Chapter 34

1.7K 89 0
                                    

"kamu kenapa sih Mei?!"

Aku tersentak. Beberapa saat binggung aku sedang dimana. Dimana ini? Tangga? Ingatanku tentang kejadian tadi malam terulang. Mengingat aku di tangga gedung. Pasti aku masih hidup kan?

Jadi, suara siapa barusan?

"aku Cuma butuh kepastian Bima." Terdengar suara wanita yang—aku yakin—sebentar lagi akan menangis. Aku membeku ditempat. Tak berani bergerak. Dimana 2 orang yang sepertinya sedang bertengkar itu?

"kepastian?!" suara cowok itu semakin tinggi. Si wanita kemudian mengingatkannya untuk memelankan suara. Apa-apan ini. Kenapa aku jadi mendengarkan urusan pribadi orang? Bagaimana ini? Aku terlanjur mendengarkan. Mei? Apa itu Meiling? Bukannya dia dari departemenku? "seingat aku, kamu yang bikin semuanya gak pasti."

Setelah itu terdengar pintu yang di tutup dengan kencang. Tepat saat pintu itu terbanting, tangis si wanita pecah. Benar-benar bertengkar. Bagaimana denganku?

Aku berdiri menahan nafas. Isak tangis dari anak tangga diatasku semakin kencang. Jam berapa sekarang? Aku mencari hape dengan sangat perlahan dan mendapati hape ku mati. Aku tak pulang semalaman dan hapeku mati?

Papa belum menelpon tim SARS kan?

"ehm, aku bukannya pengen ikut campur tapi kebetulan emang lagi ditangga. Kamu gak papa?" tangis Meiling tercekat. Dia berdiri tiba-tiba. Kaget melihatku. Seperti aku yang juga kaget melihatnya. Dia benar-benar kusut. Maskara yang waterproof toh tak pernah bertahan dengan air mata. Dia terlihat seperti menangis dengan air mata tinta. Atau dia sudah menangis beberapa ronde sepagi ini saja?

Atau, aku baru saja menggambarkan parasku sendiri? Meiling mungkin baru menangis 2 ronde. Sementara aku sepanjang pagi dan kemudian tertidur karena lelah di tangga. Pasti, tampangku lebih menyeramkan.

"bos?!" jeritnya tertahan. Aku berusaha tersenyum. Tapi kurasa gagal. Jadi aku duduk disamping Meiling yang berdiri. Dia ragu. Aku rasa dia takut aku adalah hantu. Maka aku berinisiatif menarik tangannya yang tergantung, memaksanya kembali duduk.

Yang kami lakukan kemudian adalah memandangi pintu tangga yang tertutup itu dalam diam. Sampai isakan kecil Meiling kembali berubah tangisan. Dan aku mengkutinya dengan isakan tangisku sendiri.

Lucu. aku tak pernah berbicara di luar pekerjaan dengan siapapun dan sekarang, aku sedang menangis bersama bawahanku di tangga darurat. Ya, terkadang hidup agak lucu.

***

Tak ada yang kami ceritakan. Aku tak bertanya dia kenapa dan dengan melegakan dia juga tak bertanya aku kenapa. Aku tak tahu sudah berapa lama kami hanya duduk dan menangis sambil berbagi tisyu. Dari menangis bombay. Hingga tangisan itu reda sendiri menjadi isakan kecil lalu hilang.

"pasti tampang kita serem banget sekarang ya bos." Aku mengangguk. Bukan lagi sekedar seram. Aku tak pernah merasa sejelek ini seumur hidupku. Aku tak cantik. tapi aku rasa aku cukup rapi. Hanya saja, melihat bayanganku saja sudah menyeramkan sekarang.

"kalau kita keluar terus lari ke toilet. Apa ada yang sadar?" rasa-rasanya sebentar lagi akan istirahat. Kalau tak mencolok, mungkn aku bisa menyelinap ke ruanganku.

Pasti suaraku seserak atau malah lebih serak dari Meiling.

"astaga. Bos masih mau balik kantor?" dia menengok kearahku. Damn. Benar-benar kusut masai. Mengingat tampang kami yang tak jauh beda. aku tak ingin berkaca.

"banyak kerjaan yang mesti aku selesaikan Mei." Pagi ini pun pasti Diana sudah menumpuk begitu banyak berkas di atas mejaku. Bersama ringkasan hasil rapat yang baru saja tak kuhadiri.

Meiling tertawa. "dari tangis bos tadi. Aku salut bos masih bisa mikirin kerjaan. Aku aja hampir lupa namaku sendiri."

Aku ikut tertawa. "aku Cuma gak tahu mesti mikirin apa Mei." Dia berbalik memadangku.

"wah. Aku mungkin baru kali ini dengar bos ketawa. Kalau bukan karena maskara sama rambut singa, pasti bakalan cantik banget ngeliat bos ketawa."

Aku pernah mendengar perkataan dengan maksud tak jauh beda dari yang dikatakan Meiling. Beberapa waktu lalu. Apa sebulan yang lalu? Aneh. Rasanya baru kemarin dia mengatakannya.

"seseorang pernah bilang gitu." Sebelum aku sempat menelannya aku sudah mengatakannya. Aku sudah memutuskan banyak syaraf saat menangis barusan. Jangan-jangan aku akan menyebut nama orang itu sekalian pada Meiling.

"heran. Kenapa kita bisa ingat begitu banyak hal kecil dari seseorang ya bos.... Dulu mungkin rasanya manis. Tapi kalau di ingat sekarang. Kita berharap itu gak pernah terjadi. Seandainya itu gak terjadi, pasti gak bakal sesakit ini." Dia tak mengatakannya padaku tapi pada pintu di depan kami. Atau orang yang membanting pintu itu tadi.

"kamu mau kopi?" tawarku.

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang