Cowok itu menanggalkan jaket lalu melemparnya asal ke kursi di sebelahnya. Tak lama, seorang pelayan kafe datang menghampirinya dengan membawa secangkir kopi.
"Tumben lo ke sini. Ngapain?"
Dimas menengadah, dan menemukan Nando dengan setelan kaosnya yang tengah menarik kursi di depannya. Ia tersenyum, "Lo kayak nggak suka gitu kalo gue ke sini."
Usai melirik Dimas sekilas, ia mengalihkan atensinya pada sebuah laptop yang tadi ia bawa. "Mana gips lo?"
Dimas memberi jeda sambil meminum seteguk kopinya. "Udah dilepas sama dokternya." Nando mendengar Dimas menghela napas. "Padahal, gue pengin gips itu nempel di tangan gue lebih lama lagi."
Nando mengangkat pandangan dengan satu alis dinaikkan. "Buat apa? Buat cari perhatian Adyra, atau belas kasihan dia?"
Dimas merasa tersinggung. "Maksud lo?"
Nando tersenyum. "Jangan tersinggung. Apa yang gue bilang barusan nggak salah, kan?" Cowok itu kembali mengalihkan atensinya di depan laptop. "Adyra itu cewek baik-baik. Dia pantes dapetin kebahagiaan seperti apa yang dia mau."
"Apa lo lagi... mojokin gue?" tanya Dimas sambil diselingi senyum sarkastis.
Nando menghentikan kegiatannya. Ia menatap Dimas, cukup lama. Hingga ia memutuskan untuk menutup laptopnya agar leluasa menatap wajah seseorang di hadapannya. "Gue nggak mojokin lo. Gue cuma mau lo sadar, kalo apa yang lo lakuin sekarang itu salah."
"Apa yang salah dari gue?" Dimas bertanya. "Adyra emang nggak jawab iya waktu gue ngungkapin perasaan gue kemarin. Tapi, dia juga nggak nolak gue. Gue yakin, gue masih punya kesempatan."
"Gimana lo bisa sangat yakin?"
"Tentu saja." Dimas menatap lurus ke depan, sambil menyesap kopinya. Dengan masih menunjukkan air muka yang serius dan penuh keyakinan, ia bilang, "Gue juga yakin kalo Adyra masih menyimpan buku itu."
Nando mengerutkan dahi, "Buku apa yang lo maksud?"
••••
"Ayo dong, buka mulutnya! Aaaa~"
Adyra menggerak-gerakkan kepalanya menghindar. "Nggak mau! Kamu pikir aku kambing apa, makan ijo-ijo?!"
"Ini 'kan sayur bayam, Ra." Cowok itu menghela napas. "Kamu nggak akan dipanggil kambing juga, cuma gara-gara makan bayam."
"Pokoknya nggak mau!"
"Yaudah, deh. Yang warna oren aja, nih."
"Kamu pikir aku kelinci, dikasih carrot segala?"
"Yaudah kalo gitu yang warna kuning."
"Itu labu, aku nggak suka." Adyra mengerucutkan bibir.
"Yang warna merah aja, gimana?"
"Kamu nyuruh aku makan cabe? Yang benar aja!"
Cowok itu mulai kesal. "Terus maunya apa, dong?" Mendadak, ia pasrah. "Kamu 'kan lagi sakit. Harus makan yang bergizi biar sembuh. Ya kali aku kasih seblak?"
"Aku udah sembuh, kok," cicit Adyra sambil menutupi sebagian wajahnya dengan selimut.
"Sembuh apanya? Badan masih anget, juga."
"Kamu marah, ya?"
Cowok itu menghela napas. "Enggak. Cuma agak kesel."
Adyra mencebikkan bibir. "Yaudah, deh. Aku makan sayurnya," kata Adyra pada akhirnya. Membuat Dimas tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Novela JuvenilSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...