Chapter 11

2.5K 131 1
                                    



Aku memandangi pesan pendek mama yang menanyakan kabarku. Pesan itu masuk tadi malam. Aku mengabaikannya. Seperti setiap kalinya, akupun kembali mengabaikannya. Kalau aku bisa mengabaikan orangnya, masalah pesan dan telp hanya bagian kecil. Tak peduli betapa baiknya papa yang bisa menyapa mama dengan ramah, aku hanya tak bisa mencapai level itu.

Menanyakan kabar? Cih.

Saat dia meninggalkanku, aku mengalami beberapa fase. Pertama, membenci mama. Kedua, membenci diriku sendiri. Lalu, mati rasa. Kalau di umur 6 tahun dia menganggapku sanggup mengurus diriku sendiri, seharusnya dia tahu di umur 20 aku lebih sanggup.

Lalu lamunan bodohku tersentak oleh keributan di halaman belakang. Bukan keributan. Lebih tepatnya canda tawa. Sejak kedatangan Gilang dan Hany, olah raga pagi menjadi kegiatan rutin. Juga meongan ganas si kucing salah nama disetiap selanya.

Aku rasa, kucing itu memiliki kasta yang lebih tinggi dibanding aku di rumah ini. Makanya, aku berdiam diri di kamar hingga waktu sarapan tiba tanpa memperdulikan apa yang begitu seru dihalaman belakang. Mereka bisa saja membakar rumah dan aku orang terakhir yang tahu.

Setelah berpakaian rapi, aku keluar dari kamar. Lengkap dengan tas kerjaku. Dan, wow.... Aku benar ingin membunuh Diana sekarang.

Gilang muncul tanpa kaos di tangga. Dia penuh keringat dan rambut yang basah tapi yang terlintas dikepalaku malah, dia seksi. Aku melonggo mendapat pemandangan tune up body nya Gilang, up close. Sempurna six packs. Tunggu. Bukan berarti aku menghitungnya, tapi dia tak berbaju! Kenapa dia tak berbaju? Maksudku, baik. Istri gilang benar-benar memiliki selera besar sampai-sampai cowok sekeren gilang dia tinggalkan. Tidak. Aku baru saja memuji badan cowok? Lebih buruk. Aku baru saja menikmati pemandangan itu. Ini buruk.

Shut up Jadica.

"pagi." Sapanya ramah. Aku hanya mengangguk. Yang benar saja. Mungkin kalau bicara aku bakal terdengar seperti bebek kejepit.

Setelah itu dia melintasiku. Butuh waktu beberapa detik sampai aku berhasil mengumpulkan seluruh kesadaranku. Tubuh six packs gilang membuat kesadaranku melayang entah kemana. Oh my god! I am dead. I cant take more than this. Pertama anaknya yang menyebalkan. Sekarang, papanya membuatku tak bisa mengalihkan perhatian.

Meong..

Aku menengok kucing salah nama yang sedang duduk di pinggir jendela. Dia memandangku dengan mata besarnya. Kali ini, dengan pandangan mencela. Apa dia baru saja membaca pikiranku?

Aku tamat.

Sepenuh hati aku mencurahkan perhatian pada nasi goreng yang sedang kumakan. Tak memperdulikan sekelilingku sampai Hany memutuskan untuk menusuk pinggangku dengan pensil.

Mereka bahkan tak membiarkanku sarapan dengan tenang.

"what?" ucapku setengah membentak. Dia mengagetkanku.

"bisa antarin aku ke sekolah gak? Papa gak tahu jalannya." Anak kelas 3 SD satu ini benar-benar tidak salah bicara kan? Aku punya banyak hal lain yang bisa aku lakukan selain mengantar anak SD ke sekolah. Lagi pula, mengantarnya akan masuk dalam kegiatan berbahaya. Membayangkan berapa kali emosiku akan naik turun.... Aku cinta kehidupanku yang tenang.

"masa papa kamu daftarin sekolah tapi gak tahu arah sekolahnya."

"kemarin papa yang daftarin Hany. Papa masukin di SD kamu dulu sayang. Jadi Gilang gak tahu dimana alamatnya." Papa yang menjelaskan.

"tapi kalau kamu gak bisa nganterin juga gak apa. Nanti aku bisa tanya di jalan." Jawab gilang. Papa memandangku dengan tajam, pandangan yang berarti—antarin jade!

"okay." Hany menjerit senang disampingku. Lalu bangun untuk memberiku thankyouhug. Aku menahan kepalanya sebelum dia benar-benar mendekat.

"please. Just don't hug me." Bisikku memohon.

***

Dan begitula rutinitas pagiku yang tenang sekarang harus berakhir satu mobil dengan gilang yang mengantar Hany ke sekolah. Aku bahkan tak bisa membawa jeepku. Apa ada yang lebih sial dari kehidupanku sekarang?

"belok kanan." Kami tiba di sekolah elit yang hanya 15 menit dari rumahku. Sekolah ku dulu. Gilang memutar mobil kearah yang kutunjuk.

Ini perjalanan paling merana yang pernah kulakukan. Saking larutnya mengutuk diri sendiri, aku jadi tak menyadari satu hal. Betapa tenangnya penumpang kursi belakang. Hany sama sekali tak bicara lagi sejak naik mobil. Aku menengok dari spion dan mendapatinya sedang tertunduk memandangi sepatu. Hah. Ada apa dengan anak ini? Apa dia mau mati?

"sayang, jangan nervous. Kamu pasti bakal baik-baik saja." Gilang berbalik menghadap kekursi belakang. Aku memberinya pandangan bertanya. Anaknya ini cuma nervous? Bukan kena sejenis penyakit ganas? "dia grogi kalau harus ketemu orang baru dalam jumlah banyak."

Dia bisa nervous juga? Ajaib. Aku kira dia hanya bisa melompat kesana kemari seperti monyet liar. Seperti yang dilakukannya di rumah. Melihatnya mengkerut seperti cumi bakar... hanya pemandangan yang agak aneh.

Aku hampir saja tertawa tapi lagi-lagi, saat pandanganku bertemu dengan pandangan Gilang, dia telihat bisa membaca jelas apa yang kupikirkan. Ya, seperti masih kurang banyak yang dilakukannya bisa membuatku kesal, dia memilih untuk peduli pada yang kupikirkan.

Dia tidak benar-benar bisa membaca pikirankan?

"darling. You'll be fine. Its okay." Gilang membujuk Hany. Hany hanya mengeleng. Dia benar-benar grogi. Aku sendiri shock melihatnya, Hany tidak terlihat seperti seorang anak kecil yang kurang percaya diri. Meski aku tak akan mengatakannya di depan Hany—dan tak akan pernah. Tapi aku mengakui kalau dia cerdas dan cantik. Keras kepala juga.

Dari caranya mengahadapiku, aku tahu dia pemberani. Tapi, disana dia sekarang, dengan wajah berganti-ganti antara hijau dan ungu. Gugup setengah mati. Sebut aku kejam. Tapi aku menikmati Hany dengan mode gugup ini. Dia lebih tenang.

Gilang keluar dari balik kemudi dan membuka pintu samping. Menarik Hany agar memandang padanya. Membujuk Hany dengna banyak kata menenangkan lainnya. Dia mengusap pipi Hany berulang kali sambil mencium keningnya. Disaat yang tak tepat. Aku malah terpesona melihat pemandangan itu.

Aku diam saja memperhatikan anak-anak yang lalu lalang ke sekolah di depan kami. Tak berniat membantu Gilang membujuk Hany. Tapi, tak lama kemudian bel sekolahpun berbunyi. Dan Hany masih belum berhasil menghilangkan gugup tingkat dewa-nya.

"hey." Aku berbalik menengok hany. "Are you familiar with truth or dare?" Hany menengok mendengar pertanyaanku. Tak lama kemudian dia mengangguk. "Truth or dare?"

"dare." Jawab Hany pelan. Dare? Memang rahasia apa yang dimiliki anak kelas 3 SD sampai-sampai memilih dare?

Aku menantangnya agar berhasil mengenal seluruh teman sekelasnya dalam satu hari dan sekalian, merendahkan harga dirinya. Tentu saja, aku mampu memprovokasi orang dengan baik. Tanpa bicarapun, semua orang sudah terprovokasi dengan muka jutekku. Setelah menarik nafas panjang, dia akhirnya memutuskan. "kalau aku bisa, kamu gak keberatan aku peluk. Deal?"

Aku mengangkat bahu. Terserah. "deal."

Dia langsung bangun dan mengambil tasnya meski bisa kulihat tangannya gemetar. Memberikan Gilang kecupan di pipi kiri. "bye dad. Take care." Kemudian menghilang kebalik gerbang. Saat Gilang kembali duduk di balik kemudi, dia menengok padaku.

"What?"

"jadi, kamu sadar kalau salah satu hal yang gak bisa kamu lakuin sendiri itu, pelukan?" aku hanya menatapnya tanpa ekspresi. "terima kasih udah bujuk Hany. Tenang, aku masih punya banyak hal yang gak bisa kamu lakuin sendiri. Siap kepelajaran selanjutnya?" dia gila?

"what?"

"Nothing, miss What." Katanya sambil tersenyum.    

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang