Aku tak akan menyangka akan melakukan ini dalam hidupku. Tunggu, aku tak percaya mereka berhasil membuatku melakukannya. Ini hal paling absurd yang kulakukan. Bagaimana mungkin aku melakukan hal ini? Masih begitu banyak hal lain yang bisa kulakukan selain melakukan hal ini. Ini... hal paling tak berguna.
"Jade. kenapa gak lihat ke layar?" aku memandang Hany dengang garang dari balik kacamataku. Karena ruangan theater yang remang, aku yakin Hany tak menangkap sama sekali pelototan mataku.
Papa dan Gilang pun terlihat menikmati film yang sedang di putar. Ya, Hany memaksa semua orang menonton barbie. Dia bilang salah satu tokoh yang ini mirip aku. Sungguh, aku menyesal tak merantai diriku ke tempat tidur. Seumur hidup aku tak pernah menonton barbie dan aku menontonnya di umur setua ini. Lucu sekali.
Entah bagaimana, aku tak terbangun di sofa theater rumah tapi diatas tempat tidurku. Dengan Hany memelukku erat dari samping. Dan kucing yang mengeong di ujung selimut.
Mungkin, teriakanku terdengar hingga kutub selatan dan membangunkan semua pinguin.
***
"kopi." papa menaruh kopi dengan asap masih mengepul di depanku. Dari semua hal, aroma kopilah yang paling kusyukuri hari ini. Karena aku hampir menghabiskan semua obat penenangku tapi tak berhasil meredakan emosi sama sekali.
"sarapan." Gilang menaruh nasi goreng disebelah kopiku. Lalu mataku hampir keluar gara-gara hiasan yang ada diatas nasi goreng. 2 irisan timun menjadi mata. 1 batang sosis menjadi hidung. 2 iris tomat menjadi pita diatas tumpukan selada. Dan, satu tulisan memanjang bertuliskan 'smile' di tempat yang mungkin seharusnya mulut. Apa ini?
"pagi Jade." Hany menabrakku dengan pelukannya. Aku refleks mendorong anak itu setelah 3 detik. Dia terlihat luar biasa cerah hingga menyilaukan. Untuk ukuran anak yang baru kutendang dari tempat tidur pagi ini, dia punya mental. "aku yang buat hiasannya."
Dia mengangkat tangannya untuk ber-high five dengan Gilang dan papa. Sementara kucing salah nama menggeong dari atas tangga.
"huss bunny. Jangan turun. Diatas aja. Nanti tante Jadica marah lagi." Jerit Hany pada kucingnya. Siapa yang akan marah? Tante siapa?
Papa buru-buru mengambil sendok dan memasukkan suapan besar nasi goreng ke mulutku. Aku melotot padanya. Dia memajang senyum. Dia tahu aku baru aja akan memaki Hany beserta kucing salah nama itu. belum lagi menelan suapan pertama, papa menyorongkan suapan kedua.
"cukup pa. Aku bisa sendiri. Yang sakit itu lutut. Bukan tangan." Aku mengambil sendok dari tangan papa dan mengusirnya kembali ke kursinya sendiri. Apa ini? Aku anak umur 2 tahun yang tak bisa makan sendiri?
"papa rasa, lebih baik kamu bareng sama Gilang aja Jade." Aku membuang semua hiasan nasi goreng itu ke pinggir piring. Aku tak akan memakannya. Apalagi Hany yang buat? Bayangkan kalau dia membuat itu sehabis mengelus kucing salah nama. "paling enggak. Selama 2 hari ini aja. Ya?"
"bener Jade. Kan bisa antar aku sekalian ke sekolah. Wuih! Bakal ramai." Hany bertepuk tangan. Anak manis itu baru saja mengatakan alasan kenapa aku sebaiknya berangkat sendiri.
"gak. Makasih. Aku bisa sendiri." Gilang memandangku dari balik gelas kopi yang sedang di minumnya. Aku menantangnya dengan balas melihat. Tapi kemudian dia malah buru-buru menelan kopinya sebelum berusaha menyamarkan tawa menjadi batuk. Sementara Hany sudah cemas sambil mengangsurkan air putih.
Papa mengangguk mendengar jawabanku. "udah papa tebak kamu gak mau. Jadi, ban mobil kamu udah papa kempesin."
Aku menyemburkan nasi goreng.
Perjalanan dari rumah ke sekolah Hany Cuma 15 menit. Tapi bagaimana mungkin dia sanggup menyanyikan seluruh lagu anak-anak dalam waktu sesempit itu? pasti seluruh lagu. Masalahnya telingaku sudah berdenging-denging karena tak tahan mendengar lengkingan suara Hany yang kolaborasi dengan suara bass Gilang.
Seharusnya aku naik taksi.
"kita Cuma mau ke sekolah Hany. kamu gak usah nyanyi kayak mau piknik ke puncak gunung." Akhirnya, aku tak tahan. Apa Gilang tak menginjak gas sama sekali?
Hany melompat ke belakang kursiku. "Jade. Aku gembira mau ke sekolah. Mau ketemu teman. Mau ketemu guru. Apa kamu dulu gak gembira mau ke sekolah?"
"gembira?" Gilang tertawa. Kenapa dia tertawa? Lebih lucu perkataan anaknya barusan. Siapa yang gembira ke sekolah? Bahkan murid terpintar sepertikupun tak gembira ke sekolah. "balik ke kursi kamu Hany."
Aku memandang lurus ke depan dan lega melihat kami sudah tiba. Gilang turun membukakan pintu untuk Hany. anak itu nyaris seperti terbang. Aku bersandar malas ke jendela. Akhirnya, bebas dari Hany.
"Jade." Panggilan melengking terdengar dari sampingku. Hany mengedor kaca mobil. Dengan malas aku menurunkannya.
"what?"
Cup! Dia mencium pipi kiriku lalu mengucapkan sampai jumpa dan berlari gembira menuju gerbang sekolahnya. Meninggalkan aku terkaget sambil memegang pipiku yang baru saja mendapat ciuman kecil Hany.
"woaah! Apa? Ap.." aku berbalik kearah Gilang yang baru saja masuk ke mobil. "anak kamu..." aku menunjuk kearah Hany baru saja pergi. "dia.. dia cium aku!!" kali ini, aku menjerit.
"terus?" apa maksudnya terus? Aku mencengkram lengannya. Apa dia baru saja gak lihat? Anak itu menciumku! Dia mencium pipi kiriku begitu saja!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey of Miss What (completed)
RomanceWHAT? Di umur 18 tahun, aku seorang master akuntansi lulusan universitas ternama Inggris. 2 tahun setelah itu, sekarang, aku seorang wanita karir dengan aktifitas yang serba teratur. Seperti, aku bangun dijam setengah 5 pagi dan jam 7 aku siap beran...