Adyra tersenyum sendu saat tak sengaja membuka sebuah lembaran masa lalu yang dulu pernah singgah dalam sebuah ruangan hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca, seolah ingin menumpahkan segala perasaan sakit yang menghinggapi ulu hatinya.
"Ini yang namanya cinta? Berkorban dengan jutaan rasa sakit. Bukannya tujuan mencintai adalah bahagia, ya?"
Gadis itu mengangkat kepalanya. Berusaha tak menumpahkan air matanya lagi. Sudah cukup satu tahun dia merasakan kepedihan itu berlarut-larut. Dia harus bangkit. Dia harus mengalahkan semua rasa sakit itu, dengan mengikhlaskannya.
Walau akan terasa sulit, nantinya.
"Sayang, udah siap?" Adyra bergegas menutup Journal tebal berwarna cokelat kayu itu, lalu memasukkannya ke dalam laci yang berada di samping kiri ranjang king size miliknya.
"Sebentar!" Gadis itu mengambil tas ransel berwarna pink yang tergeletak di atas ranjang, kemudian melenggang pergi menuju ruang makan yang berada tepat di lantai bawah rumahnya.
"Kamu nggak makan dulu?"
Sosok pria yang tengah menyambutnya di ruang tamu seraya membenarkan letak jasnya itu, tersenyum lembut pada Adyra. Gadis itu membalas senyumannya sejenak, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
Andi menghela napasnya singkat sambil menatap anak gadis di depannya itu. Raut sendu di wajah Adyra membuatnya sedikit khawatir. Andi sangat tahu apa yang tengah dirasakan gadis semata wayangnya itu.
"Udahlah, Ra. Jangan siksa diri kamu terus-terusan kayak gitu. Kesedihan yang berlarut-larut, akan menjadi bumerang untuk diri kamu sendiri."
Adyra mengernyitkan keningnya heran, seraya menatap mata Andi yang terlihat serius. "Maksud Papa?"
Andi menatap Adyra sejenak memberi jeda, lalu menumpukkan telapak tangannya di puncak kepala gadis itu dengan satu gerakan saja.
"Lupain Dimas."
Oksigen yang susah payah dihirupnya mati-matian, kini seakan terenggut dengan paksa. Ulu hatinya terasa sakit seolah tertimpa ribuan godam yang menghunusnya bertubi-tubi tanpa ampun. Bahunya meluruh tak percaya. Adyra menatap Andi yang tengah menyiratkan keseriusan yang jelas di balik manik mata papanya. Sulit bagi Adyra untuk sekedar berujar sepatah kata sekalipun.
Hingga beberapa detik kemudian, Adyra menarik seulas senyum tipis, yang dipaksakan.
"Aku lupain dia, demi Papa."
Bibirnya tersenyum, tidak untuk hatinya. Matanya berbinar bahagia, sangat berbanding terbalik dengan hatinya. Dia tidak sedang pura-pura baik-baik saja seperti gadis kebanyakan.
Hanya saja, dia tidak ingin membagi rasa sakit ini dengan orang tersayangnya. Karena baginya, itu tidak perlu.
▪▪▪
Adyra bingung saat menemui deretan kelas yang berada di lantai bawah sekolah. Sebagai murid baru di sekolah ini, tentu saja semua ruangan beserta jalannya sangat terasa asing baginya.
Dia mengamati name tag yang tertera di depan deretan kelas itu satu-persatu, berusaha menemukan kelas yang akan dia tempati. Tapi daritadi dia berjalan, dia sama sekali belum menemukan kelas yang dia cari.
"Dimana, sih kelasnya? Bisa telat pelajaran, nih gue!" Adyra menggerutu kesal karena belum berhasil menemukan kelasnya.
Hingga saat dia memasuki sebuah lorong, dia menjumpai sekawanan siswa di ujung sana. Dari badge class berwarna merah yang dia pakai di lengan kirinya, Adyra menyimpulkan jika mungkin mereka adalah kakak kelasnya dari anak kelas dua belas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
JugendliteraturSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...