Tetesan keringat membanjiri hampir seluruh bagian wajah Adyra. Jantungnya memompa aliran darah lebih cepat dari biasanya. Gadis itu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang dengan diganjal beberapa bantal.
Adyra sedikit lega karena setelah dia membuka mata, yang dia lihat pertama kali bukan seperti yang ada dalam bayangannya.
"Cuma mimpi doang, ternyata."
Adyra mendesah. Tangannya meraba nakas dan menemukan ponsel."Halo? Kamu di mana?" Itu suara Andra.
"Aku di rumah." Adyra menghela napas. "Maaf, kayaknya aku nggak bisa ke sana. Lagi nggak enak badan tiba-tiba."
"Kamu sakit?"
"Enggak papa, kok. Cuma sedikit--"
"Aku ke rumah kamu sekarang!"
"Nggak usah..."
Panggilan terputus.
Adyra mengembuskan napas lalu menaruh kembali ponselnya di atas nakas. Adyra turun dari ranjang dan berjalan ke arah jendela. Saat membuka kelambu, sinar matahari pagi langsung mengenai kulit wajahnya.
Gadis itu duduk di meja belajar, yang berhadapan langsung dengan jendela yang terbuka. Tangannya menyentuh seikat bunga mawar di atas meja, lalu menghirup wanginya.
Dia tersenyum. Membayangkan wajah Andra yang selalu mengisi hari-harinya. Walau tak selamanya Adyra lewati dengan tawa bahagia, dia masih tetap menikmatinya. Selama itu bersama Andra.
Adyra memandang bunga itu. Sambil sesekali membenarkan posisi bunga maupun plastik pembungkus yang agak kusut. Dia mengambil sticky note dan membacanya dalam hati berulang kali. Tiba-tiba ponselnya berdering.
Andra is calling...
"Halo?"
Adyra mengernyit, menunggu suara di seberang sana yang tak segera membalas sapaannya. Gadis itu terdiam sejenak.
Hingga beberapa saat kemudian, Adyra tertegun. Tangannya tak sengaja meremas bunga yang tengah dia bawa. Tubuhnya melemas, hingga tangan yang dia pakai untuk menggenggam ponsel hampir terjatuh.
Bibir Adyra bergetar,
"Andra kecelakaan?"••••••
Kaki Adyra bergerak gelisah. Dia tidak bisa duduk diam dengan tenang. Matanya sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan.
"Bisa lebih cepat lagi, Pak?" pinta Adyra pada supir taxi.
"Ini udah ngebut, Mbak."
Adyra menghela napas. Lalu memeriksa ponselnya kembali dan berniat menelepon Andra. Gadis itu panik setengah mati saat tak ada respon apapun dari sana. Adyra memijit pelipisnya.
"Jalanannya macet, Mbak."
Adyra semakin menenggelamkan wajah di antara kedua tangannya.
•••••
Beberapa orang menurunkan sebuah brankar dari ambulans, kemudian beberapa orang lainnya yang berpakaian khas rumah sakit mulai membantu dengan mendorong brankar itu untuk masuk ke ruang penanganan.
Seorang lelaki terbaring di atas brankar dengan bersimbah darah di area kepala. Tak lama kemudian, seorang lelaki juga ikut turun dari ambulans yang sama. Dengan sesekali memegangi kepala yang sedikit berdenyut, lelaki itu ikut serta mendorong brankar bersama pegawai rumah sakit yang lainnya.
"Maaf, anda tidak bisa masuk. Silahkan obati luka anda dulu sama suster, setelah itu anda bisa mengurus data di administrasi," kata seorang dokter wanita yang menghadang pintu di depan Andra.
Andra memejamkan mata sejenak, lalu memegang kedua lengan dokter di depannya. "Tolong selamatkan dia, Dok. Jangan sampai dia kenapa-napa."
Dokter itu tersenyum menenangkan. "Kami akan berusaha sebaik mungkin," kata dokter sebelum dia benar-benar pergi dari hadapan Andra.
Andra melangkah mundur menjauhi ruangan. Tubuhnya terjatuh perlahan saat bersandar di dinding rumah sakit. Andra menundukkan kepala dan menyembunyikannya di antara kedua lututnya.
"Aku ke rumah kamu sekarang!" kata Andra sebelum memutus sambungan telepon.
Cowok itu langsung menyalakan mesin motor setelah memakai helm.
Entah kenapa, setelah mendengar suara Adyra yang terdengar serak dari seberang telepon, membuat Andra sedikit khawatir. Ditambah lagi dengan pengakuan gadis itu yang mengatakan kalau dia sedang tidak enak badan.
Semua isi kepalanya hanya diisi oleh bayangan Adyra. Jalanan yang lenggang, membuat beberapa kendaraan melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Hingga tanpa Andra sadari, sebuah truk melaju pesat di depannya. Truk tersebut berjalan oleng.
Saat Andra mulai sadar, cowok itu tak sempat memikirkan apa yang harus dia lakukan. Hingga sebuah motor dari belakang Andra menyalip motornya dan berakhir di depan motor Andra.
Motor itu membuat truk yang melaju kencang membantung stir ke arah kanan. Kemudian menabrak tiang di samping jalan.
Andra menarik rem tangan, walaupun berakhir menabrak pohon yang ada di bahu jalan.
Andra melihat pengendara motor itu terlempar jauh ke trotoar. Dengan sisa tenaga yang ada, Andra berlari menghampiri pengendara motor itu. Andra melepas helm yang melekat di kepalanya hingga dia bisa melihat dengan jelas seperti apa wajah seseorang itu.
Saat Andra berhasil melepas helm yang memerangkap kepala itu, hal pertama yang Andra lihat adalah sebuah senyuman dengan dengan ekspresi lega.
"Lo nggak luka, kan?" katanya sambil tersenyum dengan wajah bersimbah darah.
Andra semakin menenggelamkan wajahnya. Dia tahu siapa lelaki itu. Lebih dari sekedar mengenal. Lelaki yang telah menolongnya dengan memertaruhkan nyawa.
"Gue bunuh lo nanti kalo udah sadar." Andra mengepalkan telapak tangannya sambil menatap nanar.
"Maaf, Mas. Mari kita obati lukanya," kata seorang suster yang menghampiri Andra.
****
"Suster! Dimana ruangan pasien yang barusan kecelakaan motor?"
"Di sebelah sana, Mbak."
Adyra langsung berlari tak karuan. Tak peduli jika beberapa kali bahunya menabrak orang. Hingga dia langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan.
Adyra langsung membuka pintu tak sabaran. Gadis itu memasuki ruangan. Ruangan yang cukup ramai dengan beberapa orang yang berpakaian rumah sakit, sedang mengerubungi seseorang yang berbaring di atas ranjang. Saat Adyra datang, beberapa dari mereka menggeser posisi badan. Hingga membuat Adyra bisa melihat wajah seseorang yang dalam keadaan tak sadar.
Adyra mundur beberapa langkah. Tubuhnya mendadak lemas. Saat gadis itu berpegangan pada sebuah meja dan tak sengaja menjatuhkan beberapa barang.
Gadis itu menatap tak percaya. Ada selang oksigen yang terpasang. Bersamaan dengan suara mesin elektromagnetik yang memenuhi ruangan.
"Adyra..."
Andra langsung memasuki ruangan saat mendengar suara keributan. Cowok itu melihat Adyra berpegangan pada meja sambil menatap ke arah ranjang rumah sakit. Gadis itu tak mendengarkan saat Andra memanggilnya. Hingga saat Andra memegang lengan Adyra, gadis itu tersadar. Dan wajah Andra kini menjadi pusat pandangan Adyra.
Melihat bukan Andra yang terbaring tak sadarkan diri di sana harusnya membuat Adyra lega, bukan?
"Tangan kamu... berdarah," kata Andra sambil melihat mata Adyra yang hampir menangis.
Adyra menundukkan pandangan. Melihat beberapa pecahan beling bertaburan di sekitar kakinya dengan darah yang berbecak di tangan dan menetes di lantai.
****
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Roman pour AdolescentsSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...