Andra memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Membelah jalanan dengan luapan kekesalan. Jantungnya berdegup kencang bersama hembusan angin malam. Jaketnya bertebrangan dengan tangan yang mengepal. Andra semakin menambah kecepatan motornya tanpa peduli ramainya jalan raya.
Kalau bagi semua orang, rumah adalah tempat kita pulang. Tempat yang paling dirindukan setiap orang, tempat kita mendapatkan kebahagiaan, dan tempat di mana kita bisa merasa nyaman. Tapi, tidak untuk Andra. Baginya, rumah adalah satu-satunya tempat yang paling menyeramkan. Tempat di mana dia selalu merasa kehilangan dan kehampaan.
Masalah demi masalah datang bertubi-tubi menghampirinya. Cinta seolah menjauinya. Dunia seolah memusuhinya. Di saat ada banyak orang yang mengelilinginya, entah kenapa dia masih selalu merasa sendirian.
Orang-orang yang berlalu lalang, tak memerdulikannya. Ada juga yang mengumpat padanya karena laju motor yang di atas rata-rata. Hingga saat motornya melewati jalanan yang remang dan sangat sepi orang, tiba-tiba sebuah sosok melintas di hadapannya hingga membuat ban motor Andra berdecit karena menginjak rem mendadak.
Napas Andra memburu bersamaan dengan tampang pucat pasi karena terkejut. Seorang gadis duduk bersimpuh sambil menunduk, dengan beberapa jeruk yang berceceran dari kantong plastiknya.
Andra langsung melepas helm dari kepalanya, lalu turun dari motornya dan menghampiri gadis itu. “Mbak? Mbak, nggak papa?”
Andra semakin khawatir saat gadis itu tak merespon. Sejurus kemudian, cowok itu terkesiap saat gadis itu mengangkat wajahnya.
“Adyra...”
••••
Semilir angin bergerak ringan menyapu dinginnya malam. Langit tak sepenuhnya gelap karena ditemani ribuan bintang dan bulan. Tapi, keheningan seolah menyelimuti tanpa henti. Sejak tadi, gadis itu masih diam tak bersuara. Tatapannya lurus seolah nampak kosong. Bahkan, saat sebuah kursi panjang di sebuah warung pinggir jalan yang dia duduki sedikit bergerak, dia hampir tak menyadarinya sama sekali.
Andra mengambil tempat duduk di samping gadis itu, lalu menyodorkan sebotol air mineral di hadapannya. “Minum dulu, nih!”
Gadis itu merebut air mineral tersebut dengan kasar, lalu meneguknya dengan lahap seolah kerongkongannya sudah tandus karena kekeringan. Andra menatap ngeri melihat gadis itu minum dengan cara yang tak wajar.
“Pelan-pelan,” kata Andra. Gadis itu menoleh tanpa merespon. Hingga sejurus kemudian, air yang tengah dia minum seolah tercekat di tenggorokan dan membuatnya sampai terbatuk.
“Uhuk! Uhuk—huk!”
“Tuh, kan! Apa gue bilang?” Andra memijit tengkuk gadis itu tanpa permisi.
“Heh! Lo pikir gue mau muntah, apa?” bentak gadis itu sambil memukul tangan Andra. Cowok itu hanya diam, tanpa memandang gadis itu.
“Sorry.”
Adyra mengernyit, lalu menghela napas panjang. “Sorry?” katanya mengulang ucapan Andra. “Setelah lo hampir nabrak gue dan bikin gue shock kayak orang gila, lo cuma bilang... sorry?”
“Lagian siapa suruh malem-malem jalan sendirian,” sindir Andra.
Adyra mendelik tak suka. “Harusnya gue yang ngomong gitu! Siapa suruh malem-malem kebut-kebutan di jalan?” Adyra mendengus kesal. “Lo mau kecelakaan tempo hari kejadian lagi?”
Andra tak membuka suara. Dia menatap lurus ke depan seolah tak memerdulikan Adyra yang sudah ngoceh ini itu sampai berbusa. Fokusnya seolah terpecah menjadi beberapa bagian. Sementara Adyra, dia menghentikan ocehannya saat melihat Andra yang hanya diam saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Teen FictionSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...