32. Memories

14.7K 995 10
                                    

Andra memarkirkan motor di samping rumahnya, lalu melepas helm yang membuat pengap kepalanya. Cowok itu mendesah sambil mengacak rambut. Perasaan cuma jalan kesitu-situ aja. Kok rasanya capek banget, ya?

Andra turun dari motor dan mulai masuk rumah dengan wajah lesu seperti biasa. Saat telapak tangannya hampir menyentuh kenop pintu, gerakannya mengambang.

“Memang kenapa kalau dia tahu? Prabu itu ayahnya. Dia berhak tahu kebenarannya. Gimana kelakuan ayahnya biar dia nggak terus-terusan nyalahin kamu.”

“Dia nggak perlu tahu. Kamu nggak lihat, kita udah baik-baik aja?”

Arya terkekeh pelan, dia tak habis pikir. “Selama ini dia salah paham. Andra cuma tahu setengah dari ceritanya, bukan sepenuhnya. Perceraian kalian bukan karena kamu yang ninggalin ayahnya. Tapi, ayahnya yang ninggalin kamu. Karena Prabu nggak pernah mencintai kamu.”

Rasanya ada sesuatu yang mencubit dadanya. Suasana hening seketika, saat Andra muncul dari ambang pintu di sana.

Andra mengedarkan pandangannya, dan berhenti tepat di manik mata ibunya. Dia melihat keterkejutan dari sorot mata Reya. Tapi semakin lama, sorot mata itu melemah. Andra bahkan bisa merasakan helaan napas Reya sekarang.

Pandangan Andra turun ke telapak tangan Reya. Wanita itu langsung menyembunyikan sesuatu ke balik punggungnya. Saat Andra berusaha melihatnya, Reya semakin merapatkan tangan ke belakang dan meminta Andra untuk berhenti mau tahu lewat sorot matanya.

Sayang, bukan Andra namanya kalau tidak keras kepala. Andra mengulurkan tangan, lalu merebut benda itu dengan gerakan secepat kilat.

Andra termangu sebentar, menatap sebuah nama yang terlihat jelas dengan mata kepalanya. Dalam sebuah undangan pernikahan yang mencantumkan nama ayah kandungnya. Seseorang yang dia banggakan. Hingga tanpa sadar melukai hati seseorang yang sangat dia sayang.

Di luar dugaan, Andra tersenyum. “Aku mau datang.”

••••••

Bara menggeraskan rahangnya menatap selembar kertas bertinta di genggamannya. Cowok itu mengangkat kepala, dengan posisi duduk di bangku taman dekat pohon beringin. Sejuknya suasana taman tak berhasil mendinginkan kepalanya.

Bara mendengus kasar. Nilai ulangannya belum sempurna. Pasti, sebentar lagi Mamanya akan langsung meneleponnya.

Di seberang sana, Cinta sedang duduk sendiri di atas bangku panjang. Dia tersenyum menatap lembar kertas ulangan harian yang baru dibagikan. Kalau seperti ini terus, soal UAS ke depan bukan apa-apa baginya. Dia memang selalu mendapat nilai yang memuaskan di setiap bidang mata pelajaran.

Sesaat, tubuhnya tersentak saat seseorang menarik kertasnya ke atas kepala. “Wah! Sembilan puluh, nih? Matematika, sembilan puluh? Nggak salah? Pakai jampi-jampi apa, lo?”

Cinta mendengus. Ini cowok kadal selalu saja kurang kerjaan. “Balikin kertas gue, nggak!”

Aldo menyeringai, “Boleh. Asal cium dulu, sini!”

Cinta mendelik. “Ciuman sama aspal, sana!” Cewek itu mengulurkan tangan, mencoba merebut kembali kertas ulangannya. “Balikin, nggak!”

Aldo semakin meninggikan tangan. “Udah gue bilang cium dulu. Lagian, hitung-hitung tanda terima kasih lo karena udah gue belain kemarin di kafe.”

Bola mata Cinta berputar. “Siapa suruh lo belain gue? Gue nggak minta, tuh.”

Saat Cinta mengulurkan tangan ke kanan, Aldo memindahnya ke kiri. Saat Cinta mengulurkan tangan ke kiri, dia pindah ke kanan. Gitu aja terus sampai Upin Ipin lulus TK.

Adyra's Diary ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang