Adyra sama sekali tak mengeluarkan suara, sambil memandang lurus ke arah jendela. Adyra menyandarkan punggungnya saat mobil yang ditumpanginya mulai bergerak membelah jalanan.
Aroma petrichor, dengan aspal yang basah. Hujan yang kemarin malam membekas, ternyata.
Adyra mengalihkan tatapannya ke arah ponsel di tangannya. Langsung terbesit sesuatu yang mengusik pikirannya. Adyra mendesah frustasi.
"Kayaknya nanti Papa nggak bisa jemput kamu pulang sekolah."
Adyra menghentikan gerakannya saat membuka seatbelt, saat mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di dekat pagar sekolah. Adyra menoleh, "Oke. Aku bisa naik bis atau angkot."
"Nggak bisa. Sekarang itu rawan copet. Dan di bis? Nggak bisa! Nanti banyak asap rokok, nggak bagus buat kesehatan."
Adyra mengerutkan kening, "Masa, sih? Selama aku naik angkot sama bis, nggak ada tuh kasus-kasus kayak gitu. Tapi, oke deh aku nanti naik taksi."
Adyra membuka seatbelt dengan satu gerakan, lalu mengarahkan tangannya untuk membuka pintu. "Siapa bilang kamu boleh naik taksi?" sergah Andi.
Adyra menghentikan gerakannya lagi, lalu dengan cepat menoleh ke arah Andi. "Kalo kamu diculik gimana? Kamu itu anak sematawayang Papa, ya! Nggak ada naik taksi-taksi segala."
"Terus aku harus gimana? Jalan kaki, maksud Papa?" Adyra mendesah keki melihat tingkah Andi yang tiba-tiba menyebalkan setengah mati.
"Papa udah suruh orang buat jemput kamu, dan anterin kamu sampai rumah," kata Andi.
"Adyra bukan anak kecil yang bakal nyasar kalo cuma jalan pulang dari sekolah."
"Kalo masih ngebantah, nggak usah minta uang jajan lagi sama Papa."
Adyra mendengus, lalu membuka pintu mobil dengan tangannya-dengan agak sedikit kesal. Mobil Papanya langsung melesat pergi sebelum Adyra sempat bertanya lagi.
Adyra menggelengkan kepala. Papa beneran aneh. Tadi waktu sarapan salah makan kali, ya?
Adyra berjalan menyusuri koridor yang sudah lumayan ramai anak-anak yang berdiri menunggu bel masuk di sana. Beberapa ada yang sibuk membaca mading, dan beberapa ada yang sedang memperdebatkan sesuatu sebelum masuk ke kelas masing-masing.
Adyra merasa risih, dengan beberapa anak yang menatapnya aneh-tidak seperti biasanya. Setiap Adyra berjalan melewatinya, dia selalu diikuti dengan tatapan-tatapan yang sulit terdefinisi. Adyra mengernyit bingung. Kaos kaki gue panjang sebelah apa, ya?
Adyra menunduk lalu menggeleng, karena tidak menemukan kenyelenehan dengan posisi kaos kakinya. Adyra juga sesekali merapikan helai rambutnya. Kali-kali aja masih ada roll rambut yang nyangkut atau apa gitu.
"Ngapain lo? Kutuan?"
Adyra menghentikan aktifitasnya, saat Amy dan Siska sekonyong-konyong muncul kayak siluman. Adyra melengos setelah melirik Amy sinis. Amy dan Siska, langsung ikut berjalan di samping kanan kiri Adyra menuju ruang kelas.
"Ponsel lo, lo kemanain sih, Ra? Gue chat, telepon, sampai video call lo anggurin aja dari kemarin."
Adyra diam sebentar, melempar kembali ingatannya pada kejadian malam kemarin. Tentang sebuah pesan singkat yang membuatnya galau setengah mati.
Dari kemarin, matanya tak berpindah barang sedetikpun dari ponselnya. Sambil bertopang dagu, Adyra menimbang mau membalas pesan itu, langsung telepon Andra, atau mau dibiarin aja.
Adyra bahkan tak menghiraukan notifikasi dari siapapun kecuali nama yang tertera di layar ponselnya itu Andra.
"Ra, lo denger gue nggak, sih?" kata Siska, sedikit berteriak karena kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Novela JuvenilSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...