-Adyra POV-
Andai waktu bisa kugenggam seperti yang kumau, mungkin aku bisa mengulang perihal kejadian masa-masa senja itu bersama kamu. Di bawah langit jingga yang sendu ini, aku mulai merindumu lagi. Entahlah sudah berapa kali aku melakukannya, aku bahkan tidak ingat. Detik demi detik waktuku seolah habis, terkikis bengisnya belati rindu.
"Adyra."
Aku mendongak, menatapmu dengan tersenyum. Rengkuhan ringanmu di bahuku waktu itu, membuatku sedikit sulit bergerak. Tapi aku mengerti, kamu hanya mengekspresikan perasaanmu padaku saat itu. Aku senang. Aku bahagia. Kamu seolah membuatku menjadi satu-satunya perempuan yang kamu perlakukan seperti itu selain ibumu. Dan aku sangat bangga menjadi kekasihmu waktu itu.
"Kalau suatu saat aku pergi, apa yang akan kamu lakukan?"
Senyumku memudar, sejurus setelah bibirmu menceloskan kalimat itu seringan kapas. Kamu tidak tahu betapa tercekatnya hatiku saat perkataan itu kamu tujukan padaku. Aku hanya diam tanpa kata. Tanpa memandangmu. Dan melepaskan rengkuhan bahumu dengan paksa.
Aku merasakan keterkejutanmu waktu itu. Aku tahu kamu menghela napas. Kamu hanya tersenyum singkat menanggapi perubahan ekspresiku.
"Diam bukan sebuah jawaban, Ra." katamu.
Aku memandangmu tak suka. Memasang mimik wajah yang jelas, agar kamu tahu jika aku tidak suka kamu mengatakan hal seperti itu.
"Aku bakal benci sama kamu" emosiku seolah meledak detik itu.
Kamu benar-benar membuatku geram. Untuk apa menanyakan hal yang akan membuat aku ragu? Atau kamu memang sengaja membuatku ragu tentang perasaanku? Kamu ingin mengujiku? Atau apa?
"Kalau emang gitu, lakukan."
Aku membelalakkan mataku kaget. Siapa yang ada di hadapanku saat ini? Apa ini benar-benar kamu? Atau aku hanya sedang bermimpi saat ini? Aku masih memandang bola matamu yang tengah menatapku lekat. Berharap mendapatkan ekspresi humor yang selalu kamu lakukan untuk sekedar menggodaku dan membuatku marah.
Tapi hasilnya, NIHIL.
Kamu sama sekali tidak bercanda. Sorot matamu memang mengisyaratkan jika kamu benar-benar serius mengatakannya. Satu tahun bersamamu membuatku hafal setiap detik ekspresi matamu.
"Dimas, aku nggak serius ngomong gitu."
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?!" sejenak aku membentuk garis-garis kerutan di wajahku, seolah menunjukkan tatapan curigaku padamu.
"Jangan bilang kamu mau ninggalin aku."
Sungguh, bukan aku yang berniat mengatakannya.
Pada awalnya aku hanya ingin diam, tak ingin menghiraukan pembicaraan konyol itu. Tapi hatiku? Dia seolah berontak. Bibirku menceloskannya tak sengaja, seolah tengah bersengkongkol dengan kata hatiku. Aku merasa aneh. Tapi kurasa kamu tidak. Buktinya, kamu masih bisa mengulas segaris senyum saat ini.
"Bukan salah takdir kalau pada akhirnya, aku jatuh cinta sama kamu. Bukan salah takdir kalau pada akhirnya, Tuhan tidak menggariskan kita selalu memiliki banyak waktu untuk kita habiskan bersama kayak gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Genç KurguSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...