bored

55.9K 4.9K 22
                                    

Hai..  😊
Maaf baru update..  Terimakasih untuk yang sabar menunggu.. 😉
Untuk chapter ini, author sudah berusaha, jika masih ada kesalahan EYD, tanda baca,  mau pun kesalahan kata..  Author minta maaf..  Selamat membaca  😀😀

Seorang tengah duduk di balkon sebuah kastil tua. Mengamati tiap detil benda yang ia pegang dengan seksama.
“Apa kau membenciku Alice?”gumamnya perlahan, seolah tengah bicara pada benda itu. Perlahan ingatannya melayang ke masa kecilnya. Saat dia hanya seorang anak laki-laki yang tak tahu apa-apa yang hanya mengerti sebuah pertemanan dan persahabatan.

Flash back*
“Tylor kau meninggalkan aku lagi?” seorang anak perempuan berambut perak dengan susah payah berlari mengejar anak laki-laki yang berjalan lebih dulu.
“Yang Mulia, harusnya anda bisa bergerak lebih cepat, jika ada orang jahat kau harus bisa lari dengan sangat cepat.”
“Kenapa aku harus lari? kau bilang kau akan menjagaku kan ?” gadis itu berhenti dan mengerucutkan bibirnya.
“Benar Yang Mulia, aku akan melindungimu, tapi bagaimana jika aku tidak ada ?” tanya anak laki-laki itu sambil menatap lekat iris biru Alice kecil.
“Kau tidak boleh pergi kemana pun, itu perintah.” Alice kecil tersenyum lebar.
Flash back end*

“Aku pasti akan berhasil kali ini alice, tunggulah. Tak peduli kau siapa, aku akan terus berusaha agar kau bisa terus disisiku. Saat aku bisa menjadi raja dan penguasa kau pasti akan memaafkan aku.” Sudut bibirnya pun sedikit tertarik membentuk senyuman tipis.
“Tuan!” Seorang pria nampak menunduk pada Tylor.
“Ada apa?” Tylor menatap pria itu serius.
“Ada pesan untuk anda, sepetinya dari Aldwick.”
“Aldwick?” dengan cepat Tylor merebut gulungan kertas di tangan pria itu, dahinya berkerut saat membuka pesan itu. Mata coklatnya perlahan membaca barisan tulisan rapi yang tertulis dikertas itu.
“Seseorang akan datang kemari, sebaiknya persiapkan pasukan untuk berjaga. Jika orang ini terlihat mencurigakan segera tahan atau kau bisa membunuhnya.” Tyler menyerahkan kembali gulungan itu.
“Siapa yang akan datang ?” Tanya pria itu penasaran.
“kau lihat saja nanti, jika ini semua benar dia akan menjadi kunci kita menuju gerbang Corfe.” Terlihat seringai mengerikan muncul diwajah Tyler.

****
Di tempat lain di istana Aldwick, terlihat begitu banyak pelayan yang berlalu lalang terutama di aula kerajaan. Setiap sudut dinding dan langit langit dihiasi kain-kain berwarna merah dan emas. Setiap kain menjutai hingga ke lantai. Meja-meja panjang disusun dengan rapi tertutup dengan taplak meja berwarna senada. Piring-piring indah telah di susun sedemikin rupa, beberapa pelayan masih merapikan di beberapa tempat memasang setiap hiasan yang ada, ada yang menyusun bunga di pojok-pojok ruangan., ada yang menaiki tangga dan menyusun semua hiasan di sepanjang dinding dan pilar-pilar yang menjulang.
Sedangkan Alice, tengah duduk dengan murung didepan jendela besar kamarnya. Di depannya terdapat setumpuk buku-buku tebal yang telah selesai dia baca.
“Beryl, aku harus keluar. Aku bisa mati bosan disini.” Alice menghela nafasnya untuk kesekian kali.
“Maaf Yang Mulia, tapi Yang Mulia Raja berpesan kalau anda tidak boleh keluar kamar sebelum luka anda benar-benar sembuh.”
“Aku sudah sembuh beryl, perban ini juga tidak berguna lagi.” Alice pun segera melepas perbannya. Terlihat lukanya sudah mulai mengering. Alice pun membenahi rambutnya sehingga luka itu tertutup dengan rambut peraknya dengan sempurna.
“Yang Mulia, jangan di lepas jika Raja Devian tahu dia akan marah lagi seperti kemarin.” Beryl mulai panic meraih perban Alice hendak memakaikannya kembali pada tuannya. Namun, tangan Alice terus menepis tangan Beryl.
“Sudah aku bilang, aku tidak apa-apa.” Alice segera berdiri dan berjalan keluar kamarnya yang dengan cepat disusul beryl.

Alice mengamati orang-orang yang tengah sibuk mondar mandir dengan membawa berbagai barang dan perlengkapannya.
“Kenapa ada banyak sekali pelayan disini ?” tanya Alice pada Beryl.
“Dua hari lagi adalah ulang tahun Raja Aaron, persiapannya dilakukan mulai hari ini. Karena itu ayo kembali ke kamar anda, sebelum Yang Mulia Devian kesini untuk melihat pekerja mereka.” Beryl segera menarik tangan tuannya untuk kembali kemarnya.
“Sebentar Beryl, kenapa buru-buru. Devian tidak akan kemari.”
“Siapa yang barusan kau bicarakan?” suara seorang laki-laki terdengar di belakang Alice dan Beryl, saat mereka berdua berbalik Devian tengah berdiri disana dengan wajah datar nan dinginnya.
“De..Dev.. maksudku Yang Mulia, ba..bagaimana kau bisa ada disini ?”
“Harusnya aku yang bertanya, sedang apa kau disini?” devian berjalan mendekat kedepan alice. “Kau berani melawan perintahku?” bentak Devian kesal, mulut Alice terkunci rapat dia menunduk tak berani menatap mata Devian.
“Lihat aku!” Devian kembali membentak Alice kerasa dan dengan terpaksa perlahan Alice mengangkat wajahnya dan menatap iris merah Devian.
“Aku bosan.” Jawab Alice lirih hampir tak bisa di dengar.
“Sudah ku bilang tunggu hingga lukamu sembuh. Kau tak mengerti?” devian menyadari jika perban di kepala alice menghilang. “Kemana perbannya ? kau melepasnya ?” Devian menatap Beryl tajam.
“Ma..maaf yang mulia…” Beryl menunduk dalam.
“Aku yang melepasnya sendiri. Jangan marahi Beryl. Lagi pula aku sudah sembuh.”
“Sudah sembuh?” Devian memicingkan matanya dan tanpa diduga jarinya dengan cepat menyentuh luka Alice dengan sedikit kasar.
“AAUUU!!!!” Alice sedikit menjerit karena sakit, reflek tangannya langsung menyentuh lukanya.
“Kau sebut itu sembuh ?”
“Dasar jahat!!!!” bentak Alice keras dengan  cepat dia berbalik dan kemali kekediamannya dengan air mata yang menggenang dimatanya.
Devian hanya terdiam mendengar kalimat yang baru diucapkan padanya.
“Yang Mulia, tak seharusnya anda seperti itu pada Ratu Alice.” Gumam Aiden yang sedari tadi hanya mengamati.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Devian datar sambil berlalu kembali meninjau hasil pekerjaan pelayan-pelayannya.

Alice masih dalam suasana hati yang buruk, dia terus mengomel tak jelas sepanjang jalan dengan kesal, perlahan air mata yang ia tahan sedari tadi turun membasahi pipinya. Namun, disekanya dengan cepat.
“Yang Mulia, seharusnya anda mendengarkan saya. Biar saya periksa luka anda, jika luka anda kembali terbuka aku akan panggil dokter.” Beryl hendak melihat kening Alice, namun Alice melarangnya.
“Sudahlah Beryl, aku tidak apa-apa. Lagi pula, si pemarah Devian tak akan peduli. Dia lebih suka aku terkurung disini.”
“Yang Mulia Devian hanya mencoba melindungi anda.” Jelas Beryl.
“Beryl, kau berdiri di pihak siapa sekarang?” tanya Alice tersinggung. Beryl segera menutup mulutnya dengan rapat.
“Sebaiknya kau keluar Beryl, aku dalam suasana hati yang buruk.” Gumam Alice kesal.
Beryl segera menunduk memberi hormat dan keluar dari kamar itu dengan cepat. Setelah Beryl keluar dengan cepat Alice berdiri dari kusinya dan meraih bantal di setiap kursi melemparnya kesegala arah dengan kesal.
“Devian sial, Devian menyebalkan, Devian pemarah, wajah kaku, manusia es. Suka seenaknya…. AHHHHH!”

BUKKKK…
Sebuah bantal berhasil mengenai sesuatu membuat Alice berhenti dari aktifitas lempar bantalnya, iris birunya menjelajahi setiap ruangan melihat benda apa yang terkena amarahnya hingga mata indahnya kini membulat semburna. Karena bantal itu tak mengenai benda melainkan orang yang sedang menjadi target amarahnya, Devian tengah berdiri di sana dengan bantal ditangannya.
“Ap..apa yang anda lakukan disini ?” alice memeluk erat bantal yang ada di tangannya. Iris birunya mengawasi pria itu waspada.
“Begitukah caramu melampiaskan amarahmu padaku ?” Devian menatap tajam Alice.
Alice segera menunduk tak berani melihat devian seperti biasa. Perlahan dia berjalan kearah Alice, saat tinggal 3 langkah dari Alice iris merah Devian berubah perlahan menjadi biru. Devian menyerahkan bantal itu pada Alice, perlahan Alice mengambilnya dari tangan Devian.
“Aku terlalu khawatir padamu, jangan bersikap bodoh lagi.” Dengan lembut devian menyentuh atas kepala alice. “Maaf, aku membuat lukamu lebih sakit lagi.”
Alice menatap Devian mengamati iris birunya, bantal yang di pegangnya pun dia jatuhkan begitu saja dan langsung memeluk pria didepannya. Devian membalas pelukan Alice, senyum perlahan menghiasi wajahnya.
“Kau yang tadi, sangat sulit untuk di peluk atau di bujuk.”
“Maaf, tapi aku merasa hampir tak bisa menolak. Meski pikiranku yang lain masih terlalu kuat. Aku rasa kau adalah obat yang bisa mengembalikan kewarasanku Alice.” Jelas Devian.
“Benarkah ? tapi kau masih saja dingin.”
“Itu diluar kendaliku, aku masih mencoba dan juga belum yakin. Aku akan berusaha lebih keras untuk mengembalikan setiap kewarasan yang dulu aku miliki. Bersabarlah.”
Alice hanya menanggapi Devian dengan anggukan.
“Kau tahukan sebentar lagi ulang tahun ayahku, karena hal itu jangan keluar dari area kastilmu hingga hari itu tiba.”
“Kenapa ?” tanya alice bingung.
“Dengarkan saja apa yang aku minta. Kau mengerti jangan berbuat sembarangan, demi keamananmu. Aku akan meningkatkan keamanan diarea kastil ini.”
“Baiklah !!” meskipun sedikit berat hati tapi akhirnya alice mengiyakan.

I'm in love with a monster (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang