19. Heart Attack

21.6K 1.4K 53
                                    

Andra keluar dari kamarnya dengan langkah tergesa. Sambil membenarkan kancing kemeja yang berantakan, Andra menuruni tangga lalu berjalan menuju ruang makan.

“Buru-buru banget, Kak?”

Andra membenarkan kerah kemejanya lalu menata singkat rambutnya. “Iya, udah telat.”

“Nggak makan dulu?”

Andra menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap beberapa orang yang ada di ruang makan. Semuanya lengkap, termasuk ada Reya dan Arya. Pandangan Andra berhenti di wajah Kanya, “Nanti aja di kantin.”

Andra meneguk habis segelas susu yang ada di atas meja sekedar untuk mengganjal perutnya. Andra mengacak pelan rambut Kanya sebelum dia berangkat meninggalkan rumah.

“Kalau kamu nggak mau makan, seenggaknya bawa roti nya...” Andra menghentikan langkah, saat mendengar suara Reya menginterupsinya. Andra menoleh menatap selembar roti yang sudah diolesi selai cokelat di atas piring.

Reya menghela napas, saat Andra memalingkan wajahnya tanpa mengambil roti yang dia tawarkan. Kanya menatap Reya simpati sambil tersenyum. Sementara Arya mengusap bahunya perlahan menenangkan.

Reya meletakkan sepiring roti itu di atas meja karena Andra tak mengambilnya. Tapi sejurus kemudian, sebelum piring itu  mendarat tepat di atas meja, Andra mengambilnya lalu memakannya.

Semua orang yang ada di sana mematung saking terkejutnya. Andra mengunyah gigitan pertama rotinya sambil menipiskan bibir ke arah Reya. “Makasih rotinya, Ma....”

Kanya mengambil segelas air lalu meneguknya. Sejenak, pikirannya berkecamuk bingung. Itu benar-benar Andra, kan? Kanya menelan airnya susah payah sambil menggelengkan kepala tak percaya. Bola matanya menatap ke arah Reya, hingga dia menemukan segaris senyum di sana.

Untuk pertama kalinya, Mama bisa senyum sampai ke mata....

••••

“Huh!”

Andra mengatur deru napasnya yang tak beraturan. Gara-gara dia terlambat, pintu gerbang sudah tertutup rapat. Dan gara-gara gerbang tutup, mau tak mau harus manjat dinding samping sekolah. Cowok itu mengambil tas ranselnya, lalu menepuk kemeja putihnya yang sedikit kotor.

“Pak! Saya cuma telat lima menit doang, masa dihukum, sih?!” Andra mengernyit saat telinganya menangkaap sebuah suara yang sangat familiar.

“Mau lima  menit, kek! Mau semenit, kek! Sedetik, kek! Kalau udah telat ya telat aja! Nggak usah pakai ngeles kamu!”

Adyra mendengus kesal, “Kalau saya dihukum, nanti ketinggalan pelajaran, dong! Emangnya Bapak nggak kasihan sama saya?”

“Salah sendiri berangkat terlambat! Sudah sana lari keliling lapangan lima kali putaran!” sungut Pak Darto dengan tegas.

“Masa lima kali sih, Pak. Dua kali aja deh, ya?” Adyra memasang tampang memelas.

“Kamu kira pasar apa pakai ditawar segala!” Pak Darto mendelik sambil membenarkan letak kacamatanya.

“Lari sekarang juga atau saya tambah hukumannya jadi dua kali lipat!”
Adyra menelan ludahnya pasrah.

Gadis itu meletakkan tas ranselnya di sebuah bangku panjang di pinggir lapangan, lalu menguncir rambutnya agar tak merasa kegerahan.

Adyra mulai berlari dengan setengah hati sambil menyeka keringat yang membasahi dahi. Dasar Pak Darto kejam! Dia nggak tahu apa ini lapangan seluas sawah? Bisa gempor nih kaki! Batin Adyra berapi-api.

Andra memerhatikan Adyra yang tengah berlari sendirian di samping ada anak kelas lain yang sedang melaksanakan pembelajaran olahraga di lapangan. Beberapa siswa yang sedang olahraga menatapnya acuh, tapi ada juga beberapa yang menatapnya tertarik. Ya iyalah tertarik! Orang keringetan kayak gitu aja cantik. Andra membatin.

Adyra's Diary ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang