Bab 13

3.3K 307 74
                                    

Makasih, ya, Pak." Keyla mengambil koper dari tangan Rendra. Saat ini mereka sudah berada di depan teras kos Keyla.

"Saya yang makasih." Rendra mengucapkannya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Kok bisa Bapak yang bilang makasih? Liburan Bapak yang bayar. Saya juga diantar jemput. Terus makasihnya untuk apa?" tanya Keyla heran.

"Hm... saya ralat, ya. Bukan saya yang bayar, tetapi kantor. Saya cuma bayari makan siang tadi. Dan menurut saya, itu tidak ada apa-apanya. Bisa melihat kamu senyum dan tertawa, itu sudah membuat saya bahagia." Rendra memajukan sedikit tubuhnya ke arah Keyla.

Sontak pipi Keyla merona mendengar ucapan Rendra. "Sama aja, Pak. Kantor yang bayar juga atas perintah Bapak." Keyla tidak berani menatap Rendra. Sejak kejadian Rendra memeluknya, jantungnya sering terasa berdebar-debar. Apalagi mendengar ucapan Rendra barusan. Hatinya terasa... hmm... apa yaa...? Entahlah.

Rendra yang melihat Keyla merona dan tidak berani menatapnya, tersenyum. Saat ini hatinya memang benar-benar bahagia. Entah mimpi apa dia semalam. Bisa mendengar Keyla yang memuji penampilannya, walaupun secara nggak sengaja. Dan kedekatan mereka ketika Keyla hampir jatuh. Dia bisa merasakan keterpanaan Keyla ketika menatap matanya.

"Kalian sudah datang," terdengar suara bariton menyapa.

Rendra dan Keyla  menoleh. Mereka melihat Rico dan Ibu Wijaya sudah ada di dekat pintu masuk.

"Kok temannya nggak disuruh duduk, Keyla. Silakan duduk, Nak." Ibu Wijaya mempersilahkan Rendra duduk di kursi teras.

"Terima kasih, Bu. Tapi saya hanya mengantar Keyla pulang," tolak Rendra halus.

"Nggak boleh begitu. Duduk dulu sebentar. Kita ngobrol sambil nge-teh. Ibu sudah buat lumpia kesukaan Keyla."

"Tapi, Bu, sudah sore. Dan kami belum sholat asar." Rendra kembali menolak secara halus.

"Sholatlah di sini. Kamu bisa sholat di kamar Rico. Jangan nolak, ya. Anggap aja rasa terima kasih karena sudah mengantar Keyla pulang. Dia sudah Ibu anggap seperti anak sendiri." Ibu Wijaya kembali meminta Rendra untuk mampir.

Rendra merasa tidak tega kembali menolak permintaan Ibu Wijaya.

"Ayo, aku antar ke kamarku. Kamu bisa istirahat sebentar dan sholat. Jadi Keyla bisa mandi dan sholat juga di atas." Rico mengajak Rendra ke kamarnya.

Keyla yang melihat wajah memohon Ibu Wijaya hanya mengangguk ketika Rendra menatapnya. Sebenarnya dia juga bingung, kenapa Bu Wijaya menahan Rendra di sini.

"Ya sudah. Kamu istirahat aja dulu di kamar Rico. Sekalian aja makan malam di sini, ya. Ibu sudah masak terong balado, tumis kangkung, nila bakar sama udang goreng. Sudah lama Ibu nggak makan bareng Rico dan Keyla. Kamu ikut juga, ya. Biar tambah rame," ucap Ibu Wijaya ke Rendra.

"Wah, makanan kesukaan Keyla semua itu. Anaknya Ibu itu Keyla apa Rico sih," protes Rico ke Ibunya.

"Sampai kapan pun Keyla akan tetap jadi anaknya Ibu." Ibu Wijaya melangkah ke dalam rumah.

"Enaknya panggil apa, ya? " tanya Rico pada Rendra ketika mereka menuju ke kamar Rico.

"Rendra aja."

"Oke. Soalnya Keyla panggil kamu, Pak, jadi aku agak segan."

"Itu anak memang bandel. Sudah dibilangi, kalau di luar jam kantor panggil nama aja, tetap nggak mau." Rendra mengucapkannya dengan setengah kesal.

"Itu anak kan memang biangnya keras kepala. Mau sholat dulu apa istirahat dulu?"

"Sholat aja dulu."

Cinta KeylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang