"Terima kasih."
Adyra tak bisa menyembunyikan senyummya, ketika secangkir cokelat panas pesanannya sudah sampai di depan mata. Gadis itu mendengar dengusan halus ketika ia sedang sibuk menyesap cokelatnya.
"Kenapa pakai hujan segala, sih? Males banget. Mana deras lagi."
Adyra menaruh cangkir. "Heh, nggak boleh gitu!" serunya sambil memukul lengan Andra, membuat cowok itu mengernyit tak suka. "Hujan itu rahmat, rezeki. Harusnya kamu bersyukur! Kalo nggak ada hujan, kamu mau minum pakai minyak bumi?"
Andra menipiskan bibir.
"Ambil sisi positifnya, dong. Karena hujan gini 'kan kita jadi bisa duduk berduaan karena nggak bisa pulang." Adyra menaik-naikkan alis, "Iya, nggak?"
"Berduaan dari Hongkong? Kamu nggak lihat ini kafe banyak orang?"
"Ya tapi 'kan kita duduk semeja berdua. Jadi sama aja, kan?"
Andra menghela napas. Ngomong sama Adyra emang capek. Susah menangnya. Ia memilih menyesap cokelat panas yang Adyra pesankan untuknya tadi.
"Kalau lagi minum cokelat panas pas hujan gini, aku jadi inget seseorang."
Alis kanan Adyra terangkat. "Siapa? Mantan?"
Andra menarik sudut bibir, "Bukan."
"Kalau bukan kenapa senyum-senyum gitu?" Adyra memincingkan mata curiga.
"Pengen aja."
"Cewek apa cowok?"
"Cewek," jawab Andra to the point sambil melanjutkan minum.
"Tuh, kan!" Adyra memukul lengan Andra. "Terus kalau bukan mantan apa, dong? Selingkuhan?"
Andra memegang kerongkongannya. Agak terbatuk karena senggolan Adyra. "Boro-boro selingkuhan. Ketemu aja baru sekali. Habis itu, nggak pernah ketemu lagi."
Adyra mencebikkan bibir, melihat cangkirnya yang sudah kosong. Hujannya juga masih deras. Adyra bertopang dagu. "Terus apa yang bikin kamu inget sama dia?"
Andra melipat tangannya di atas meja. Sejenak mengabaikan cokelat panasnya. "Dia nangis waktu itu."
Adyra menegakkan kepala. "Kenapa?"
Andra menggeleng, kemudian menyandarkan punggungnya di kursi. "Aku juga nggak tahu."
"Satu cangkir hot chocolate."
Andra tersenyum pada pelayan kafe yang mencatat pesanannya. Sembari menunggu, ia mengedarkan pandangan. Menilai suasana kafe yang katanya baru dibuka itu. "Lumayan, lah. Nggak ngebosenin banget."
Ketika Andra sibuk menyusuri setiap sudut kafe, ia melihat seorang gadis duduk sendirian di dekat jendela. Entah dapat dorongan dari mana, Andra ingin menghampirinya.
"Mas, ini pesanannya."
Andra turut serta membawa cangkir minumannya, dan berjalan menghampiri meja gadis itu. Setelah sampai di sana, ia hanya diam. Tak mengatakan apapun. Hingga ia melihat gadis itu meneteskan air mata.
"Aku nggak tahu kenapa dia nangis. Tapi nggak tau kenapa, aku nggak suka ngelihat wajah dia kayak gitu. Jadi, aku ajak dia ngobrol."
Andra menarik sudut bibir. "Aku tanya, apa lo percaya sama takdir?"
Adyra mengernyit.
"Dia ngangguk waktu itu. Tapi mukanya kelihatan bingung." Andra terkekeh disela-sela ceritanya. "Aku jadi gemes pengen godain dia. Biar nggak nangis lagi."
"Setelah itu, aku bilang—"
"—Jadi, lo percaya. Kalau pertemuan kita bukan sebuah kebetulan. Melainkan takdir?"
Andra membulatkan mata. Ia terkejut dengan kalimat Adyra yang tiba-tiba. "Kok kamu bisa tahu?"
Adyra tak menyangka, jika cowok yang pertama kali menyambut kedatangannya di Bandung hari itu adalah Andra. Beberapa hari setelah kelulusan, Adyra pindah ke Bandung. Tempat kelahiran sekaligus peristirahatan terakhir mamanya. Ia berniat melanjutkan sekolah menengah atasnya di sana. Seperti kebiasaannya di Jakarta, jika ia merindukan mama, ia akan duduk menikmati kesendirian dengan secangkir cokelat panas kesukaan mamanya.
Bibir Adyra melengkungkan senyum. "Ternyata, kamu cowok yang waktu itu.
Andra yang masih merasa tak percaya, kini menghela napasnya. "Bagaimana bisa aku nggak ngenalin wajah kamu?"
Adyra mengendikkan bahu. Ia juga tak mengenali wajah Andra. Pertemuan waktu itu terasa begitu cepat. Setelah pergi dari kafe itu, Adyra tak mengingat wajahnya lagi. Yang dia ingat, hanya sebuah kalimat ringan yang keluar dari mulut Andra di pertemuan waktu itu.
"Aku nggak nyangka bisa bertemu kamu lagi." Adyra menyelipkan rambut ke belakang telinga, menyembunyikan senyumnya.
Tak lama, Andra ikut melengkungkan bibirnya. Ia meraih telapak tangan Adyra lalu menggenggamnya. "Aku juga."
Seperti kata Adyra, nggak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa. Pertemuannya dengan Dimas maupun Andra, sama-sama memberikan warna dalam hidupnya.
"Andra,"
"Hm?"
"Hujannya udah berhenti."
"Terus?"
"Kamu nggak mau pulang?"
"Nggak usah. Kita di sini aja."
"Mau sampai kapan? Kita udah di sini sejak siang tadi. Dan asal kamu tahu aja, sekarang udah sore. Udah berapa jam kita di sini?"
"Biarin aja, sih. Aku lagi bersyukur bisa berduaan sama kamu."
"Udah telat, tahu!"
"Ya nggak apa-apa, dong. Daripada nggak sama sekali 'kan?"
"...."
"Ra?"
"Apa?"
"Nggak apa-apa. Cuma pengen manggil aja."
Ada banyak hal yang Adyra dapatkan dari pertemuannya dengan Andra. Salah satunya, jika mengutip dari kalimat Andra. Yang katanya kebahagiaan itu tidak perlu dicari. Karena ia akan datang sendiri dengan cara yang tak terduga. Layaknya kejutan yang istimewa,
Seperti... hadirnya Andra dalam kehidupan Adyra, misalnya.
••••
Idenya udah mentok, nih:'v
Misal kalau aku jadi buat ekstra part, (kalau jadi loh ya, nggak janji, wkwk.) kalian berharap scene yang kayak gimana, sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
JugendliteraturSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...