Bab 5

4K 334 65
                                    


Rendra melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tujuannya hanya satu. Klub biasa tempat dia berkumpul dengan teman-temannya ketika senggang.

Pikirannya kosong. Dia sama sekali tidak menyangka Sarah akan mengkhianatinya. Semua yang gadis itu mau, selalu diturutinya. Di mana kekurangannya sebagai kekasih?

Melihat Sarah dengan lelaki lain di tempat tidur yang biasa mereka gunakan untuk bercinta, membuatnya syok. Dia tidak habis pikir, kenapa tadi dia tidak menghajar lelaki itu.

***
Ryan memandang sahabat sekaligus bosnya dengan tatapan tidak percaya. Tadi Mario, bartender di klub langganannya menelepon. Memberi tahu kalau Rendra sudah mabuk dan sendirian.

"Sudah, Ren, lo sudah mabuk berat ini. Ayo gue antar pulang." Ryan berusaha membujuk Rendra.

"Elo aja yang pulang. Gue masih mau di sini," ucap Rendra setengah sadar. Bahkan dia sudah tidak kuat mengangkat kepalanya sendiri. "Yo, satu gelas lagi. Cepat!" perintahnya.

Ryan langsung menggeleng ke arah Mario yang mengangkat kedua alisnya, seakan bertanya pada Ryan apa yang harus dilakukannya.

"Mario, kamu nggak dengar! Kamu sudah tuli, HAH!" lanjut Rendra yang berusaha mengangkat kepalanya.

Duk! Kepala Rendra membentur meja bartender. Dia sudah tidak sadarkan diri.

Ryan membayar minuman Rendra dan segera membawa sahabatnya itu pulang. "Apa yang bikin elo kaya gini, Ren. Padahal sudah lama lo nggak kaya gini," gerutu Ryan sambil memapah Rendra.

Sesampainya di apartemen Rendra, Ryan meletakkan sahabatnya di tempat tidur. Dia menyeka peluhnya. Membawa Rendra ke apartemen bukan pekerjaan  mudah. Tubuh Rendra tinggi besar dan tegap. Membuatnya kelelahan memapah Rendra sendirian.

Baru akan melangkah ke sofa, Ryan mendengar Rendra mengumpat tidak jelas. Dia juga mendengar Rendra menyebut-nyebut nama Sarah. Sepertinya wanita itu yang menyebabkan Rendra seperti ini.
Ryan menatap iba sahabatnya. Dia tahu, Rendra sangat mencintai Sarah.

***
Rendra terbangun saat merasakan cahaya matahari menerpa wajahnya. Badannya sakit semua. Dia sedikit bingung, seingatnya semalam dia ada di klub. Lalu matanya menangkap Ryan yang sedang tidur di sofa.

Rendra berusaha bangun dan duduk di tempat tidur. Kepalanya sakit. "Pasti ini efek minuman semalam."
Pelan-pelan dia berusaha berdiri, tak dihiraukan rasa sakit di kepalanya. Tujuannya satu, kamar mandi. Tiba-tiba perutnya bergolak, dia berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya di toilet.

Ryan yang mendengar suara ribut segera bangun dan mendapati Rendra sudah terduduk di depan toilet. Rendra memencet tombol flush, membilas muntahannya dan berusaha berdiri. Ryan hanya menatap sahabatnya itu dari depan pintu toilet.

Rendra membasuh wajahnya di wastafel. Perutnya sudah jauh lebih enak. Dan dia juga merasa lebih segar sekarang. Dia mencengkeram pinggiran wastafel dengan kepala menunduk.

Rendra mengangkat kepalanya menatap cermin. Membuatnya dapat melihat Ryan yang sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada. Tubuhnya disandarkan ke kusen pintu.  

"Sudah enakan?" tanya Ryan sambil menatap Rendra yang sudah membalik tubuhnya.

Rendra tidak menjawab. Dia hanya berjalan melewati sahabatnya itu lalu duduk di sofa.

Ryan mengikutinya. "Lo kenapa sih, Ren? Nggak biasanya lo kaya gini. Pasti ada hubungannya sama Sarah. Iya, kan?" cecar Ryan.

Rendra tetap tidak menjawab. Matanya menatap ke satu titik di hadapannya. Kosong.

"REN!!!" bentak Ryan.

"Sarah selingkuh," lirih Rendra  seraya menundukkan kepalanya.

"APA?" tanya Ryan tak percaya.

"Tadi malam gue ke apartemen Sarah. Gue mergoki dia lagi bercinta di kamarnya. Laki-laki itu bilang, dia calon suami Sarah dan mereka akan menikah tiga bulan lagi," jelas Rendra dengan suara lemah.

"Lo yakin, nggak salah liat?" Ryan masih merasa tidak percaya.

"Lo kira mata gue rabun!"

Ryan menghela napas. "Terus rencana lo apa?"

"Nggak tahu. Gue juga masih bingung." Rendra menggelengkan kepalanya pelan.

"Lo ngantor nggak? Gue ada meeting entar jam sepuluh." Ryan bangkit dari duduknya.

"Entar deh, siang baru gue ngantor."

"Gue duluan yaa. Lo nggak pa pa kan gue tinggal?”

"Nggak pa pa. Tinggal kepala gue yang sakit." Rendra membaringkan tubuhnya di sofa.

***
Sudah berapa hari ini Ryan harus menjadi bodyguard Rendra setiap malam. Badannya terasa remuk redam. Untungnya ini Jumat. Besok kantor libur. Dia bisa istirahat di apartemennya.

"Kak Ryan!" Ryan berhenti melangkah dan memutar tubuhnya ketika ada yang memanggil. Ternyata Keyla.

"Ya, Key."

"Kak Ryan tahu Pak Rendra di mana?" tanya Keyla begitu tiba di hadapan Ryan.

"Kenapa? Kamu ada perlu sama dia?"

"Iya, Kak. Keyla ada perlu dikit sama Pak Rendra. Keyla WA nggak masuk. Di telepon juga nggak aktif. Tadi Keyla ke ruangannya juga, nggak ada," jelas Keyla panjang lebar.

"Iya. Dia lagi agak sibuk. Kamu ada pesan buat dia?"

"Nggak deh Kak. Entar Keyla tanya sendiri aja. Makasih ya, Kak."

"Oke."

***
Ryan mengendarai mobilnya menuju apartemen Rendra dengan kecepatan tinggi. Dia tidak boleh kalah kali ini. Dia tidak mau kalah cepat dengan Rendra pergi ke klub. Dia harus mencegah sahabatnya itu.

Sesampainya di apartemen Rendra, dia segera memasukkan angka password. Beruntung, Rendra masih ada di apartemennya.

"Ren," sapa Ryan begitu melihat Rendra yang masih berbaring di tempat tidur.

Rendra hanya menoleh dan kembali memejamkan mata.

"Keyla nyariin elo tadi. Ada perlu katanya. Ada urusan apa lo sama dia, sampai dia segitunya cari lo. HP lo mati?"

Rendra langsung bangun dan mengambil ponselnya. Dia memang mematikan ponselnya karena tidak mau menerima telepon atau chat dari Sarah.

"Gue lupa ada janji sama Keyla."

"Janji apa?" Ryan duduk di sofa baca.

"Gue minta buatin salad buah buat mama besok," jelas Rendra sambil menyalakan ponselnya.

Begitu nyala, ponselnya tidak berhenti mengeluarkan suara notifikasi. Tapi hanya satu chat yang dibukanya. Milik Keyla.

Cinta KeylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang