heart

58.1K 5.2K 21
                                    

Alice masih terlelap dalam alam bawah sadarnya, kepalanya dibebat dengan perban putih. Matanya masih terpejam tak ada tanda-tanda untuk segera tersadar. Sebagian tubuhnya di tutup selimut. Beryl pelayan setianya terus menangis di samping tuannya, rasa khawatir menyelimuti hatinya.
Adrian juga di ruangan yang sama menatap sendu pada alice. merasa kasian, bukan tapi duka. Setumpuk kebencian telah berada di dalam hatinya. devian adalah sumber dari segala masalah baginya tepatnya penderitaan.

‘seandainya kau adalah milikku, seandainya aku yang datang untuk menikah denganmu, seandainya aku mengenalmu lebih dulu dari pada dengan putrid dari bernett tua itu. Kau pasti tak akan menderita sebanyak ini alice. Tidak, bahkan tak akan aku biarkan sehelai rambutmu di sentuh oleh siapapun.’ Kata Adrian dalam hati.

“pangeran sebaiknya anda segera kembali ke kediaman anda, saya akan menjaga yang mulia ratu.” Beryl menunduk dan meminta Adrian dengan hormat agar tak menyinggung perasaannya.
“baiklah, jika terjadi sesuatu atau dia sadar segera kabari aku.” Gumam devian.
“saya rasa yang mulia devian yang akan mengurus semuanya.” Jelas beryl.
“kau tau yang menyebabkan dia terluka adalah orang yang kau sebut raja, jika dia melakukan sesuatu padanya apa yang akan kau lakukan ?” Adrian menatap beryl tajam.
“sa..saya akan memberi tahu anda yang mulia.”
Setelah mendengar jawaban beryl Adrian segera pergi meninggalkan ruangan itu, meninggalkan beberapa pengawalnya di depan kamar alice.

****
Setalah insiden sarapan yang kacau devian pergi keruang singgasananya, duduk disana dengan frustasi. Dia bahkan tak bisa duduk dengan nyaman dan terus mondar mandir kesana kemari. Pikirannya kacau setiap gambaran wajah alice mengalir di otaknya, saat dia tertawa, tersenyum, dan saat bayangan terakhir ia melihatnya saat tidur.
“AAAHHHHHHHHH!!!!!” devian berteriak frustasi, membuat aiden hanya menghela nafas pelan.
Tak berapa lama kepala devian terasa berdenyut dia memejamkan matanya dan bayangan alice kembali muncul. Membuatnya benar-benar gelisah.
“aiden, bagaimana keadaan gadis bodoh itu ?” tanya devian tanpa menatap lawan bicaranya.
“maaf yang mulia, saya tidak tau.” Jawab aiden sambil menunduk meminta maaf.
“kau tangan kanan ku bagaimana kau tidak mengetauhuinya ?”
“anda tidak mengijinkan saya kemanapun sejak acara anda tadi pagi.”
“cari tau keadaannya dan beri kabarnya padaku 5 menit dari sekarang.”
“baik yang mulia.” Aiden segera keluar ruangan devian.

5 menit kemudian….

Entah mengapa 5 menit terasa begitu lama bagi devian saat ini, rasanya dia ingin berlari keluar dan melihat gadis yang ia lukai tadi pagi. Namun, ada perasaan lain yang mencegahnya untuk ke sana. Rasa takut apa bila dia marah dan tak ingin melihatnya lagi, atau rasa bersalah yang ia rasakan. Semua yang devian rasakan adalah perasaan manusia yang terasa begitu nyata baginya. Ini pertama kalinya dia merasakan perasaan seperti ini, sudah sangat lama saat ia bisa mengendalikan sisi dirinya yang lain. Saat hatinya mampu melawan pikirannya yang begitu kejam dan kasar.
Iris merah devian menatap orang yang baru memasuki ruangannya dengan gusar. Menatap aiden yang berjalan santai memasuki ruangannya. Mungkin jika devian tak mengingat aiden adalah orang setianya dia sudah akan melemparnya ke dasar jurang yang dipenuhi iblis.
“aiden, aku bilang 5 menit.” Devian mengingatkan.
“saat ini tepat 5 menit yang mulia.” Jawab aiden santai.
“laporkan !!” perintah devian tak sabar.
“ratu belum sadarkan diri, menurut dokter benturannya terlalu keras mungkin akan menyebabkan cidera berat atau ringan, baru bisa di ketahu jika sudah sadar. Ada kemungkinan ratu akan mengalami gangguan ingatan atau hilang sama sekali. Kabar yang lain mungkin lebih buruk. Pangeran Adrian menempatkan beberapa pengawalnya di istana ratu.” Aiden mengakhiri laporannya.
“APA !!!!” mata devian berkilat marah. “dia ingin membuat gara-gara denganku ?? apa dia sudah bosan hidup ??” wajah devian merah padam.
Aiden yang sering menatap melihat kemarahan devian tiba-tiba terdiam, entah mengapa kemarahannya kali ini berbeda. Jika kemarahan yang biasa devian ungkapkan cukup tenang kali ini sangat berbeda, lebih seperti pria yang sedang cemburu.
“bukankah aku suaminya, dia fikir dia siapa.” Devian meraih pedangnya segera keluar dari singgasananya dan langsung menuju kamar alice.
“yang mulia tunggu.” Aiden segera menyusul tuannya. “bisakah anda tidak menggunakan senjata, ini akan semakin buruk. Lagi pula anda akan mengganggu ratu yang beristirahat.” Aiden mencoba menghentikan devian.
“dia masih pingsan, dia tidak akan bangun hanya dengan mendengar sedikit keributan.” Devian terus berjalan tanpa menghiraukan aiden.

Sesampainya di kamar alice beberapa penjaga mencoba menghalangi jalannya, memberi peringatan pada devian untuk tidak melanjutkan masuk ke kamar alice.
“dia istriku dan aku suaminya, aku lebih berhak dari pada Adrian. jadi, minggir sebelum pedangku memisahkan kepalamu dari tubuhmu.” Devian memperingatkan para penjaga itu.
Aiden yang melihat hal itu hanya menghela nafas dan memijat kepalanya yang mulai agak pusing, karena kecemburuan tuannya yang bahkan yang merasakan tidak meyadarinya.
“maaf yang mulia, kami hanya mematuhi pangeran Adrian.”
“baiklah.” Devian hendak memukul mereka namun tangan aiden menghentikan tuannya.
“biar saya yang mengurusnya anda lebih baik masuk yang mulia.”
“baiklah, saat aku keluar jangan sampai aku melihat wajah mereka lagi.”
Devian segera menghunus pedangnya, dan menggunakannya untuk menepis senjata mereka yang menghalanginya, setelah devian lewat mereka semua sibuk melawan aiden.

Didepan pintu besar, devian mulai ragu untuk membukanya. Namun dia tetap membuka pintu itu dan masuk. Pemilik ruangan itu masih dalam keadaan yang sama tak bergerak di tempat tidurnya. Seorang pelayan terisak disampingnya. Perlahan devian berjalan mendekat dan melihat perban alice yang sedit terdapat bercak darah pada lukanya.
“bagaimana keadaannya ?” tanya devian tiba-tiba, membuat pelayan yang menjaga alice terkejut dan hampir berteriak.
“ya..yang mulia ba.. bagaimana…” beryl terlihat gugup.
“katakana saja bagaimana keadaannya ?” tanya devian mengulang pertanyaannya ke dua kali.
“saya tidak tau yang mulia, ratu belum juga bangun. Meskipun dokter bilang dia akan baik-baik saja.”
“benarkah ? bisa tinggalkan kami ?” tanya devian mungkin lebih tepatnya memohon.
“ta..tapi yang mulia…”
“aku tak akan melukainya.” Janji devian.
Ragu beryl mengangguk dan segera keluar meninggalkan pasangan suami istri itu berdua.

Setelah beryl keluar devian mendekat keranjang alice dia membungkuk memperhatikan wajah itu sekali lagi. Damai, meskipun dalam keadaan sekarat. Masih cantik meskipun terdapat perban dan darah disana. Jemari devian mulai bergerak kearah dahi gadis itu, menjelajahi setiap lekuk wajah yang begitu cantik. Dari dahi melewati hidung yang mancung bagai Puncak gunung dan perhenti di bibir semerah cerry yang lembut. Perlahan iris mata devian berubah menjadi biru. Sedikit terkejut devian mulai mengerjabkan matanya, menyesuaikan jarak pandangnya yang baru.
“ada apa denganku ? saat di dekatmu terkadang aku bisa menguasai diriku sendiri. Mengusai seluruh kewarasanku sebagai manusia biasa.” Iris mata biru it uterus mengamati gadis itu. Devian dapat menangkap pergerakan bola mata alice yang terpejam.
“apa aku menyakitimu ?” gumam devian lembut.
“tidak sama sekali.” Sebuah suara lirih nan lemah menjawab. Perlahan alice membuka matanya.
Devian segera menarik tangannya dan berdiri tegak karena terkejut.
“aku baik-baik saja, aku hanya ingin memastikan karena itu aku tidak membuka mataku meski…”
“sstttt..” devian meletakkan telunjuknya di bibir alice isyarat untuk diam. “tak apa, aku telah menyakitimu. Begitu melihat luka dan darahmu. Sedikit kewarasanku kembali, pikiranku kembali jernih setidaknya semua tekanan emosiku hilang dan hanya memikirkan keadaanmu.” Jari-jari devian menyentuh luka di dahi alice lembut. "Apakah sakit??" tanya devian lembut.
“yang mulia apakah anda ingat janji di pernikahan yang saya ucapkan waktu anda menikah dengan saya.” alice mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menghilangkan kekhawatiran devian.
“maksudmu pernikahan kita ?” koreksi devian.
Alice mengangguk dan mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. “di saat susah dan senang, di saat sehat mau pun sakit. Meskipun saat itu saya dan anda..”
“kita” potong devian lagi. “aku dan kamu adalah kita bukankah kau menyukai kalimat yang pendek ?”
“hmm..” wajah alice kembali memerah. “meskipun kita sama-sama tak menginginkan hal itu pada saat pernikahan itu terjadi, tapi saya mulai berubah fikiran saat anda menyelamatkan saya. Saya akan tetap di samping anda apapun yang terjadi, siapa pun anda, saya tidak peduli.” Alice perlahan menatap mata devian.
“akan sangat berbahaya alice, bahkan hari ini pun…”
“yang mulia apa anda tidak mempercayai saya ?” alice memotong kalimat devian.
“tidak, aku percaya. Hanya saja aku tidak yakin dengan diriku alice ?”
“kita pasti bisa melewatinya bersama yang mulia.” Alice tersenyum.

I'm in love with a monster (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang