Bab 19

2.8K 306 46
                                    

Keyla berjalan menuju pantry untuk membuat kopi. Hari ini sudah beberapa kali dia menguap. Tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Bahkan kepalanya terasa sedikit pusing.

Baru akan membuka pintu pantry yang memang tidak tertutup rapat, dia mendengar ada yang menyebut namanya. Penasaran, dia pun membuka sedikit pintu pantry dengan perlahan. Rupanya Sheila dan Rani.

Sheila
"Dan yang pasti lagi, Keyla yang bakal masuk timnya bos. Heran gue, apa sih bagusnya anak itu. Muka juga pas-pasan. Pak Rendra sampai segitunya sama dia."

Rani
"Mungkin aja Keyla masuk tim. Kan proyek pertama sama Pak Michael, Keyla juga masuk tim."

Sheila
"Itu dia. Elo bayangin aja. Dia anak baru. Bisa langsung masuk tim bareng bos. Anehkan?"

Rani
"Tapi waktu itu kan Pak Rendra belum ada. Ryan yang masukkan dia ke tim."

Sheila
"Justru itu, Ran. Pertama dia ngincer Ryan. Tau ada yang lebih tajir, pindah haluan dia. Nggak nyangka muka kalem tapi licik. Amit-amit. Eneg banget gue liat dia."

Rani
"Masa sih dia gitu? Tapi memang agak aneh sih." 

Sheila
"Jangan-jangan dia sudah tidur lagi sama Pak Rendra. Makanya bisa dapat proyek bagus terus."

Rani
"Bisa jadi. Nggak sangka ya, kelihatannya aja pendiam."

Keyla menutup pintu pantry perlahan. Dia sudah tidak mau mendengar lagi. Dengan langkah gontai dia berjalan menuju ruangannya. Dia tidak pernah menyangka, serendah itu pandangan teman-temannya terhadap dirinya.

Sampai di mejanya, Keyla menelungkupkan kepalanya yang semakin berdenyut.

"Lo kenapa, Key? Sakit?" tanya Lisa yang baru saja datang. Dia langsung duduk di hadapan sahabatnya.

Keyla mengangkat kepalanya. "Nggak pa pa. Cuma pusing aja dikit," jawab Keyla lemah. "Lis... menurut lo pekerjaan gue selama ini gimana?"  Keyla  memijit kepalanya.

"Maksud lo?" Lisa menatap tidak mengerti.

"Pekerjaan gue selama ini bagus apa nggak?"

"Selama ini klien pernah komplain nggak?" Lisa bertanya balik.

"Nggak pernah." Keyla menggeleng lemah.

"Nah itu lo sudah tahu jawabannya. Memangnya kenapa, Key?" Lisa serius memperhatikan Keyla.

Telepon di meja Keyla berbunyi. "Halo," jawab Keyla tanpa melihat nomor ekstensi yang tertera di layar teleponnya.

"Ke ruanganku, Key," terdengar suara Rendra di ujung telepon.

"Ya, Pak." Keyla meletakkan gagang teleponnya. "Aku ke ruangan Pak Rendra dulu," pamit Keyla pada Lisa.

Keyla menghampiri Vetty yang sedang serius menatap komputernya. Baru hendak bertanya, Vetty sudah mendongakkan kepalanya. "Masuk aja. Sudah ditunggu."

Keyla hanya mengangguk menanggapi Vetty lalu mengetuk pintu ruangan Rendra.

"Masuk."

"Permisi, Pak." Keyla memasuki ruangan Rendra dan berhenti di depan meja Rendra.

"Duduk, Key." Rendra masih memperhatikan berkas-berkas di hadapannya. "Gini Key—" suara Rendra terputus ketika melihat wajah Keyla yang sedikit pucat

"Kamu sakit?" tanya Rendra khawatir.

"Nggak, Pak. Cuma pusing sedikit."

"Beneran nggak pa pa?" Rendra memperhatikan wajah wanita yang diam-diam dicintainya itu.

Keyla menganggukkan kepalanya. "Nggak pa pa."

"Ok,  begini. Saya cuma mau menyampaikan kalau Pak Michael sangat suka dengan hasil kerja kemarin. Dan dia ingin kita menangani renovasi beberapa hotelnya. Tapi tidak sekaligus Key. Proyek pertama nanti di Bandung. Setelah itu lanjut ke Lombok. Yang pasti baru dua proyek itu. Tapi kalau mereka puas dengan hasil kerja kita, mereka akan menggunakan jasa kita lagi," jelas Rendra panjang lebar.

"Yang masuk tim siapa saja, Pak?"

"Sama seperti tim yang lalu. Saya, kamu dan Ryan." Rendra menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi.

Keyla menatap permukaan meja Rendra. Dia tampak berpikir. Dengan sedikit ragu dia berucap, "Maaf, Pak. Sepertinya saya tidak bisa ikut kali ini."

Rendra mengernyitkan dahinya. "Kenapa? Bukannya proyekmu di Bogor sudah selesai?" Dia memajukan tubuhnya sembari menatap serius Keyla.

"Saya nggak enak, Pak, sama karyawan yang lain. Saya masih baru di sini, tapi sudah dapat proyek besar."

"Kamu bisa dapat proyek ini kan karena hasil kerjamu kemarin, Key.
"
"Itu kan menurut Bapak. Bukan mereka." Keyla tersenyum hambar.

Rendra kembali mengernyitkan dahinya. Dia bingung dengan alasan penolakan Keyla.  "Tapi kan itu kenyataannya, Key. Memang Pak Michael yang tidak mau timnya diganti."

"Maaf, Pak. Saya benar tidak bisa. Sebaiknya Bapak mengajak karyawan yang lebih senior."

"Key, kalau kamu  mengikuti omongan orang, nggak akan ada habisnya," suara Rendra mulai mengeras.

"Tapi tetap saja, Pak, nggak enak didengar. Saya mau mereka mengakui kalau saya mendapatkan proyek besar karena hasil kerja saya. Bukan karena kedekatan saya dengan Bapak." Keyla menegaskan ucapannya.

"Tapi ini kan memang karena hasil kerjamu, Key. Saya nggak ada sangkut pautnya dengan keputusan Pak Michael." Rendra terlihat semakin kesal.

"Tapi tidak menurut mereka, Pak." Keyla masih tetap berkeras, membuat Rendra menghela napas.

"Saya permisi, Pak," pamit Keyla setelah dilihatnya Rendra hanya diam.

Rendra menatap tajam Keyla yang berjalan keluar ruangannya. "Saya memang mencintai kamu, Keyla. Tapi saya tidak mungkin mencampuradukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Terlalu banyak orang yang menggantungkan mata pencahariannya di perusahaan ini. Dan saya tidak akan mempertaruhkan itu hanya untuk urusan pribadi saya!" suara Rendra terdengar sangat tegas.

Dia berdiri dan keluar dari ruangannya. Tidak dipedulikannya Keyla yang masih berdiri di tengah ruangan.  

Keyla memejamkan matanya, tubuhnya bergetar. Akhirnya yang ditakutkannya terjadi juga. Rendra menyatakan perasaannya dan dia belum siap. Kepalanya terasa semakin berdenyut.

Vetty yang melihat Rendra keluar dengan wajah marah, segera berlari masuk ke ruangan Rendra. 
"Lo nggak pa pa, Key? Kenapa Pak Rendra sampai semarah itu sama lo?" Vetty langsung memegangi tubuh Keyla yang bergetar, lalu dibantunya gadis itu berjalan keluar ruangan.

"Gue nggak pa pa, Vet. Makasih ya." Keyla berjalan menuju ruangannya dengan perlahan.

Rendra memasuki ruangan Ryan dan menghempaskan tubuhnya di kursi di hadapan Ryan. Wajahnya merah karena marah. Dia tidak habis pikir, kenapa Keyla bisa berpikiran seperti itu.

"Kenapa lo?" tanya Ryan. Belum pernah dia melihat Rendra semarah ini.

Rendra menceritakan pertengkarannya dengan Keyla, sedangkan Ryan memperhatikan dengan serius.

"Terus keputusan lo gimana?" tanya Ryan.

"Nggak tau. Bingung gue. Mana Pak Michael sudah wanti-wanti timnya nggak mau diganti. Dia bilang, selain dia suka sama hasil kerja kemarin. Anaknya juga enak komunikasi sama kita karena Keyla bisa bahasa Perancis. Mumet gue." Rendra memijit pelipisnya.

"Coba aja kasih solusi lain sama Pak Michael. Siapa tau dia mau."

"Dengan risiko dia batalin kerja sama? Nggak. Gue nggak bakal ambil risiko itu. Ini proyek jangka panjang, Yan!"

Ryan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Dia tampak berpikir sesaat. "Kalau gitu solusinya ada di Keyla. Kita mesti cari tahu, kenapa dia menolak proyek ini."

"Mana gue kelepasan lagi bilang kalo gue memang cinta sama dia. Dia nggak kabur aja sudah bagus." Rendra mengacak rambutnya.

"Tenang-tenang. Urusan percintaan, kita urus belakangan. Sekarang kita urus dulu masalah pekerjaan. Tadi lo bilang, Keyla ada sebut mau diakui MEREKA. Perkiraan gue, MEREKA itu orang kantor. Mungkin Keyla ada dengar orang gosipin dia. Dan karena ini Senin, Keyla dengarnya baru hari ini. Jumat kemarin dia masih normal, kan??" Ryan kembali menegakkan tubuhnya.

"Bener juga analisa lo." Rendra memajukan tubuhnya. Menatap serius Ryan.

"Tinggal kita buka CCTV. Keyla ke ruangan lo jam berapa?" Ryan mengetik password laptopnya.

"Jam  tiga-an."

"Ok. Kita buka mulai jam dua belas ya...." Ryan segera mengutak-atik laptopnya. Ryan dan Rendra memang mempunyai akses membuka rekaman CCTV. Dan tidak ada orang kantor yang tahu.

"Lo buka CVTV ruangan mana, Yan?" tanya Rendra bingung.

"Ya mulai dari ruangan Keyla-lah. Setelah itu kita ikuti dia ke mana. Lo gimana sih. Baru ribut kaya gitu sama Keyla, sudah jadi oon," ucap Ryan dengan tidak mengalihkan pandangannya dari laptop.

"Sompret lo...." Rendra melempar penghapus yang ada di meja.
Ryan hanya tertawa mendapat lemparan dari Rendra. "Tenang Ren, tenang. Gue bantuin elo," kata Ryan sambil tetap memperhatikan rekaman CCTV.

Rendra menghampiri Ryan dan ikut memperhatikan CCTV. Setelah mengutak-atik rekaman CCTV selama hampir satu jam, mereka menemukan rekaman ketika Keyla akan masuk ke ruang pantry tapi tidak jadi. Ryan pun segera membuka CCTV di ruangan pantry di jam Keyla akan masuk ke ruangan itu.

Di layar terlihat Sheila dan Rani sedang berbincang sambil membuat kopi. Ryan membesarkan suara laptopnya. Dan terdengarlah obrolan mereka. 

Rendra menggertakkan giginya menahan marah. Pantas Keyla sefrustrasi tadi. Dia dituduh menukar tubuhnya dengan sebuah proyek besar.

"Jadi gimana, Ren? Menurut gue ini sudah kelewatan." Ryan menatap serius Rendra.

"Besok pagi kita rapat menyeluruh." Rendra kembali mengeraskan rahangnya.

"Lo mau tegur mereka secara langsung besok?" Ryan yang terkejut langsung menegakkan tubuhnya.

"Kita lihat besok." Rendra berdiri dan akan melangkah keluar, tetapi dia berbalik lagi.

"Coba lihat Keyla lagi ngapain sekarang?"

Ryan membuka CCTV di ruangan Keyla dan memutar laptopnya menghadap ke Rendra. Tampak Keyla sedang menelangkupkan wajahnya ke meja kerja.

"Lo anterin dia pulang ya? Tapi bareng Lisa. Dia pasti bakal menghindari gue."

"Ok. Nggak masalah. Tapi lo yang traktir. Lo nggak mau, kan, Keyla nggak makan malam. Gue bakal pastiin dia makan malam." Ryan menaikkan alisnya dan  tersenyum.

"Dasar lo ya, sekali pelit tetap aja pelit." Rendra mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan."

"Bukan pelit, Ren. Masa iya gue harus sedekah sama elo. Nggak lucu, kan?"

Ryan mengambil uang yang diletakkan Rendra di atas meja dan kembali tersenyum.

***
Keesokan paginya, keluar pengumuman bahwa akan ada rapat menyeluruh arsitek senior dan yunior pada pukul sembilan. Dan seluruh arsitek diwajibkan hadir. Bagi yang memiliki rapat di luar, diharuskan memundurkan jadwal rapatnya pada siang hari.

Tepat pukul sembilan, seluruh arsitek sudah berkumpul di ruang rapat. Rendra memasuki ruang rapat bersama Ryan dan Vetty. Setelah duduk di kursinya, sesaat Rendra menatap ke arah Keyla. Gadis itu menundukkan wajahnya yang  terlihat agak pucat. "Pasti dia menangis semalaman," batin Rendra.

"Selamat pagi semua," sapa Rendra membuka rapat pagi itu.

"Pagi Pak...," jawab seluruh peserta.

"Baik hari ini saya ingin kita membahas perkembangan perusahaan kita. Proyek-proyek mana yang dianggap berhasil dan mana yang masih kurang. Akan kita evaluasi di sini. Yang pertama kita bahas adalah proyek yang dianggap kurang berhasil atau mendapat banyak komplain dari klien. Setelah itu baru kita bahas proyek yang dianggap berhasil sehingga klien merasa puas."

Setelah hampir tiga jam, rapat pun hampir selesai. "Baik teman-teman, ada yang belum jelas dengan pembahasan tadi?"

Rendra diam sejenak.

Setelah dipastikan tidak ada yang bersuara, Rendra melanjutkan kembali. "Saya rasa sudah cukup jelas kalau saya membangun perusahaan ini dari nol. Dan saya selalu berusaha untuk bersikap profesional, bukan saya yang menentukan suatu proyek berhasil atau tidak. Tapi kepuasan klien dan diri kalian sendiri," ucap Rendra sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke Keyla. "Karena itu Keyla, saya tidak bisa menerima penolakanmu. Kamu akan tetap masuk tim bersama saya dan Ryan. Saya tidak mau mengambil risiko Pak Michael membatalkan kerja sama. Selain puas dengan pekerjaan kita di proyek sebelumnya, dia juga ingin kamu masuk tim karena kamu menguasai bahasa Perancis. Mereka jadi mudah berkomunikasi dengan kita. Saya harap kamu bisa bersikap profesional, Keyla."

Rendra kembali mengedarkan pandangannya. "Atau ada yang lain mahir bahasa Perancis? Jika ada, dengan senang hati akan saya rekomendasikan ke Pak Michael."

Hening, tidak ada jawaban. "Berarti hanya kamu yang bisa masuk ke tim ini, Key." Rendra kembali menatap Keyla.

"Baik, Pak," jawab Keyla lalu menunduk.

"Ok. Satu masalah selesai. Dan satu lagi yang ingin saya tekankan di sini. Saya rasa Anda semua sudah dewasa di sini. Silakan ekspresikan diri Anda melalui hasil karya ataupun penampilan Anda. Terutama karyawan wanita. Saya tidak melarang Anda menggunakan rok pendek. Itu hak Anda, tapi tolong bedakan antara Anda akan pergi ke kantor atau Anda akan pergi ke klub. Saya melihat ada beberapa karyawan yang memakai rok teramat SANGAT PENDEK dan dandanan berlebihan. Saya tidak tahu dan TIDAK MAU TAHU  apa maksud Anda memakai pakaian seperti itu ke kantor. Tetapi tolong, jangan rusak imej kantor ini dengan kesan MURAHAN. Silakan menggunakan rok pendek tapi masih dalam batas kesopanan. Saya rasa itu saja. Ada pertanyaan?"

Suasana hening seketika. "Kalau tidak ada, rapat saya akhiri. Terima kasih." Rendra berdiri dan keluar dari ruang rapat diikuti Ryan dan Vetty.

Suasana ruangan rapat pun langsung heboh. "Akhirnya Pak Rendra bereaksi juga. Sebenarnya gue juga sudah eneg lihat kelakuan mereka itu. Dianggap cantik kali ya pakai rok di bawah pantat begitu. Kenapa nggak pakai bikini sekalian," omel Chandra, salah satu senior arsitek.

"Maunya sih cari perhatian bos. Nggak taunya malah kena semprot. Kasihan banget..." Linda menimpali.

Sheila yang paling sering memakai baju super pendek pun segera berlalu dari ruang rapat. Dia merasa seperti ditampar oleh Rendra.

"Key, maksud Pak Rendra tadi apa? Kamu sempat menolak masuk timnya Pak Rendra?" tanya Linda ketika melihat Keyla akan keluar ruangan.

"Iya, Mbak. Soalnya saya nggak enak. Saya kan hitungannya masih baru, tapi sudah dapat proyek besar."

"Pasti kamu dengar gosip itu ya... nggak usah didengar, Key. Anggap aja orang sirik. Kelihatan kok mana anak baik-baik mana yang nggak." Linda merangkul kan tangannya ke pundak Keyla.

"Semangat, Key..." tambah Chandra.

"Makasih, Pak, Mbak."

Cinta KeylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang