Suasana ricuh milik gerbang SMA Pancasila membuat kening Andra makin berdenyut sakit. Setelah motor besarnya terparkir rapi di samping sekolah, Andra melewati gerbang yang berdiri kokoh itu dengan langkah santai.
Tubuhnya berjengkit kaget karena ulah seseorang yang memeluknya dari arah samping secara tiba-tiba. Dadanya terasa sesak seketika. "YA AMPUN, ANDRA! KEMANA AJA SIH, LO? Mau bikin kita mati berdiri apa, karena khawatir sama keadaan lo!"
"Itu muka juga kenapa? Baret-baret kayak gitu! Sakit nggak?" teriak Aldo antusias masih dengan posisi memeluk leher Andra.
"Jauh-jauh sana, lo! Geli gue," balas Andra ketus sambil mendorong bahu Aldo dengan kasar. Bukannya kesel, dia malah ketawa-tawa nggak jelas menatap Andra yang tengah memasang ekspresi jijik.
"Nyogok berapa lo, biar dibebasin?" tukas Eric skeptis.
Andra mengangkat sebelah alis, tanpa menghadap lawan bicara. "Gue berhasil kabur."
"Kalo berhasil kabur, kenapa muka lo bonyok kayak gitu?" Rio ikut angkat bicara, sambil menyandarkan tubuhnya di samping pagar besi yang terbuka.
"Ini semua gara-gara cowok nggak tahu diri itu. Mau menang balapan, tapi pakai cara curang." Andra mendengus. "Pengecut banget."
Eric menggangguk mengerti, disusul Rio yang mengucap kata 'oh'. Sementara Aldo, mulai memasang tampang bingung sekarang. Andra memutar bola matanya malas menanggapi kinerja otak Aldo yang lemotnya minta ampun.
Andra bergerak mengambil kaleng soda milik Aldo, lalu meninggalkan ketiga temannya tanpa permisi. Otaknya merespon sangat tak sinkron dengan gerak tubuhnya. Andra mematung, sedikit terkejut melihat seseorang yang dia tabrak tanpa sengaja. Andra hanya diam. Memandang gadis yang menampakkan wajah terkejutnya karena beberapa lembar kertas yang dibawanya, telah berserakan di atas tanah.
"ASTAGA, KERTAS GUE!" Gadis itu langsung menunduk, tanpa memandang si pembuat ulah. "Gue udah bela-belain begadang sampai jam 2 pagi buat ngerjain ini. Dan lo malah ngerusak semuanya gitu aja! Makanya, kalau jalan itu pakai mata dong! Nggak punya mata, ya?"
Gadis itu mengernyit sebal karena merasa tak direspon sedikitpun. "Heh! Lo dengerin gue nggak sih—"
Adyra terperanjat sesaat melihat seseorang di hadapannya. Gadis itu bergeming untuk beberapa detik. Adyra tak mengeluarkan sepatah katapun setelah itu. Tubuhnya membungkuk untuk mengambil selembar kertas lagi yang sudah basah karena tersiram air soda milik Andra.
Adyra melewati tubuh semampai Andra begitu saja. Andra mengernyit bingung. Ada apa dengan gadis itu? Biasanya, selalu ada sebuah sapaan manis yang harus dia terima saat berhadapan dengan gadis itu. Tapi sekarang, gadis itu bahkan membuang muka saat bersitatap dengannya.
Gelenyar aneh mulai bergerak lagi menggerogoti rongga dadanya. Tiba-tiba, Andra teringat dengan kalimat yang dia ucapkan sebelum meninggalkan rumah gadis itu kemarin. Ya, dia sempat membentaknya karena kalut. Apa karena itu dia menjadi pendiam? Tapi, untuk apa Andra peduli? Bukannya bagus kalau gadis aneh itu menjauh dari hidupnya?
"Ngerasa ada yang beda, ya?" Andra menatap Eric tanpa ekspresi. Pertanyaan dari mulut Eric seolah terdengar seperti ungkapan. Ungkapan isi hati Andra yang berusaha dia tahan.
"Biasa aja," respon Andra pada akhirnya.
Eric mendengus. "Yah, Cuma mau ngingetin aja sih. Penyesalan nggak pernah dateng di awal."
Eric berlalu, kemudian Aldo dan Rio menyusul dari belakang.
"Kalau suka ngaku aja."
"Kalau cinta tembak aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Ficção AdolescenteSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...