Adyra memasuki kamarnya. Usai melepas sepatu, ia berjalan menuju lemari. Mencari beberapa potong baju, kemudian beranjak menuju kamar mandi. Tubuhnya gerah. Selain ingin menyegarkan badan, ia juga ingin mendinginkan kepala. Terlalu banyak memikirkan Andra membuat kepala Adyra terasa mau meledak saja.
Sehabis mandi, Adyra kembali ke kamar, sambil mengeringkan rambut di depan cermin. Ia melihat bayangan wajahnya di sana. Kantung mata yang agak bengkak karena menangis semalam. Ya, Adyra menangis memang. Cukup lama juga. Ia bahkan tak sadar kalau semalaman menangis sampai tertidur pulas.
Adyra beranjak dari cermin menuju kasurnya. Tak sengaja, ia melirik rak dinding di samping meja belajarnya. Ada cukup banyak pernak-pernik sederhana di sana. Sebuah rubik, kotak musik, boneka berukuran kecil, dan beberapa bingkai foto. Dan salah satunya, ada fotonya bersama Dimas yang masih terpajang di sana.
Adyra tak pernah membereskan semua itu sebelumnya. Bukan karena apa-apa, dia hanya malas membereskan barang-barang yang sudah berjejer rapi di kamarnya. Toh, benda-benda itu juga tak mengganggu penglihatan Adyra selama ini.
Namun, sekarang terasa berbeda. Semua barang pemberian Dimas, benda-benda kenangannya bersama Dimas, dengan melihatnya saja membuat Adyra menghela napas. Seolah ingin mengeluarkan sebulat beban dari embusan napasnya. Adyra mendekat, menyentuh benda-benda itu, dan mengumpulkannya menjadi satu. Ia mengambil kardus dari gudang, lalu kembali lagi ke kamar sambil memasukkan semua benda yang sudah ia kumpulkan ke dalam kardus berukuran sedang.
Ia memasukkan semuanya, satu-persatu, tanpa terkecuali kalau bisa. Gerakan tangannya cukup cekatan, hingga pada akhirnya terhenti karena ia melupakan sesuatu. Adyra meraba kasurnya. Menyingkap bantal, guling, serta selimut, hingga menemukan buku diary-nya. Adyra termenung bingung.
Tapi.... buku ini adalah benda kesayangannya. Benda yang Mama kasih terakhir kali sebelum ia pergi. Haruskah ia membuangnya juga?
••••••
Andra tiba di rumahnya. Sambil melangkahkan kakinya malas, tangannya meraih ganggang pintu dan membukanya.
"Kusut banget muka lo."
Andra mendengar suara Dimas ketika cowok itu melirik ke arah sofa. Dimas balas melirik Andra sekilas mengalihkan pandangan pada buku di tangannya. Andra memilih acuh. Ia berjalan menuju kamarnya tanpa mengatakan apa-apa.
Melihat tingkah Andra, Dimas keheranan. Kalau Andra mendadak jadi pendiam, pasti sedang ada sesuatu yang terjadi.
"Lo kenapa?" tanya Dimas ketika melihat Andra keluar dari kamarnya dengan telah mengubah seragam sekolah menjadi style kasual seperti biasa. "Lo ada masalah?" tanyanya lagi ketika Andra masih betah menyimpan suaranya. Cowok itu berjalan menuju dapur, membuka lemari es dan mengambil sebotol air dingin.
Dimas melirik Andra lagi sebelum menutup laptopnya. "Tadi Adyra telepon. Nanya lo udah pulang apa belum." Cowok itu menghela napas. "Dari suaranya, dia kayak khawatir banget sama lo. Dia juga bilang kalo— "
Andra tersenyum miring. "Emang dia bilang apa aja sama lo?" tanya Andra membuat dahi Dimas berkerut.
"Sebanyak apa dia cerita sama lo? Seberapa sering kalian teleponan, ngobrol bareng, atau bahkan ketemuan, mungkin?" Andra menyelipkan senyum di setiap perkataannya.
"Lo kenapa, sih?" Dimas bingung. "Pertanyaan lo aneh."
"Aneh?" Alis Andra terangkat sebelah. "Kayaknya nggak ada yang aneh sama pertanyaan gue." Andra mengembalikan botol minuman yang ia pegang tadi, ke dalam lemari es. Andra terkekeh pelan. "Justru kalo menurut gue, yang aneh itu... lo berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
Genç KurguSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...