Bab 3

3.5K 348 35
                                    

Keyla baru saja duduk di balik meja kerjanya ketika Lisa menghampirinya. "Sampe jam berapa meeting kemarin, Key?"

"Jam lima lewat sepuluh."

"Berdua aja sama Kak Ryan?"

"Bertiga sama Pak Rendra."

"HAH!!!!" pekik Lisa. "Lo satu tim sama Kak Ryan dan Pak Rendra?"

"Iya. Memang kenapa?" tanya Keyla polos.

"Bisa satu tim dengan salah satu dari mereka aja sudah beruntung, Keyla. Apalagi sama mereka berdua. Kalo sampai mereka satu tim, itu berarti proyek spesial. Belum lagi bonus bisa lihat wajah tampan mereka tiap meeting dan ketemu klien. Bikin iri banget sih lo," ucap Lisa geregetan.

"Bikin iri apanya. Justru kalau bisa gue pengen kabur." Keyla menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan wajah tertekuk.

"Loh, memang kenapa? Mereka nggak suka sama desain lo?" Lisa duduk di depan meja kerja Keyla.

"Bukan itu." Keyla menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Terus kenapa, dong?" Lisa memajukan tubuhnya dan melipat tangannya di atas meja Keyla. Dia tampak penasaran.

Keyla menceritakan kejadian di depan kantor kemarin. Dan bagaimana Rendra yang terus mengganggunya.

Dia menghela napas. "Rasanya gue sudah nggak punya muka ketemu Pak Rendra," keluhnya lagi.

"Sudahlah, nggak pa pa." Lisa mengibaskan tangan di hadapan Keyla. "Pak Rendra itu baik kok. Nggak pernah marah sama karyawan. Cakep lagi. Cuma sayang, sudah punya pacar."

"Pasti lagi gosipin Pak Rendra," sela Shifa yang baru masuk ruangan.

"Keyla satu tim sama Pak Rendra dan Kak Ryan. Bikin iri aja. Sudah gitu dia biasa aja lagi bisa satu tim sama dua cowok paling tampan di sini." Lisa menatap Shifa yang meletakkan tasnya di atas meja.

"Ya, iya, lah, kan menurut Keyla, cowok paling tampan itu Rico. Iya nggak, Key?" senyum Shifa.

"Oh, anak ibu kosmu tuh ya, Key? Memang cakep mana, Key, Rico sama Pak Rendra?" tanya Lisa dengan wajah menggoda. Dia kembali memajukan tubuhnya menatap Keyla.

"Kalian ni ya, berisik aja." Keyla yang malas menanggapi, kembali menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.

"Key, ke ruangan saya!”

Serentak semua orang yang ada di ruangan itu terkejut dan menolehkan kepala mereka ke arah sumber suara lalu terdiam. Tampak Rendra berdiri di pintu dengan membawa tas laptopnya. Sepertinya dia baru tiba di kantor.

"Sekarang, Pak?" tanya Keyla  masih dengan wajah terkejut. Dia langsung menegakkan duduknya.

"Besok, Key. Ya iyalah, sekarang. Saya mau ngecek desainmu sebentar sebelum ketemu klien di luar."

"I-iya Pak. Saya siap-siap dulu."
Rendra melihat jam tangannya.

"Jangan lama. Waktu kita nggak banyak." Rendra melangkah meninggalkan ruangan Keyla.

"Ampun Mak, mau copot jantung gue. Itu orang panjang umur ya, lagi diomongin malah nongol." Shifa mengelus-elus dadanya.

Lisa yang tidak kalah terkejut pun berdiri. "Angin apa juga Pak bos bisa kesini? Biasa juga kalo panggil orang, Vetty yang disuruh telepon," ucap Lisa sambil beranjak menuju mejanya. "Cepat dah ke sana, Key."

"Iya. Ini juga mau ke sana. Gue pergi dulu." Keyla melangkah menuju ruangan Rendra.

***
"Vet, mau meeting," ucap Keyla pada Vetty, sekretaris Rendra.

"Masuk aja. Sudah ditunggu."

"Oke."

Keyla pun mengetuk pintu ruang kerja Rendra.

"Masuk," suara bariton terdengar dari dalam ruangan.

"Misi, Pak."

"Duduk dulu, Key, kita masih tunggu Ryan," ujar Rendra yang sudah duduk di sofa tamu.

"Baik, Pak." Keyla duduk dan memperhatikan Rendra yang sedang berkutat dengan laptopnya di hadapannya. Dia tidak bisa memungkiri, kalau Rendra memang sangat tampan. Dengan kulit kecokelatan khas Indonesia, rahang kokoh, hidung mancung dan tubuh tegap, siapa saja pasti terpesona. Belum lagi kalau dia tersenyum. Pasti bikin hati wanita mana pun meleleh.

"Sudah dulu perhatikan saya, sekarang saya mau lihat desain kamu. Sudah diperbaiki yang saya minta kemarin?" tanya Rendra tanpa mengalihkan matanya dari laptop.

"HAH!" Keyla tergagap mendengar ucapan Rendra. Dia tidak menyangka Rendra bisa tahu kalau dia sedang memperhatikannya.

Rendra mengangkat kepalanya dan tersenyum menatap Keyla. "Desain kemarin sudah selesai dibaiki belum, DEK?" goda Rendra dengan menekankan kata Dek.

"Oh, sudah kok, Pak," jawab Keyla dengan wajah memerah. Dia menyerahkan desainnya dengan gugup.

Rendra memperhatikan desain yang diserahkan Keyla. "Oke. Good job. Tinggal lihat klien kita oke apa nggak."

Pintu ruangan Rendra terbuka dan muncul Ryan. "Sorry, gue telat," katanya sambil nyengir.

"Untung lo sahabat gue, kalo nggak, sudah gue pecat lo," sungut Rendra. Dia menatap sekilas ke arah Ryan.

"Nggak mungkin lo tega pecat gue. Apalagi gue telat karena ngantarin nyokap ke rumah sakit," sahut Ryan.

"Tante sakit?" tanya Rendra sembari menatap serius Ryan.

"Nggak. Cuma chek up doang. Tadi gue drop aja di rumah sakit. Ada Meta yang temani." Ryan menatap Keyla sekilas. "Halo Key, manis bener kamu pagi ini," goda Ryan sambil tersenyum. Dia duduk di sebelah Keyla.

Rendra menoleh dan memperhatikan Keyla. Wajah Keyla manis, riasannya sederhana tapi tetap terlihat cantik dan segar. Wajahnya tidak bosan di pandang. Keyla mengenakan celana pipa hitam dan kemeja putih lengan pendek dengan hiasan motif kotak-kotak pada bagian kancing atas yang tampak pas ditubuhnya. Kemejanya dimasukkan dan tidak lupa dia mengenakan sabuk kecil untuk mempermanis penampilannya.

Keyla yang merasa dipandangi Rendra jadi salah tingkah, hingga Ryan menegur Rendra. "Ren, nggak usah segitunya lihatin anak orang. Inget-inget sudah ada Sarah. Tuh, Keyla jadi salah tingkah."

"Dia juga tadi perhatiin gue. Gantian dong," lirih Rendra sambil tersenyum.

Keyla yang mendengar ucapan Rendra, tak ayal memerah wajahnya. "Ng-ng-gak kok, Pak," elak Keyla tergagap.

Rendra langsung tertawa melihat semburat merah di pipi Keyla. Sedangkan Ryan hanya geleng-geleng kepala.

"Nggak usah kamu herani, Key. Dia cuma godain kamu aja itu. Dia sudah cinta mati sama pacarnya," ucap Ryan. "Ayo berangkat," lanjutnya lagi.

Rendra makin tertawa mendengar ucapan Ryan. Entah... mengapa dia sangat suka melihat wajah gadis itu merona. Karena itu dia suka menggodanya.

"Ren, Keyla ikut lo aja. Selesai meeting gue mau jemput Mama," kata Ryan santai ketika mereka sudah sampai di tempat parkir.

"Oke," jawab Rendra singkat. "Nggak usah takut Key, saya nggak makan orang kok," kata Rendra yang melihat wajah kaget Keyla.

Keyla hanya tersenyum simpul. "Mati aku. Kenapa sih harus semobil sama dia."

"Nggak usah lo godain terus, Ren. Nangis ntar anak orang." Ryan berjalan menuju mobilnya.

"Nggak.. nggak.. bawel amat sih lo," sungut Rendra. Yuk,  Key.." ajak Rendra sambil menuju Lexus RX 270 hitam miliknya.

Selama di perjalanan, Keyla lebih memilih memainkan ponselnya. Dia bingung harus bagaimana. Keyla pun membuka grup WA dan spontan tertawa membaca lelucon teman-temannya. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan kanan dan menoleh sedikit, melirik Rendra. "Sorry, Pak..."

"Sepertinya benar ya kata orang-orang. Salah satu kejelekannya smartphone itu menjauhkan yang dekat. Saya yakin pemandangan di sebelah kanan kamu lebih indah dari pada HP kamu. Tapi kamu, malah lebih tertarik sama HP kamu," ucap Rendra tanpa menoleh.

"Hah!" Keyla menatap wajah Rendra.

"Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau saya tampan?" Rendra menatap Keyla sesaat lalu kembali fokus ke depan. Dia tersenyum karena kembali berhasil membuat wajah Keyla memerah.

"Kalau itu semua orang juga tahu, Pak. Kalau sampai ada yang bilang Bapak jelek, matanya perlu diperiksakan. Mungkin dia perlu kacamata tebal," sahut Keyla kesal. Dia heran kenapa bosnya ini suka sekali menggodanya. Padahal kan sudah punya pacar.

"Tapi baru kamu, karyawan saya yang berani mengatakannya secara langsung. Dan saya merasa tersanjung ada gadis cantik yang memuji saya." Rendra kembali melirik Keyla yang sudah menunduk mengutak-atik ponselnya. Dan Rendra kembali tertawa dalam hati. Keyla sungguh mudah dibuat merona, dan itu membuatnya semakin suka menggoda gadis itu.

"Itu Samsung S7 Edge ya?" Rendra ganti melirik ponsel Keyla.

"Iya, Pak."

"Beli tu iPhone. Baru keren. Tuh kaya punya saya." Rendra menunjuk iPhone miliknya menggunakan dagu.

"Jangan hina HP saya dong, Pak. Penuh perjuangan ini buat belinya. Lagian kalau mau tanding hasil jepretan, masih berani kok saya lawan iPhone Bapak itu." Keyla tidak terima ponselnya diremehkan.

"Oh, kamu suka selfie....ngomong-ngomong kamu baru sebulan kerja, kok sudah bisa beli S7 Edge. Itu kan lumayan juga harganya. Pasti kamu minta beliin orang tua kamu yaa..." tuduh Rendra.

"Idih Bapak,  sembarangan. Kalo orang tua saya tau harga HP saya, bisa kena omel saya tujuh hari tujuh malam. Buat beli HP ini Pak, saya harus potong uang jatah makan saya plus terima lebih banyak pesanan dari teman-teman. Nabung dulu saya Pak dari tahun lalu," jelas Keyla.

"Pesanan apa?"

"Kadang teman-teman bisa pesan salad, cake or masakan gitu, Pak. Lumayan keuntungannya saya kumpulin. Dari tahun kemarin memang sudah niat mau beli S7 Edge. Ini aja mikirnya lama Pak, jadi beli apa nggak. Perjuangan ngumpulin duitnya gede," jelas Keyla lagi.

"Sampai sekarang masih terima pesanan?" Mobil Rendra memasuki area parkir hotel tempat pertemuan mereka dengan klien.

"Sekarang mah nggak, Pak. Kecuali teman-teman dekat aja. Suka bawel soalnya kalo ditolak."

Rendra memarkir kendaraannya. "Mana Ryan, kok belum kelihatan. Lima menit lagi kita sudah mesti di dalam."

"Apa kita tunggu di dalam aja, Pak?"

"Boleh juga. Yuk."

Mereka berjalan menuju lobi hotel. Ketika Rendra membuka pintu, Keyla melihat mobil Ryan memasuki area parkir.

"Itu Kak Ryan, Pak." Mereka pun urung memasuki lobi.

"Kalian baru sampai juga?" tanya Ryan begitu tiba di hadapan Rendra dan Keyla.

"Iya. Tumben lo ketinggalan? Padahal tadi lo duluan," tanya Rendra.

"Isi bensin dulu tadi."

"Oh, kirain ke mana dulu. Eh, itu Pak Michael sudah datang. Ayo cepat," lanjut Rendra sambil mempercepat langkahnya.

Dua jam kemudian meeting hampir selesai. Sembilan puluh persen, Pak Michael sudah setuju dengan rancangan desain yang diberikan Rendra. Keyla yang merasa tidak nyaman dengan daerah kewanitaannya pun permisi ke toilet. "Jangan bilang, aku dapat. Kan masih seminggu lagi jadwalnya," ucapnya waswas dalam hati.

Begitu sampai di toilet dia segera memeriksanya. Benar saja. Darah haidnya sudah lumayan banyak di pantylener-nya.

Keyla segera membuka tas untuk mencari pembalut dan tidak menemukannya. "Aduh, gimana ini?"

Keyla segera keluar dari toilet yang sepi dan bertanya pada karyawan hotel yang sedang bertugas. "Mas, mau tanya, di sekitar sini ada minimarket nggak ya?" tanya Keyla dengan wajah bingung.

Petugas itu menghentikan aktivitasnya. "Wah, lumayan jauh, Mbak. Ada yang bisa dibantu, Mbak??"

Keyla ragu-ragu sejenak. "Nggak deh, Mas. Makasih," jawab Keyla pasrah.
Keyla berjalan menuju ke ruang meeting-nya. Tapi dia merasa darah haidnya semakin deras keluar.

"Aduh.. gimana ini?" Dia tengak tengok kanan kiri, berharap ada karyawan wanita yang lewat, tetapi nihil.

Dia pun kembali ke toilet, berharap ada pengunjung yang bisa memberinya pembalut. Namun lagi-lagi nihil.

Ponsel Keyla berbunyi menandakan panggilan masuk. Dia membuka tas dan mengambil ponselnya. Nama Pak Rendra muncul di layar.

"Halo."  Suara Keyla terdengar pasrah.

"Kamu nggak pa pa, Key?? Kok lama banget di toilet?" tanya Rendra.

"Aduh, gimana ya, Pak?"

"Gimana apanya? Ini Pak Michael sudah nunggu. Kamu gugup? Ini tinggal nunggu penjelasan kamu soal tamannya."

"Gimana na, Pak? (‘na’ di sini merupakan dialek khas orang Samarinda.) Sa-saya lagi.. emhhh... aduh gimana ngomongnya ya..." Keyla sudah ingin menangis rasanya.

"Keyla, kamu apa-apa'an sih. Profesional dong. Ayo cepat keluar!" Suara Rendra sudah nyaris membentak.

"Saya lagi dapat na, Pak. Dan saya nggak bawa pembalut. Gimana ini? Mestinya masih minggu depan jadwal saya," jelas Keyla sambil memejamkan matanya menahan malu. Padahal Rendra jelas tidak ada di hadapannya.

"Jadi pakaian kamu kena juga?"

"Nggak, Pak. Saya pakai pantylener jadi masih aman. Tapi saya harus segera dapat pembalut. Kalo nggak, bisa kena pakaian saya...."

"Apa lagi itu pantylener??"

"Pak, plisssss... saya sudah malu harus jelasin ini ke Bapak. Bisa nggak sih Bapak kasih solusi aja ke saya? Jangan bikin saya tambah malu lagi na, Pak..."

Rendra tertawa. "Oke. Oke, sebentar, kamu masih di toilet?"

"Iya, Pak. Saya nggak berani gerak rasanya."

"Kamu ini, baru sebulan jadi karyawan saya, sudah berani suruh-suruh saya. Sudah dua kali lagi."

"Pak, pliss naaa..."

"Iya! Iya. Ini juga saya lagi cari solusi, tunggu sebentar." Rendra menutup teleponnya lalu mendatangi bagian resepsionis hotel.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya resepsionis hotel dengan sopan.

"Begini Mbak, hmm.. pacar saya lagi dapat jadwal bulanan. Dan dia nggak bawa itu, Mbak. Mbak punya nggak, biar saya beli?"

"Maksudnya pembalut, Pak?" senyum resepsionis itu ketika melihat wajah Rendra yang salah tingkah.

"Hehehe iya, Mbak."

"Ada, Pak. Pakai punya saya saja," ucap resepsionis itu sambil mengeluarkan tasnya.

"Mbak, bisa minta tolong nggak, sekalian antarkan ke toilet wanita?"

"Wah kalo itu nggak bisa, Pak. Di sini nggak boleh kosong. Maaf yaa...."

"Aduh,  ya sudah. Nggak pa pa. Berapa ini, Mbak?"

"Nggak usah, Pak. Bawa saja. Ini saya bungkuskan pakai kertas."

Rendra menerimanya dengan salah tingkah. "Beneran, Mbak, nggak bayar?"

"Iya, Pak. Bawa saja." Resepsionis itu berusaha menahan senyum. Sebenarnya dia tidak tega melihat wajah Rendra.

Ponsel Rendra berbunyi. Nama Ryan yang muncul di layar ponselnya. Rendra menjawabnya sambil berjalan menuju toilet.

"Lo ngapain aja sih? Keyla nggak balik-balik. Lo juga ikutan ilang. Gue sudah hampir selesai sama Pak Michael," semprot Ryan langsung.

"Lo tahan bentar. Ada masalah dikit ini."

"Masalah apa?"

"Ntar aja ceritanya." Rendra mematikan ponselnya. Dia sudah ada di depan toilet wanita.

"Key! Keyla!" panggilnya di depan pintu toilet.

Tiba-tiba seorang wanita keluar dari toilet dan menatap Rendra dengan wajah heran.

"Mimpi apa aku semalam..." Dia mengeluarkan ponselnya hendak menelepon Keyla. Tetapi ternyata Keyla sudah muncul.

"Ada, Pak?" tanyanya harap-harap cemas.

"Ini." Rendra menyerahkan bungkusan yang dibawanya.

"Alhamdulillah, makasih ya, Pak." Keyla langsung mengambil bungkusan itu dan masuk ke dalam toilet.





Cinta KeylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang