Chapter 35

1.7K 94 0
                                    

Aku memandangi diriku di kaca. Bercelana pendek memamerkan kaki jenjangku. Lalu kaos kebesaran yang bertuliskan 'i hate U" begitu besar. Rambut pendekku dengan kunciran kecil. Tanpa make up dan sepatu kets.

"bos kelihatan kayak anak SMA." Meiling tertawa dibelakangku. Aku berbalik memandangnya yang baru keluar dari ruang ganti. Tak jauh beda dengan dandananku. "oke. Kita siap. Lets go!"

Setelah spa hingga jam menunjukkan pukul 2 siang. Aku dan Meiling memutuskan kalau kami perlu mengganti baju. Sekarang, kami siap mengunjungi salah satu tempat yang sedang menggelar pameran masakan. Air liurku saja sudah hampir menetes bahkan sebelum aku tiba ditempat jajanan itu.

"aku sanggup ngabisin 50 tusuk!" Meiling hampir menusukkan tusuk sate itu kematanya. Dia melotot padaku yang berdiri manis disampingnya. Stand pertama yang kami kunjungi. Sate cumi. Cumi! Seafood!

"masa? badan sekecil itu?" semua orang salah menilai badan dan porsi makanku.

Aku mencelupkan tusukan pertama ke saos yang warna paling merah. "ini, buat kamu." Aku menarik cumi yang masih hangat itu dengan gampang dan menelannya. Sambil melambaikana tusuknya kearah Meiling. Lalu mengambil tusuk kedua. "ini untuk aku." Sekali lagi dengan cepat menelannya.

"ini buat tangga emergensi." Meiling menggigit satenya dengan buas.

Aku mengambil tusuk ketigaku. "ini, buat maskara luntur."

Meiling tertawa. Buru-buru mencelupkan satenya ke saos kacang. "ini, buat rambut singa." Dia menggigit cumi dengan sadis. Aku ikut tertawa.

"cah ayu... pelan-pelan. Jangan begitu makannya nanti tersedak." Ibu-ibu yang punya stand memberikan 2 gelas kertas yang berisi air. Kami menyambutnya dengan cepat.

"ini, buat mba-mba spa yang kerjanya lama." Kami menggigit sate bersamaan.

***

Rasanya seperti minum kopi. Kepala menjadi ringan. Perasaan membaik. Semuanya baik-baik saja saat menghirup aroma wangi kopi dari uapnya yang mengepul. Sampai semuanya berakhir. Semuanya berakhir seiring dengan cafein dan gula yang memudar. Meninggalkan ampas hitam didasar gelas. Yang rasanya, pahit.

Apa yang terjadi dengan hidupku hari ini?

Aku sudah terlanjur memikirkan seseorang dengan begitu fokusnya sampai di titik, aku perlu mengkhawatirkan diriku sendiri. Dimana aku merasa begitu senang setiap memikirkannya. Seperti melihat pelangi yang melintas silih berganti seperti komet diatas kepala. Indah dan mendebarkan.

Namun, sebelum benar-benar sempat menikmati pelangi yang melintas silih berganti seperti komet itu, sebuah meteor menghantamku. Meteor yang bernama, kenyataan.

Jade, gak mungkin gak nemuin ampas saat kopi nikmat itu habis.

***

Jam 4 pagi. Aku pastikan satu rumah sudah tidur. Kuharap papa tak menungguku. Aku mengiriminya sms tadi siang. Dia bisa tenang dan menganggapku sedang menikmati pesta. Seperti yang kukatakan.

Dan alasan lain aku memilih jam 4 pagi adalah menghindari seseorang yang mungkin—kuharap tidak—sadar kalau aku tak sedang menghadiri pesta.

Hingga sekarang, aku masih duduk diam di dalam mobil sejak... paling tidak, satu jam yang lalu. Begitu tiba dan memarkirkan mobil di garasi, ini yang kulakukan. Duduk terpaku di dalam jeep merahku dan hanya memandangi dinding garasi selama 1 jam.

Benar jeepo. Aku baru saja patah hati. Sebelum sempat benar-benar mengeras dengan indah, kenyataan mematahkannya. Bukannya ini agak kejam jeepo? Pertama kalinya aku menyukai seseorang, orang itu harus Gilang. Dan Gilang hanya punya satu nama di kepalanya, Karen.

Aku tak punya apa-apa untuk bersaing dengan masa lalu jeepo. Aku bukan apa-apa. Kenapa aku membiarkan diriku terperosok begini dalam? Kenapa kamu gak ngingatin aku lebih cepat? Ini terlalu sakit jeepo. Terlalu sakit.

Tok... tok..

Aku menengok. Ada Hany yang menempelkan wajahnya ke kaca jendela jeepku.

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang