Kata Dilan, “Cinta itu indah. Kalau bagimu tidak, mungkin kamu salah pilih pasangan.” Tapi kalau kata Adyra, “Cinta itu indah, bahkan sebelum kamu punya pasangan.”
Adyra mesem-mesem sendiri sambil menyembunyikan wajah malunya di tengah buku yang tadi dia baca. Kebetulan, sore ini Adyra punya jadwal ke toko buku langganannya untuk menambah koleksi buku-buku miliknya. Dari pada mati bosan di rumah, mending ke sini.
Lumayan, bisa sambil nyapa si mas-mas kasir yang mukanya mirip Lee Min-ho. Xixi.
Padahal sih, awalnya Adyra cuma ingin me-refresh otak ngawurnya yang sedari tadi tidak ada berhenti nya mikirin muka Andra yang bikin tersenyum bahagia. Tapi kalau keseringan senyum, nanti disangka orang gila! Tapi percuma, nggak ada ngaruhnya. Sampai di toko buku pun, wajah Andra masih setia membayang.
Kadang Adyra berpikir, apa dia lagi kena santet?
Adyra meletakkan kembali novel karangan Pidi Baiq; Dilan yang pernah viral di kehidupan remaja dalam tempatnya, lalu mengambil novel terbitan terbaru di sampingnya. Dirasa sudah cukup hunting-nya dari satu rak ke rak lainnya, Adyra memutar tubuh menuju kasir. Tapi, sejurus kemudian keningnya berkerut karena kedua bola matanya menangkap wajah seseorang.
“Ya?”
Adyra menarik tangan dari bahu sosok di depannya, lalu membulatkan matanya sedikit terkejut. “Bara?”
Bara terkesiap, bergeming sejenak, lalu tersenyum tipis setelahnya. “Hai,” sapa Bara kikuk sambil mengangkat sedikit telapak tangannya.
“Gue salah lihat nggak, sih?” Kening Adyra berkerut, “Ini beneran elo?”
Bara mendengus lalu memutar bola matanya. “Lo ngelihat gue kayak lagi ngelihat setan aja.”
Adyra nyengir, “Ya, kaget aja gue. Ada orang kayak lo ada di toko buku, bukan toko samsak.” Adyra melirik rak buku yang ada di hadapan Bara, lalu mengetuk dagunya seolah berpikir. “Lo... baru dapet wangsit dari gunung mana?”
Bara meringis, “Lo kebanyakan nonton drama kolosal Mak Lampir, ya?”
Adyra mendelik, “Enak aja! Gue lebih doyan lemper dari pada Mak Lampir, tau!”
Keduanya mendengus geli secara bersamaan setelah sadar tentang arah pembicaraan mereka yang sudah mulai ngawur ngalor-ngidul.
“Andra mana?” Adyra berhenti tertawa setelah mendengar nama Andra dari mulut Bara. “Maksudnya?”
“Cuma nanya aja. Kalian kan sering bareng. Kalo ada lo, pasti ada dia juga di sini.”
Adyra menarik sudut bibir, “Kita bukan kembar dempet kali, yang kemana-mana harus barengan.”
Bara mengalihkan pandangannya ke arah jejeran buku lalu menelusurinya. “Faktanya emang gitu, kan? Semua anak sekolah kita juga tau kali kalo lo berdua emang deket dan yang kemana-mana selalu barengan.”
“Hng?” Alis sebelah kanan Adyra terangkat, “Gue deket sama semua orang, kok. Bukan cuma Andra doang. Gue juga deket sama lo, sama temen-temen cewek gue, temen sekelas, Pak Tono tukang kebun, Pak Tarjo satpam sekolah, Bi Inem kantin, sama Kang Tatang somay juga—“
“Ya beda lah, Ra.”
“Nggak ada yang beda lah, Bar.”
“Itu kan menurut lo. Setiap orang yang ngelihat lo berdua juga pasti mikir sama seperti yang gue pikirin sekarang.” Bara menarik sebuah buku dari rak lalu menatap Adyra, “Lo suka sama Andra?”
Adyra mengernyit, “Gue nggak tau apa yang lo maksud.“
“Gue tau pasti lo ngerti sama apa maksud dari pertanyaan gue.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Adyra's Diary ✔
أدب المراهقينSebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memenuhi pikirannya. Hingga sesaat, Andra teringat dengan perkataan Adyra waktu pertama mereka berjumpa. ...