Hari berganti begitu cepat. Devian tak lagi datang berkunjung ke kastil Alice dan Alice sibuk dengan kesehariannya. Tak ada hal spesial yang terjadi, hanya Alice beberapa kali berpapasan dengan Adrian dan juga dengan tunangannya Aleysia. Saat ini Alice tengah berusaha melukis diatas piring putih polos ditangannya. Beberapa hari lalu Raja Aaron datang berkunjung dan menyarankannya untuk mencari hobi baru. Meskipun melukis bukan keahliannya tapi dia berusaha untuk terus berkonsentrasi dengan lukisan diatas piringnya.
"Bagaimana Beryl? Ini piringku yang ke sepuluh." Alice mengamati piringnya sekali lagi."Saya rasa jauh lebih baik dari sebelumnya Yang Mulia." Puji Beryl dengan senyum terukir diwajahnya.
"Benarkah, aku rasa melukis pemandangan memang lebih baik." Alice tersenyum lebar merasa puas dengan hasilnya.
"Ahhh, jadi itu pemandangan?" Gumam Beryl.
Alice menatap Beryl tajam. "Kau tidak tahu kalau ini pemandangan?"
"Te.. Tentu saja saya tahu Yang Mulia." Jawab Beryl gugup. Sejujurnya gadis itu tak dapat mengenali bentuk lukisan diatas piring itu.
"Benarkah? Kalau begitu menurutmu lukisan apa ini? " Tanya Alice menunjukkan lukisannya pada Beryl.
"Hmmm.. Itu.. " Beryl mencoba berfikir keras mencari pemandangan yang mirip dengan lukisan itu. "Ahhh.. Pedesaan? Bukankah itu pedesaan karena ada warna hijau dan kuning diberbagai tempat pasti itu pedesaan." Beryl tersenyum lebar menatap Alice.
Alice langsung murung dan meletakkan piringnya. "Lupakan saja, ini tidak berhasil." Gumam Alice putus asa.
"Ya.. Yang Mulia." Beryl bergumam menyesal.
"Tidak apa-apa Beryl, bagaimana dengan undangan yang aku ceritakan waktu itu bukankah pestanya besok?"
"Benar Yang Mulia, tapi Yang Mulia Devian melarang anda untuk pergi." Beryl mencoba mengingatkan Alice.
"Aku akan pergi."
"Tapi.. "
"Bukankah kita harus menghargai undangan orang lain?"
Beryl hanya bisa terdiam mendengar niat tuannya.
****
Devian tengah meninjau pembangunan fasilitas umum di sekitar wilayah kerajaannya. Sudah beberapa hari ini dia melakukan peninjauan disetiap lokasi pembangunan jalan, jembatan, pembangunan pasar dan juga pembangunan gereja.
"Aiden, pastikan pembangunan berjalan lancar dan tepat waktu.""Baik, Yang Mulia."
"Bagaimana dengan hadiah untuk Alfred, sudah kau kirimkan?" Tanya Devian.
"Sudah Yang Mulia. Seperti rencana semua sudah berjalan lancar."
"Ayo pulang. Aku merasa akan ada masalah." gumam Devian.
****
Keesokan harinya...Malam sudah cukup larut saat suara derap langkah kaki kuda-kuda melintasi jalanan Batu yang tertata rapi. Dua ekor kuda putih besar yang tengah menarik sebuah kereta baru saja memasuki sebuah istana megah bercat putih dan merah. Terlihat kereta itu berhenti tepat di depan tangga besar yang mengarah langsung ke pintu utama istana tersebut. Beberapa pengawal berdiri berjajar rapi disepanjang tangga dengan pedang yang terselip di pinggang mereka. Saat kereta itu berhenti seorang pelayan dengan terburu-buru segera membuka pintu kereta dan mengulurkan tangannya untuk membantu sang penumpang turun.
Terlihat tangan mungil yang mengenakan sarung tangan putih mengulurkan tangannya keluar dan tak berapa lama sosok itu kini telah berdiri disamping pelayan itu. Senyum terukir jelas di wajah gadis itu. Rambut peraknya tertata rapi. Iris birunya melirik pelayan disampingnya.
"Terimakasih." Gumamnya dengan senyum yang menghias diwajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm in love with a monster (Tamat)
Fantasy#1 in fantasy (19012017) Alice Alberta Gilmore Glade Putri cantik yang penuh talenta dan pintar, harus menerima kenyataan kalau dia dikorbankan untuk keselamatan kerajaan, keluarga dan rakyatnya. Mengorbankan seluruh kebebasan dan kebahagiaannya unt...