Sejenak, keheningan berhasil menyelimuti suasana asing yang melingkupinya. Tidak ada sedikit suarapun di sana. Yang ada hanya suara detikan jam dinding, yang memenuhi ruangan bernuansa putih itu.
Cowok berkulit langsat itu masih terbaring lemah di atas ranjang ruangan itu. Ujung jarinya tergerak ringan, sambil berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya. Kelopak matanya seolah memaksa untuk terbuka. Hingga dia merasakan nyeri yang teramat sangat di bagian kepalanya.
Engh
Cowok itu mengerang pelan sambil menyentuh dahinya. Dia baru sadar, jika saat ini dahi kirinya itu tengah terbalut dengan sebuah kasa persegi yang direkatkan dengan plaster.
Andra mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan. Di sana, dia menemukan sebuah ruangan dengan cat tembok berwarna putih, sebuah pintu kayu yang dicat cokelat, dan sebuah ranjang empuk yang menjadi tempat berbaringnya saat ini. Ruangan ini seperti...kamar?
Andra mengernyit. Sekarang dia tengah berada di sebuah kamar-yang entah milik siapa-dengan sebuah kain kasa yang menempel di dahinya. Dan juga... tunggu! Sejak kapan dia memiliki kaos Barca? Merasa membelinya saja tidak pernah. Karena, Andra lebih suka Real Madrid daripada tim sepak bola Barcelona. Tapi itu tidak penting. Ada sesuatu yang mengganjal di sini.
Perasaan, kemarin dia mengenakan sebuah kaos putih oblong yang dibalut dengan jaket kulit berwarna hitam, dan celana jeans warna gelap. Tapi apa sekarang? Tidak ada lagi kaos oblong, tidak ada lagi celana jeans, apalagi jaket kulit. Lantas...siapa yang menggantikan semua pakaiannya?
Dia berusaha menuju posisi duduknya, dan mengingat apa yang terjadi padanya sebelum tubuhnya berakhir terbaring di ruangan ini. Dalam gambaran otaknya, dia menemukan bayangan sebuah motor, sirkuit, polisi, kecelakaan dan...Bara?
Ya, dia ingat! Beberapa jam yang lalu, Bara berhasil membuatnya tersungur di pinggir jalan dengan kondisi yang menyedihkan. Lalu dia mendengar sirene mobil polisi, dan dia lari terseok-seok hingga sampai di sebuah gang sepi. Saat polisi itu hampir menemukan dirinya, seseorang menarik tubuhnya hingga tersentak. Sosok itu membungkam mulutnya, dan dia melihat dua buah manik mata yang sangat familiar.
Cowok itu tidak yakin dengan penglihatannya saat itu. Terlebih pencahayaan di sudut itu sangat remang-remang hingga membuatnya sulit mengenali sosok itu. Tapi saat Andra menangkap gelombang suara dari bibirnya, dia seolah benar-benar yakin dengan opininya.
Keningnya mengernyit saat seseorang itu keluar dari ambang pintu. "Ady..ra?"
•••
Hembusan udara air conditioner yang menguak menusuk pori-pori kulitnya itu, seolah membuat bulu kuduknya merinding seketika. Gadis itu melongo-membelalakkan matanya tak percaya. Kalau saja mulutnya itu terbuat dari karet, mungkin sudah terjatuh terkapar di atas tanah saking elastisnya. Nampan yang dia bawa saja sudah oleng karena saking terkejutnya.
"Heh! Adyra? Kenapa gue bisa ada di sini?"
Adyra mengerjapkan matanya beberapa kali. Barusan, Andra memanggil namanya? Nggak salah, nih? Sungguh keajaiban luar biasa. "Wah, waktu lo panggil nama gue, kok gue menangkap kesan yang sangat macho, ya? Ulangi lagi, dong!," jawab Adyra nggak nyambung.
Andra memutar bola matanya rikuh. Ditanya apa, malah dijawab apa.
"Lo nggak ngapa-ngapain gue kan, semalem?," tanya Andra menyelidik.
Adyra mengetuk-ngetukkan jari telunjukknya di ujung dagu, seolah mengingat-ingat sesuatu. "Emang elo ngerasa diapain semalem?"
Andra memandang horor Adyra yang tengah menatapnya menyeringai dengan salah satu alis dinaikkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Roman pour AdolescentsSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...