Bab 20

3.2K 323 78
                                    

"Lo masih perang dingin sama Keyla, Ren?" tanya Ryan yang sedang duduk santai di sofa tamu ruangan Rendra. Mereka baru saja selesai membahas masalah pekerjaan.

Rendra yang sedang menggulung lengan bajunya pun mendengus. "Siapa yang perang dingin? Dia yang menghindari gue, IYA." Rendra ikut menghempaskan tubuhnya di sofa.

"Terus lo mau gimana sekarang? Mau kucing-kucingan terus sama Keyla?"

"Tau ah. Pusing gue. Baru ini merasai ngejar-ngejar cewek."

"Iya ya. Dulu kan cewek-cewek yang ngejar elo, TERMASUK SARAH." Ryan menaikkan alisnya. "Makanya, kualat sih lo," senyum Ryan, membuat wajah Rendra semakin masam. "Sudah, samperin aja ntar pulang kerja. Sudah eneg gue liat lo manyun terus," lanjutnya lagi.

"Lah dia liat gue aja sudah kabur duluan. Gimana mau disamperi coba?" Wajah Rendra semakin kesal.

Terdengar suara azan dari ponsel Rendra. "Ayo pulang. Sekalian kita sholat magrib dulu." Rendra berdiri dan mengambil jasnya lalu berjalan keluar dari ruangannya.

"Elo serius tobat, Ren?" Ryan yang tampak tak percaya mengikuti langkah Rendra. "Gue kira lo tobat sambal aja kemarin. Karna Keyla?"

Rendra berhenti melangkah sejenak. Dia tampak berpikir, lalu melanjutkan langkahnya. "Gue nggak tau karena Keyla atau bukan. Tapi pas dia minta diturunkan di Masjid untuk sholat, gue ngerasa gimana yaa... tiba-tiba aja mikir. Sejauh apa gue sudah ninggalin agama gue. Selama ini sholat, paling jumatan yang rajin. Hobi ke klub. Apalagi pas sama Sarah. Tambah hancur. Kok kayanya dosa-dosa gue langsung kelihatan semua di depan mata gue. Makanya gue langsung ikut sholat di situ juga. Terus gue lihat Keyla lagi berdoa, kok kayanya adem banget hati gue. Spontan gue tanya dalam hati, kalau gue perbaiki diri, bisa nggak Keyla jadi jodoh gue? Mulai dari situ, gue usaha'in lima waktu jalan terus. Tapi makin lama makin ke sini, Yan, hati gue semakin tenang. Gue nyaman. Bahkan ketika Keyla menghindar begini, gue tetap biasa menjalankan kewajiban gue," jelas Rendra panjang lebar.
Ryan yang mendengar penjelasan Rendra hanya bisa terdiam. Memang selama ini hidup mereka jauh dari ajaran agama.
Tiba-tiba Ryan melihat Keyla berjalan sambil setengah melamun menuju lift. Dia segera menyenggol Rendra dan menunjuk Keyla dengan dagunya.
Rendra pun menatap Keyla yang masih belum sadar kalau di depannya ada Rendra dan Ryan.
"Key, kalau jalan lihat ke depan, jangan ke bawah. Entar nabrak loh," tegur Ryan.
Keyla langsung terkejut melihat Ryan dan Rendra yang sudah ada di depannya. "Tu kan kaget?" senyum Ryan.
Keyla tersenyum sekedarnya, sedangkan Rendra hanya diam melihat Keyla.
Pintu lift terbuka. Keyla yang sudah tidak bisa melarikan diri, hanya bisa pasrah. Dia tidak akan bisa lagi menghindar dari Rendra.
Selama ini Keyla selalu menolak ajakan pulang bersama Rendra dengan berbagai macam alasan. Dia takut Rendra akan menanyakan bagaimana perasaannya.
"Mau pulang?" tanya Rendra begitu di dalam lift.
"Iya, Pak," jawab Keyla.
Rendra pun menekan tombal lantai satu dan basemen, lalu dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Menatap lurus ke depan.
Keyla tampak sedikit terkejut melihat Rendra yang menjadi dingin. Lift yang biasanya cepat, terasa jadi sangat lambat. Tidak ada satu pun yang bersuara. Begitu tiba di lantai 1, Keyla pun pamit. "Duluan, Pak, Kak."
"Ya," sahut Rendra dan Ryan. "Hati-hati, Key," tambah Ryan.
"Elo gila yaa.. bisa sedingin itu sama Keyla. Tega banget lo. Nggak lihat tadi gimana mukanya dia?" omel Ryan begitu pintu lift tertutup.
"Tau ah pusing gue." Rendra memalingkan wajahnya.
Mereka berjalan menuju mobil Rendra. Begitu keluar dari kantor, mereka melihat Keyla masih berdiri menunggu taksi di pinggir jalan.

***
Keyla melihat mobil Rendra melewatinya begitu saja. Tiba-tiba hatinya terasa sakit. Tadi di dalam lift, dia mengira Rendra akan mengajaknya pulang bersama, tetapi ternyata dia hanya ingin memencet kan tombol lift.
Dan sekarang Rendra seperti tidak melihatnya. "Ya Allah.... kenapa sesakit iniiii?" Keyla menengadahkan kepalanya. Mencoba menahan air mata tidak keluar membasahi pipinya.
Kemarin-kemarin Keyla berusaha menghindar karena tidak tahu harus bagaimana berhadapan dengan Rendra. Semenjak Rendra mengatakan kalau dia mencintai Keyla, mereka hanya bertemu untuk urusan pekerjaan.
Keyla segera naik taksi yang berhenti di depannya. Selama di perjalanan, Keyla hanya melamun. Hingga sopir taksi menegurnya, memberitahu kalau sudah sampai.
"Rendra mana, Key? Kok kamu naik taksi terus?" tanya Rico yang sedang duduk di teras rumah.
Keyla menghentikan langkahnya. "Ada tadi, Kak. Sama Kak Ryan," jawab Keyla lemah. Rasanya dia sudah tidak punya tenaga lagi.
"Kok nggak diantar dia? Biasanya kalau kamu pulang malam, pasti diantar. Kalian lagi ribut?" selidik Rico sambil memajukan tubuhnya. Dia menatap serius Keyla.
"Nggak kok, Kak. Lagi sibuk dia. Tyas mana, Kak? Kok lama nggak kelihatan?" Keyla berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Lagi sibuk koas dia."
"Ohh.. Kakak sakit? Kok agak pucat gitu." Keyla memperhatikan wajah Rico.
"Nggak. Cuma sakit kepala aja. Lagi banyak kerjaan juga di kantor. Kamu sama Rendra gimana, Key?"
"Nggak gimana-gimana, Kak. Gitu-gitu aja." Keyla terdiam. Dia ingat ucapan Rendra yang mengatakan kalau dia mencintai Keyla.
"Kenapa, Key?" tanya Rico heran.
"Nggak pa pa, Kak. Keyla naik ya... capek. Mau istirahat."
"Iya. Kakak juga mau masuk."
Sesampainya di kamar, Rico segera mengambil ponselnya dan menghubungi Rendra. Rico yakin pasti ada masalah antara Rendra dan Keyla.
Rendra tidak pernah membiarkan Keyla pulang sendiri kalau harus lembur. Beberapa kali Rico melihat Keyla pulang naik taksi, tapi tak lama kemudian mobil Rendra melewati rumahnya. Tetapi tidak hari ini.
"Halo," terdengar suara Rendra di ujung sana.
"Ren, Kamu lagi ada masalah dengan Keyla?" tanya Rico tanpa basa basi.
"Maksudnya?"
"Keyla pulang sendiri. Dan keadaannya nggak bagus. Pasti ada masalah kan sama kamu?"
"Ric, mungkin ini nggak termasuk urusan kamu," suara Rendra terdengar tidak suka Rico mencampuri urusannya.
"Aku cuma mau Keyla bahagia. Itu aja. Dan kalau memang kamu nggak peduli sama dia, mungkin aku akan kenalkan ke temanku yang lain," jawab Rico tenang.
Mendengar ucapan Rico, tak ayal memancing emosi Rendra. Dia tidak bisa membayangkan Keyla bersama laki-laki lain. "Kenapa sih kamu terlalu mencampuri urusan Keyla? Terserah dia mau sama siapa," suara Rendra terdengar semakin ketus.
"Keyla jadi begini, sedikit banyak karena aku. Aku tidak akan memaksa Keyla dengan siapa pun. Tapi aku tidak akan membiarkan dia sendirian. Kupikir kamu serius dengan Keyla."
"Seperti yang kamu bilang, aku juga nggak bisa memaksa Keyla suka sama aku. Aku sudah bilang, kalau aku mencintai dia. Dan dia sekarang menghindari aku. Teleponku di luar jam kantor, nggak pernah diangkat. Chat-ku hanya yang membahas masalah pekerjaan yang dibalas. Setiap kali berpapasan dengan aku, dia juga menghindar. Jadi aku mesti gimana?"
"Dan kamu menyerah?" sahut Rico cepat.
"Aku nggak bisa memaksa orang, Ric. Cinta nggak bisa dipaksa. Kalau dia memang nggak bisa menerima aku, aku akan berhenti. Kasihan juga dia, kalau aku terus memaksa," suara Rendra terdengar makin kesal.
"Menurutku dia sudah bisa menerima kamu. Tapi dia masih bingung. Itu saja. Mungkin semua terlalu cepat buat dia. Jangan menyerah, Ren," pinta Rico penuh harap.
"Kamu bisa berkata seperti itu karena kamu tidak di posisiku. "
Hening sesaat.
"Kamu nggak pernah tau, Ren, seberapa inginnya aku berada di posisimu," ucap Rico yang membuat Rendra terenyak. Bahkan setelah Rico menutup teleponnya.

***
Telepon di meja Keyla berbunyi. "Halo," sapa Keyla.
"Key, kita meeting jam 9 ya...."
"Iya, Kak."
Telepon itu dari ruangan Rendra, tetapi yang meneleponnya Ryan. Keyla menghela napas. Semua memang salahnya. Namun mau bagaimana lagi. Menemui Rendra untuk minta maaf, dia tidak punya nyali. Apalagi dia juga bingung harus bilang apa ke Rendra.
Keyla menghampiri Vetty yang sedang merapikan berkas-berkas. "Vetty, mau meeting.
"Masuk aja. Sudah ada Kak Ryan kok," jawab Vetty.
Keyla mengetuk pintu ruangan Rendra dan membukanya perlahan. "Permisi, Pak." Dengan hati berdebar, Keyla memasuki ruangan Rendra. Rendra hanya menganggukkan kepalanya lalu kembali sibuk dengan berkas di depannya.
"Duduk, Key." Ryan yang sedang duduk di sofa panjang menepuk sisi di sebelahnya.
Keyla mengangguk dan duduk di sebelah Ryan.
"Kamu sakit, Key?" Ryan memperhatikan Keyla.
"Nggak, Kak. Cuma pusing sedikit."
"Kalau sakit, istirahat aja." Ryan masih memperhatikan wajah Keyla.
"Nggak pa pa kok, Kak," senyum Keyla.
"Kamu bener nggak pa pa, Key? Kamu pucat lho. Kalau sakit pulang aja. Aku sama Ryan aja dulu yang meeting." Rendra berdiri dari kursi kerjanya lalu duduk di sofa single di sebelah Ryan.
"Iya, Pak. Nggak pa pa."
"Ok kalau gitu. Kemarin saya sudah bicara sama Pak Michael. Dia mau konsep utamanya Paris. Tapi tidak melupakan seni lokal. Dia mau, orang yang menginap di sana merasa seakan-akan ada di Paris. Sedangkan untuk seni lokal sebaiknya apa yang kita angkat?"
"Gimana kalau angklung, Pak? Kita bisa siapkan khusus satu ruangan terbuka yang menyediakan alat musik angklung. Setiap hari tertentu, mereka bisa mengundang seniman angklung," usul Keyla.
"Boleh juga itu, Ren. Kita bisa usulkan itu ke Pak Michael. Kalau mereka mau mengundang seniman angklung, mereka juga bisa menarik wisatawan untuk menginap di hotel mereka." Ryan mendukung usul Keyla.
"Ok. Kita usulkan itu nanti ke Pak Michael. Kita juga harus survei ke Bandung. Sebaiknya kita berdua aja Yan yang ke Bandung. Gimana?"
Ryan langsung menoleh dan melihat Keyla tersenyum. Sebenarnya dia sedikit terkejut Rendra tidak mengajak Keyla. "Boleh juga. Lagian kayanya Keyla juga kurang sehat," putus Ryan akhirnya.
"Ok. Gitu aja dulu ya," ucap Rendra lalu menatap Keyla. "Oh ya Key, coba kamu pelajari, kira-kira desain apa yang unik tapi khas Paris yang bisa kita pakai. Kalau sudah dapat, kamu bisa laporan ke saya."
"Baik, Pak." Keyla yang merasa diusir secara halus oleh Rendra pun langsung berdiri dan meninggalkan ruangan.
Ryan mendengus, "Meeting cuma sepuluh menit. Rekor!" sindirnya setelah Keyla keluar ruangan.
Rendra menghela napas. "Gue sudah gatel pengen seret dia ke rumah sakit." Dia menyenderkan tubuh dan memejamkan kedua matanya.
"Terus kenapa nggak lo seret dia?" sinis Ryan.
"Gue mau bersikap profesional. Antara bos dan karyawan. Nggak lebih," ketus Rendra yang kembali menegakkan tubuhnya.
"Bisa lo? Nggak yakin gue."
"Harus bisa."
"Yang ada kalian berdua tersiksa. Heran, tinggal samperi dia aja susah."
"Kurang gue samperi dia? Berapa minggu dia menghindari gue. Gue nggak mau maksa dia terima gue." Suara Rendra terdengar makin kesal.
"Terserahlah. Yang tersiksa juga kalian berdua. Dasar sama-sama keras kepala." Ryan langsung membereskan peralatan kerjanya dan keluar dari ruangan Rendra.

***
Keyla bergegas menerobos hujan yang sangat deras. Walaupun sudah memakai payung, tetap saja bajunya basah terkena tempias hujan. Keyla tidak ingin terjebak banjir karena itu dia memutuskan tetap mencari taksi untuk pulang.
Rendra yang juga hendak pulang melihat Keyla berdiri di pinggir jalan. Sejenak hatinya ragu. Dia ingin menghampiri Keyla, tetapi mengingat sikap gadis itu, pasti Keyla menolak. Akhirnya Rendra melewati Keyla begitu saja.
Keyla hanya tertunduk ketika melihat Rendra berlalu dengan mobilnya. Tanpa izinnya air mata keluar begitu saja membasahi pipinya. Dia tidak menyangka Rendra akan berubah sedrastis ini.
Sebuah taksi menghampirinya. Keyla segera naik dan menyebutkan alamatnya.

***
Keesokan paginya Keyla bangun dengan rasa sakit luar biasa. Kepalanya berdenyut. Untuk bangun saja dia tidak bisa. Pelan-pelan Keyla berusaha bangun dan berdiri, tetapi pandangannya terasa berputar. Keyla membaringkan tubuhnya kembali. Rasanya dia tidak sanggup untuk bangun.
Setelah merasa lebih baik, Keyla bangun dan menuju kamar mandi. Dia berencana ke kantor sebentar lalu ke rumah sakit. Ada berkas yang harus dia serahkan ke Mbak Titik.
Sesampainya di kantor, Keyla merasa semakin pusing. Untungnya dia bertemu Mbak Titik di lobi kantor. Setelah menyerahkan berkas, Keyla meminta izin sakit ke bagian HRD.
Keyla berjalan keluar kantor ketika dilihatnya Lisa berjalan ke arahnya. "Key... kamu pucat ba—"Keyla sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Dia hanya merasa gelap dan ada yang menahan tubuhnya yang ambruk.

Cinta KeylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang