Bab 6

3.1K 321 58
                                    

"Kamu mau berangkat kerja, Key?" tanya Rico ketika melihat Keyla menuruni tangga kos.

"Iya, Kak."

"Yuk, kuantar. Kebetulan aku mau ke arah sana."

"Beneran ini, Kak?" tanya Keyla dengan wajah semringah.

"Iya. Asal kamu nggak malu aja. Aku kan nggak punya mobil mewah kaya bosmu." Rico melangkah menuju motornya.

Mendengar ucapan Rico, membuat Keyla menekuk wajahnya. "Kok, Kakak ngomongnya gitu sih? Memangnya Keyla pernah malu diantar pakai motor?"

"Dulu sih nggak. Tapi siapa yang tau sekarang?" Rico mengedikan bahunya lalu memasang helm di kepalanya.

"Niat nggak sih, ngantar. Kalo nggak, Keyla naik taksi aja." Keyla yang merajuk, hendak beranjak menjauhi Rico.

"Iya, iya. Gitu aja ngambek." Rico meraih tangan Keyla dan memakaikan helm di kepala gadis itu.

Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang mengawasi mereka. Ibu Wijaya tersenyum. "Semoga mereka bisa segera jadi pasangan suami istri." 

Bu Wijaya memang sangat menyayangi Keyla. Menurut dia, sangat susah mencari wanita baik-baik sekarang. Keyla tidak pernah keluar malam, kecuali ada keperluan mendesak. Dia juga tidak pernah diantar lelaki pulang, kecuali beberapa hari yang lalu. Ibu Wijaya memang sempat heran melihat Keyla diantar seorang lelaki, tapi setelah ditanya, Keyla menjelaskan kalau lelaki itu adalah bosnya yang ingin meminta tolong.

***

Rendra baru keluar dari mobil ketika dilihatnya Keyla diantar Rico. Wajah Keyla  sangat gembira. Entah apa yang diucapkan Rico, hingga membuat Keyla tertawa sembari menyerahkan helmnya. Melihat interaksi mereka, membuat hati Rendra sedikit terusik. Belum pernah Rendra melihat Keyla segembira ini.

"Pagi, Pak...," sapa Keyla riang di depan lift.

"Pagi." Rendra menoleh ke Keyla.

"Pagi juga." Ryan yang baru tiba menimpali.

"Pagi, Kak Ryan...," jawab Keyla masih dengan riangnya.

"Yang tadi pacarmu, Key?" tanya Ryan. Rupanya dia juga melihat Keyla diantar Rico.

"Sayangnya bukan, Kak."

"Masa sih bukan? Kalian akrab banget gitu." Ryan tampak tidak percaya.

"Calon pacar, Yan.." sela Rendra sambil melirik Keyla.

"Ahh, calon paaacaar?" ucap Ryan perlahan. "Pantesan sampai bisa antar kerja." Ryan masuk ke lift yang sudah terbuka.

"Kak Rico memang baik banget kok, Kak. Dari saya mulai kos di  situ, Kak Rico suka tolongi saya. Kalo saya ada perlu keluar dan dia nggak sibuk, Kak Rico pasti antari saya," jawab Keyla sambil mengikuti Rendra yang juga masuk ke lift.

"Berapa lama kamu kos di situ?" tanya Rendra.

"Empat tahunan, Pak."

"Empat tahun?” Rendra menaikkan alisnya. “Dan status kalian masih calon pacar? Ckckck...."

"Yang bilang calon pacar kan, Bapak. Bukan saya." Keyla melangkahkan kakinya bersiap keluar dari lift. Sepertinya dia sedikit kesal.

Rendra hendak membalas perkataan Keyla tapi keburu pintu lift terbuka.

"Duluan , Pak," pamit Keyla.

Rendra menatap Keyla yang berjalan menuju ruangannya. "Key, Nanti kita meeting jam sembilan ya, " perintah Rendra sebelum Keyla menjauh.

"Baik, Pak," jawab Keyla tanpa menoleh.

***
"Rajin banget Key, efek diantar calon pacar?" lagi-lagi Rendra menggoda Keyla begitu memasuki ruang meeting.

Keyla yang sedang serius menatap laptopnya menghela napas. "Bapak nih ya, jangan kasih saya harapan terus kenapa. Nanti saya sudah besar kepala, ternyata Kak Rico nggak punya perasaan apa-apa ke saya. Kan kasihan saya-nya."

"Kenapa kamu nggak maju duluan?" Rendra berjalan menuju kursi pimpinan rapat.

"Nggaklah, Pak. Malu saya. Masa saya yang ngomong duluan. Saya kan cewek."

"Ya, nggak pa pa. Dari pada kamu digantungin gitu. Mending ada kepastian. Kalo dia bener nggak ada perasaan sama kamu, kan masih ada saya." Rendra menyalakan laptopnya lalu menatap Keyla dan tersenyum.

Meskipun ucapan Rendra santai, seakan tanpa beban. Tetap membuat Keyla terpana menatap Rendra. Apalagi baru kali ini dia melihat Rendra tersenyum selembut itu. Hingga tawa Rendra mengembalikannya ke alam sadar. "Ish, Bapak nih. Nggak lucu bercandanya."

Tiba-tiba ada suara ribut-ribut di luar.

"RENDRA! RENDRA...! AKU TAU KAMU ADA DI KANTOR. KELUAR KAMU!!" terdengar teriakan suara wanita.

Keyla langsung menatap ke Rendra yang wajahnya sudah menegang. Rendra mengenali suara itu. Akhirnya dia harus kembali berhadapan dengan Sarah.

Selama ini dia memang selalu menghindari Sarah. Menolak teleponnya. Mengacuhkan semua chat-nya. Bahkan Rendra mengganti password apartemennya supaya Sarah tidak bisa masuk.

Pintu meeting terbuka.

"Di sini kamu rupanya." Sarah muncul dengan wajah sinis diikuti Vetty yang tampak panik. 

"Maaf, Pak, saya sudah coba tahan. Tapi Ibu ini terus memaksa masuk dan bikin keributan," jelas Vetty takut-takut.

"Kita harus bicara, Ren. Jangan menghindar terus!" ketus Sarah.

"Maaf, Bu, mari ikut saya keluar," ucap satpam kantor yang baru tiba.

"Nggak pa pa, Pak. Ada yang mau saya bicarakan dengan Ibu ini. Tinggalkan saja kami. Kamu juga, Vetty," perintah Rendra tenang. Dia memutari meja dan menyandarkan bokongnya di meja sembari menyilangkan tumitnya. 

"Baik, Pak," jawab Vetty dan satpam bersamaan.

Rendra menatap tajam Sarah. "Mau apa kamu? Aku rasa urusan kita sudah selesai," tanya Rendra  begitu Vetty dan Satpam kantor keluar." Dia melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aku—“ ucapan Sarah terpotong suara Rendra.

"Kamu mau ke mana, Keyla?" tanya Rendra ketika melihat Keyla berjalan menuju pintu.

Baru Sarah menyadari, masih ada orang lain di ruangan itu.

"Eh, anu, Pak, saya... saya mau ke toilet dulu," jawab Keyla tergagap. Dia merasa tidak enak berada di ruangan itu.

"Cepat kembali! Kita harus segera meeting. Saya nggak bakal lama."

"Ba-baik, Pak." Dengan langkah cepat Keyla segera berjalan keluar ruangan. "Hufh, kenapa aku jadi kaya orang kepergok selingkuh ya...."

"Jadi Sarah, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Rendra dingin tanpa menunggu Keyla keluar.

Sarah yang tidak menyangka Rendra akan sedingin itu, menatap nanar kekasihnya, setidaknya bagi dia, Rendra masih kekasihnya. Hilang sudah Rendra yang selama ini mencintainya.  Hatinya terasa hancur melihat Rendra yang tampak sangat membencinya.

"Aku mau menjelaskan kejadian kemarin," ucap Sarah dengan suara pelan. Air mata mulai tampak membasahi wajahnya.

"Bukannya sudah jelas? Apalagi yang mau kamu jelaskan?" suara Rendra masih dingin.

"Aku... aku terpaksa, Ren. Kamu tahu kan kehidupan di lingkunganku seperti apa. Aku nggak mungkin—“

"TERPAKSA? Terpaksa kamu bilang? Bagaimana mungkin orang yang terpaksa bisa mendesah menikmati percintaannya?" sela Rendra sinis, membuat Sarah menundukkan kepalanya.

"Aku cuma bisa minta maaf. Tapi aku memang terpaksa. Aku hanya ingin kehidupan seperti teman-temanku. Dan dia bisa memenuhinya. Aku tau kamu baik. Tapi aku nggak bisa mengikuti gaya hidup sederhanamu." Sarah kembali mengangkat kepalanya menatap Rendra dengan sendu.

"SEDERHANA, kamu bilang? Semua barang yang aku belikan untuk kamu itu, semua branded. Itu kamu bilang SEDERHANA?" Rendra menekan kata sederhana.

"Aku perlu barang terbaru, Rendra. Nggak mungkin aku pakai barang model lama. Sedangkan teman-temanku pakai model terbaru. Mau ditaruh di mana mukaku?" sahut Sarah cepat. Dia merasa memiliki pembenaran untuk perbuatannya.

"Sudah-sudah, cukup Sarah. Aku nggak mau perpanjang ini lagi. Urusan kita sudah selesai. Silakan kamu keluar." Rendra membalik tubuhnya, berjalan menuju kursinya.

"Tapi... tapi aku masih nggak bisa melepas kamu, Ren. Please... jangan pergi dari aku. Kita masih bisa bertemu diam-diam," mohon Sarah dengan wajah memelas.

Wajah Rendra sontak memerah. "Kamu gila, ya? KELUAR SEKARANG JUGA!! Apa perlu aku panggil satpam untuk membawamu keluar?" Dia meraih gagang telepon di meja meeting.

"OKE. Aku keluar. Tapi asal kamu tau. Aku masih cinta sama kamu." Sarah keluar ruangan setelah mengucapkan kata-kata itu.

Rendra mengusap kesal wajahnya. Dia sudah muak melihat Sarah. Ditambah Keyla yang tidak menuruti kata-katanya.

Entah kenapa Rendra lebih suka Keyla menemaninya ketika menghadapi Sarah. Tetapi gadis itu kembali membantahnya. "Pasti ke toilet tadi cuma alasan saja.”

Rendra meraih gagang telepon dan menghubungi Keyla melalui interkom.

"Halo," terdengar suara Keyla.

"Key, kamu memang suka semedi di toilet?" ketus Rendra.

"Bapak, sudah selesai?" suara Keyla terdengar ketakutan.

"Bukannya tadi saya sudah bilang. Dari toilet langsung ke sini. Saya nggak bakal lama."

"Maaf, Pak. Saya takut ganggu."

"CEPAT KESINI!!"

"I-iya, Pak." Keyla langsung menutup teleponnya.

Keyla memasuki ruang meeting dengan perasaan waswas. Syukurlah sudah ada Ryan di sana, seketika dia bernapas lega dan segera duduk di kursinya.

"Ini terakhir kalinya kamu membantah saya, Keyla," tegas Rendra sambil menatap tajam Keyla.

"Maaf, Pak. Saya cuma nggak—“

"Cukup. Saya nggak mau dengar alasan kamu. Kita mulai meeting-nya." Rendra mengalihkan pandangannya ke layar laptop.

Ryan menggelengkan kepalanya pelan pada Keyla. Memberi kode agar jangan membantah lagi.

"Mimpi apa aku semalam," keluh Keyla dalam hati.

Cinta KeylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang