Chapter 48

2K 74 2
                                    

"BOS!!"

Hmmm...

"BOS!!"

Hmmm....

"BOOOOOOOOSSSS!!!"

Oh god. "WHAT?!"

Aku duduk dan menurunkan selimut yang tadinya menutup mukaku dengan sempurna. Mendapati Diana yang masih memakai piyama serta mantel tebal dan sandal bulu super besarnya. Aku tahu ini dingin tapi sungguh. Dengan pemanas ruangan yang berfungsi baik, dia sungguh tak perlu memakai semua pakaian di luar ruangan antartika itu di dalam rumah.

"what?"

Dari semua orang kenapa harus dia yang kuajak sekamar? Diana melebihi alarm paling kencang sekalipun. Tak perduli aku memplototinya, dia hanya langsung melompat ke tempat tidur sambil menaruh laptop.

"its calling ur father time...." jeritnya riang sambil menempelkan layar laptop ke mukaku.

"Jadica!"

Aku baru saja akan menyemprot Diana tapi terhenti saat mendengar suara papa. Suara yang selalu berhasil menghilangkan rasa marahku saat dibangunkan pada tengah malam oleh Diana. Ya, perbedaan waktu dan papa terlalu tua untuk berkorban. Maka, aku yang menyesuaikan waktu dengannya.

"hai dad. Whats up?"

Papa tertawa dan bilang kalau dia hampir tak bisa membedakan mana aku dan mana bantal saking miripnya mukaku dan bantal.

"apa?"

Lalu aku menanyakan pekerjaannya. Seperti papa yang menanyakan bagaimana kuliah ku besok. Dan mengingatkanku kalau S3 itu sudah cukup, jangan berencana mencari S4 lagi. karena papa bilang dia sudah begitu tua kalau masih harus menungguku lulus, mencari pacar, menikah, dan punya anak. Dia takut akan mati lebih dulu dari pada menimang cucu.

"papa bercanda? Orang papa kayaknya bakal hidup lebih lama dari aku."

"tapi, gimana kabar mama kamu? Kamu mampir kan?" tanyanya. Sambil mengacungkan jempol aku mengangguk. Mama dan keluarganya liburan kesini awal akhir musim gugur kemaren. Ditemani Diana, aku menemuinya. Ya, bersikap dewasa.

Satu hal yang kuambil dari semua ini juga mungkin dari seseorang. Mungkin mama bukan satu-satunya yang bersalah dan aku berhenti keras kepala.

Aku menemui mama. Tak bisa kugambarkan betapa bahagianya mama—didepanku—saat aku menjumpainya, untuk pertama kali setelah puluhan tahun dengan tersenyum. Meski aku tetap tak ingin adik tiri ku itu merasa dekat, mau tak mau berakhir dengan mereka memeluk ku senang.

Bisa bayangkan muka Diana? Dia merasa sebagai orang yang sudah begitu berjasa berhasil membuatku menjadi lebih manusia.

Itu bahasanya.

Seakan selama ini aku berjalan hilir mudik sebagai setan.

Baik. Kuakui, sekamar dengan Diana jelas merubah banyak hal.

Dia melanjutkan S2 dengan biaya kantor dan aku juga memutuskan untuk kembali kuliah. Aku bilang, kalau Diana belum juga bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Mungkin aku harus mengambil kuliah lanjutan lagi. atau aku tak keberatan mencari jurusan lain dan mengulang dari awal. Aku punya banyak waktu luang.

"kamu tetap belum mau pulang Jade?" papa memandangiku dengan penuh harap dari kamera laptopnya. "ini..."

Aku menggeleng.

"papa sarapan apa tadi?" potongku cepat sebelum papa mengungkit apapun.

Lagi pula Diana sudah berkedap-kedip di ujung tempat tidur, dia ingin menghubungi pacarnya, si kapten Daniel tersayang. Sungguh. Aku mungkin akan mati terlalu banyak mendengar semua ungkapan sayang kedua orang itu.

***


The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang