Devian berdiri didepan jendela besar kamar Alice, ekspresi wajahnya begitu sulit diartikan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Alice masih terbaring lemah. Seorang wanita tengah memeriksanya sambil menanyakan beberapa hal pada gadis itu.
"Apa yang anda rasakan Yang Mulia? " tanya wanita itu."Saya baik-baik saja, hanya merasa lemas dan sedikit sakit dibeberapa bagian." Jawab alice lirih.
"Baiklah, saya akan kembali besok pagi. Pastikan anda meminum obat anda dan perawat akan datang setiap pagi dan sore hari." Wanita itu segera berdiri dari tempat duduknya.
"Terimakasih dokter." Alice tersenyum pada wanita itu.
"Itu sudah menjadi tugas dan tanggung, jawab saya untuk merawat anda Yang Mulia." Dokter itu segera menunduk memberi hormat pada Alice dan juga Devian.
Dokter segera pergi dari kamar Alice begitu tugasnya selesai. Alice mencoba bangun, namun lengannya masih terasa sakit karena luka. Devian yang melihat Alice kesulitan untuk bangun segera menghampirinya dan membantu Alice duduk. Iris biru Alice menatap lekat wajah Devian yang tepat dihadapannya. Tampan, kulit putih mulus bagai porselen. Setelah menyandarkan Alice, Devian mengangkat wajahnya membuat mata mereka saling bertemu. Cepat Alice menunduk dalam menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. Devian segera pindah dan duduk tak jauh dari ranjang Alice, menyembunyikan sedikit perasaan aneh dalam dirinya.
"Anda masih disini, Yang Mulia?" tanya Alice perlahan."Hmmm.. Aku hanya ingin memastikan dokter dan para perawat melakukan tugasnya dengan benar." Jawab Devian berbohong.
"Mereka sudah pergi, anda bisa pergi sekarang." Alice mencoba menyembunyikan kekecawaannya. Entah mengapa tapi jauh didalam hatinya dia berharap Devian mengkhawatirkannya sama seperti yang ia rasakan.
"Kau ingin aku pergi?" tanya Devian sedikit kesal, tak percaya bahwa Alice ingin dia pergi.
"Saya tidak ingin membuat pekerjaan anda tertunda."
Devian kemudian ingat pernah marah pada Alice karena mengganggu pekerjaannya."Pekerjaanku sudah selesai, tapi jika kau ingin aku pergi aku akan pergi." Devian segera beranjak dari tempat duduknya.
"Yang Mulia, apa anda terluka?" Alice menatap Devian khawatir.
Devian menghela nafas berat, dia melangkah mendekat kearah gadis itu dan duduk di tepi ranjang. Iris merahnya mengamati gadis itu seksama. "Siapa yang harusnya merasa khawatir saat ini?" gumam Devian tak percaya.
Alice menatap Devian bingung. "Apa maksud anda?"
"Lupakan saja, jangan mengingatnya lagi kau akan terluka jika mengingat semuanya." Perlahan Iris Devian menyala.
Pada saat itulah, entah mengapa Alice merasa mulai mengantuk dan perlahan dia menutup matanya. Jatuh kedalam dunia mimpi yang Indah. Perlahan cahaya pada iris Devian mulai redup dan hilang. Tangan Devian membelai lembut rambut perak gadis itu. "Meskipun aku ingin mengetahui banyak hal darimu, tapi lebih baik kau melupakannya."
Devian segera beranjak pergi dari ruangan itu. Membiarkan Alice tertidur lelap.
*****
Disebuah ruangan yang tidak begitu luas, jauh dari kesan mewah, kamar bertembok Batu abu-abu. Ruangan yang tidak begitu terang dan juga tidak begitu gelap, sebuah ranjang berukuran sedang dan lemari kayu kecil disudut ruangan, tak lupa satu set meja dan kursi terletak ditengah ruangan. Sebuah fas bunga menghiasi tengah meja tersebut. Di atas ranjang seorang gadis tengah terisak, menangis penuh kesedihan.
Tok.. Tok.. Tok..
"Nona Beryl, kau didalam." Terdengar suara seorang pria dibalik pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm in love with a monster (Tamat)
Fantasy#1 in fantasy (19012017) Alice Alberta Gilmore Glade Putri cantik yang penuh talenta dan pintar, harus menerima kenyataan kalau dia dikorbankan untuk keselamatan kerajaan, keluarga dan rakyatnya. Mengorbankan seluruh kebebasan dan kebahagiaannya unt...