Andra menatap kosong ke depan. Dengan posisi duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan. Bersama Adyra, sambil menikmati semilir angin yang mampir. Suasana lapangan yang sudah sepi; karena kumpulan anak SD yang main bola tadi sudah pulang ke rumah masing-masing buat mandi, membuat kecanggungan di antara Andra dan Adyra semakin menjadi.
Dengan melempar tatapan kosongnya ke depan tak mau melihat Adyra. Hal itu, membuat secara tak langsung Adyra tersenyum masam. “Jadi, cuma segitu peran aku dalam kehidupan kamu?”
Andra masih terlihat tenang sambil menyatukan kedua telapak tangan. “Kalo kamu punya masalah, kamu bisa ngomong sama aku. Bukan malah bersikap kayak gini,” kata Adyra sedikit kesal.
“Aku bisa selesaikan ini sendiri,” tegas Andra.
“Buat apa sendirian kalo kamu punya aku?” Adyra menghela napas. “Apa aku segitu nggak pentingnya ya, buat kamu?”
Andra memejamkam mata sejenak. “Bukan gitu maksud aku. aku.. cuma nggak mau kamu khawatir.”
“Dengan bersikap kayak gini, kamu malah bikin aku tambah khawatir tahu, nggak?” Adyra berseru. Walau dengan nada bicara yang sedikit berteriak, tak membuat Andra mengangkat kepala untuk melihat gadis itu.
Papa is calling....
Andra menoleh pada ponselnya yang berbunyi. Bibirnya menipis kesal, sambil membalikkan ponselnya dengan kasar. Adyra mengernyit, lalu berusaha merebut ponsel Andra yang di letakkan di samping tubuh cowok itu.
“Kenapa nggak diangkat?” Andra hanya diam, enggan menjawab.
Ponsel itu terus berdering dari genggaman tangan Adyra. Adyra berdecak melihat Andra yang seolah menulikan pendengarannya. Dengan gerakan refleks, Adyra menarik lengan Andra agar cowok itu mau menghadapnya. “Sampai kapan kamu mau menghindar? Kamu pikir, masalah akan selesai dengan sendirinya, gitu?”
Pada akhirnya, Andra mengangkat pandangan dan menatap manik mata Adyra. “Kamu nggak tahu apa yang aku rasain.”
“Aku emang nggak tahu. Dan aku nggak tahu apa-apa. tapi setahu aku, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Nggak terkecuali kamu. Bilang maaf emang mudah. Tapi seenggaknya, dia udah mengakui kesalahannya dengan minta maaf. Sekalipun kata maaf nggak bakal mengubah apapun, untuk apa yang udah terjadi.”
Andra menatap Adyra. Masih menanti kalimat apa lagi yang akan keluar dari bibirnya. Gadis itu malah tersenyum, sambil menggenggam telapak tangan dingin Andra. “Jangan egois, Ndra. Seburuk-buruknya dia, dia adalah Papa kamu.”
••••••
Bara melipat tangan sebagai bantal, sambil berbaring dengan mata terpejam di atas rerumputan. “Lo masih di sini, Bar?” Bara membuka mata dan menemukan Adyra tengah berjalan ke arahnya. Cowok itu langsung berdiri.
Bara sedikit terkejut, tapi kemudian bisa menerima lemparan sebotol minuman dingin dari Andra dengan gerakan refleks. “Upah buat lo, karena udah nganterin cewek gue ke sini,” kata Andra setelah muncul di balik tubuh Adyra sambil tersenyum.
Bara mengangkat alis, lalu tersenyum skeptis. “Sinting.” Bara mendengus. “Lo pikir, gue cowok apaan dibayar pakai ginian?”
Andra mengernyit. Melihat Bara dari membuka botol minuman yang dia kasih sampai menghabiskannya tandas tanpa sisa membuat bola mata Andra memutar jengah. Adyra tertawa geli melihat Bara.
“Apa lo?!” Bara melirik Andra hiperbolis. “Kalo gue nggak haus juga ogah minum-minuman dari lo.” Andra semakin malas menanggapi.
Setelah membuang botol kosong itu ke tempat sampah, Bara menyentuh kedua bahu Adyra dan mengalihkannya agar Adyra mau menatapnya. “Gue pulang dulu ya, Ra? Nggak papa gue bisa pulang sendiri. Lo juga nggak usah khawatir sama gue. Kalo kangen telepon aja, oke?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Fiksi RemajaSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...