik dinding ruangannya yang tipis itu, kalau senyumnya membuat hati mereka meleleh?
Dan aku termasuk dari salah satu wanita itu. bodohnya aku.
"ngapain kamu kesini?" tanyaku sambil memejamkan mata. Aku masih mengantuk. Lagi pula, lebih baik tak memandangnya saat bicara. Kalian tahu kan? Matanya itu berbahaya.
Aku bisa mendengar dia menarik kursinya mendekat kearah meja. Selain tak usah memandang matanya, tak mencium bau wanginya adalah penting. Aku tak pernah suka parfum tapi Gilang punya aroma lain yang membuat seluruh syarafku bangun dan meneriakkan namanya. Argh! Aku bisa gila.
"kamu ingat aku nelp kan?"
Hmmm. Mungkin. Apa tadi aku mengangkat telp?
"jadi, kamu benar bakal disini sampai senin?" dia mengulang pertanyaannya tadi. Yang membuatku terbangun. Apa dia tak bisa membangunkanku seperti saat dia membangunkan Hany? dengan sedikit usapan rambut dan ciuman kecil di kening.
APA?! Tampar dirimu sendiri Jadica. TAMPAR!!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey of Miss What (completed)
Roman d'amourWHAT? Di umur 18 tahun, aku seorang master akuntansi lulusan universitas ternama Inggris. 2 tahun setelah itu, sekarang, aku seorang wanita karir dengan aktifitas yang serba teratur. Seperti, aku bangun dijam setengah 5 pagi dan jam 7 aku siap beran...