Bandung, 30 November 2016
Angin berhembus mengiringi rintik hujan yang berjatuhan. Untuk kesekian kalinya, hujan kembali turun di langit senja. Banyak orang berbondong-bondong menyelamatkan diri, dari terpaan hujan yang seakan menjadi ancaman.
Lain halnya dengan Adyra Febiana. Gadis penggemar hot chocolate yang suka menikmati sejuknya udara hujan. Menurutnya, hujan adalah kehidupan. Setiap tetes air hujan, membawa udara dingin yang menyejukkan. Gemericik yang terdengar samar, membuat suasana jadi tenang.
Dingin.
Gadis itu sedikit menarik lengan peach sweater miliknya, hingga menutupi sebagian dari telapak tangannya. Secangkir hot chocolate menemaninya menikmati hujan di Kota Bandung. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di kota kembang ini.
14 Februari 2014 (Adyra's Birthday)
Gadis itu menatap sendu selembar foto kusut yang menampilkan potret dirinya dengan seorang wanita yang tengah memeluknya dengan senyum yang tak pernah hilang membingkai wajah cantiknya. Di balik foto itu tertera nama dirinya yang dibubuhi lengkap dengan hari kelahirannya, karena foto itu diambil saat Adyra berulang tahun di usia 14 tahun. Setitik cairan bening mengalir sekilas dari sudut matanya. Entah sudah berapa kali dia menangis setiap melihat foto itu. Dia tahu, walau dia menangis untuk ribuan kalipun, mamanya takkan pernah bisa kembali. Takkan pernah bisa merengkuhnya lagi. Dan takkan mungkin bisa merasakan jari tangan yang menghapus air matanya saat dia menangis seperti sekarang.
Insiden kecelakaan 2 tahun silam membuat Alsa—mamanya merenggang nyawa saat itu juga. Sulit mendeskripsikan perasaannya saat ini. Dia tahu, jika mamanya paling tidak suka melihatnya menangis dan menyesali takdir yang Tuhan berikan. Tapi, bukan keinginannya jika air matanya selalu mengalir dengan sendirinya setiap dia mengingat mendiang Mamanya.
"Nggak ada kebahagiaan di Kota Bandung seperti yang Mama bilang." Adyra memejamkan mata.
"Dan nggak akan ada kebahagiaan, selama masih ada penyesalan."
Adyra terkejut sesaat mendengar seseorang yang seakan menjawab kalimatnya. Cowok itu berdiri di depan gadis itu, dengan membawa secangkir hot chocolate sambil menatap manik mata gadis itu lekat.
"Kalo seandainya yang lo cari itu kebahagiaan, Gue rasa itu cuma buang-buang waktu," katanya lagi.
Cowok itu mengambil posisi duduk di hadapan Adyra tanpa menunggu persetujuannya. Dia menyesap hot chocolate miliknya, lalu beralih menatap jendela di sampingnya. Atau lebih tepatnya, pada derasnya rintik hujan di balik jendela itu, mungkin.
"Buang-buang waktu?" Adyra mengerutkan keningnya heran. Bagaimana bisa dia mengatakan kalau mencari sebuah kebahagiaan adalah buang-buang waktu? Pikir Adyra aneh.
Cowok itu menatap Adyra, dan menghela napas sejenak lalu mengalihkan pandangannya lagi.
"Tuhan udah ngatur semua porsi kebahagiaan dan kesedihan manusia secara adil. Jadi buat apa lo nyari suatu hal yang udah pasti lo dapetin juga pada akhirnya?"Adyra sedikit tertegun dengan jawaban singkat yang terucap dari bibir cowok di hadapannya. Dia memperhatikan wajah cowok itu seksama. Dia memiliki bentuk wajah oval, dan rahang yang tegas. Sorot mata yang tajam, dengan alis yang sedikit tebal.
Dia, tampan.
Walau rambutnya sedikit acak-acakan dan sedikit basah di setiap ujung-ujung rambutnya, tapi tak sedikitpun mengurangi kesan macho dan tegas dari wajah tampannya.
"Menurut elo, takdir itu apa?"
Adyra terkejut saat cowok itu balik menatapnya. Dia takut jika cowok itu sadar kalau sejak tadi Adyra memperhatikannya dengan lekat.
Gadis itu sedikit gelagapan untuk mulai pembicaraan."Hah?"
Cowok itu tersenyum tipis seraya membuat gerakan memutar telunjuk kanannya di bibir cangkir. "Lo percaya sama takdir?"
Yang ditanyai keningnya berkerut. Tentu saja Adyra percaya. Orang beriman pasti percaya sama takdir. Selain ganteng, Adyra pikir lelaki ini juga... aneh? Entahlah, dia tiba-tiba duduk di hadapan Adyra, membawa cangkir berisi minuman yang sama, menimpali pertanyaan Adyra yang sebenarnya tak ditujukan padanya, kemudian mendadak membicarakan topik seperti takdir... bukankah itu absurd? Tapi, Adyra tetap mengangguk merespon lelaki itu dengan sopan.
Lelaki itu nampak melipat kedua tangannya di atas meja. Menatap secangkir hot chocolate milik Adyra, lalu beralih menatap Adyra lagi. Lelaki itu tersenyum tipis.
"Jadi, lo percaya. Kalo pertemuan kita bukan sebuah kebetulan, melainkan.... takdir?"
▪▪▪
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Teen FictionSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...