Lekas Cip-po hwe-cu memberi tanda, bersama anak buahnya, beramai mereka mengundurkan diri turun gunung tanpa bersuara lagi. Liok Kin tetap menggandeng tangan Pui Ci-hwi, di tengah iringan anak buahnya, merekapun ikut mengundurkan diri.
"Orang she Liok," seru Ji Bun, "jangan harap kau bisa pergi begini mudah."
Segera ia menubruk maju pula, Li-tongcu dan seorang Tongcu yang lain segera mengadang sambil melontarkan pukulan telapak tangan, kali ini Ji Bun sudah waspada, sembari berkelit dari damparan pukulan lawan, ia berkisar terus balas memukul.
"Plak, plok," disusul jeritan ngeri, seketika kedua orang ini terjungkir balik dan tak bergerak lagi, jiwanya melayang.
Cip-po hwe-cu menggerung gusar menubruk ke arah Ji Bun, kedua telapak tangannya menghantam dengan seluruh kekuatannya. Sebagai seorang ketua dari suatu perkumpulan, sudah tentu Lweekangnya bukan olah-olah hebatnya. Serangan yang dilandasi kemarahan ini, boleh dikata sedahsyat gugur gunung.
Betapapun lihay Ji Bun, tak urung dia terpental juga oleh gempuran sengit ini, dengan sempoyongan akhirnya punggungnya menumbuk cagak batu darah seakan-akan bergolak di rongga dadanya.
Sementara itu, Liok Kin sudah menarik Pui Ci-hwi berlari lebih dulu diiringi anak buahnya.
"Minggir!" tiba-tiba Thian-thay-mo-ki membentak, sebelah tanganpun bekerja menghamburkan segenggam So-li-sin-ciam (jarum sakti gadis suci), maka terdengar jerit dan keluh orang banyak saling susul, puluhan anak buah Cip-po-hwe terguling menjadi korban, sebat sekali tahu-tahu Thian thay-mo-ki sudah mencegat di hadapan Liok Kin.
"Orang she Liok, lepaskan dia!"
"Tidak bisa!"
"Pihak Wi-to-hwe pasti akan mengobrak-abrik sarangmu."
Sambil memicingkan kedua matanya, Liok Kin mengawasi Thian-thay-mo-ki dengan penuh gairah, Thian-thay-mo-ki segera unjuk senyum genit se¬mekar kembang dimusim semi, katanya dengan kemayu: "Siau-hwecu, agaknya kaupun amat romantis."
Liok Kin tertawa lebar, katanya: "Nona secantik bidadari, siapa yang takkan terpesona?"
Semakin manis tawa Thian-thay-mo-ki, begitu menggiurkan dengan gerak-gerik yang menarik lagi, katanya sambil melangkah maju: "Siau-hwecu, agaknya kaupun pintar menilai dan memilih."
Tegak alis Liok Kin, katanya: "Sudah tentu, memangnya kau kira aku ini seperti anak keparat sedingin batu itu."
"Bagus sekali," ujar Thian-thay-mo-ki, tiba-tiba ia bergerak secepat kilat mencengkeram pergelangan tangan Liok Kin.
Lekas Liok Kin miringkan tubuh seraya menarik Pui Ci-hwi untuk menghadang di depannya, jengeknya dingin: "Thian-thay-mo-ki, jangan kau kira aku ini sebodoh kerbau."
Gerakan Thian-thay-mo-ki begitu cepat, baru saja Liok Kin buka mulut, jari-jari tangannya sudah menyentuh pundak Pui Ci-hwi. "Blang" tahu-tahu sekenanya Pui Ci-hwi menamparkan tangannya.
Kontan Thian-thay-mo-ki digamparnya mundur tiga langkah. Bahwa dalam keadaan linglung Pui Ci-hwi bisa menyerang, sungguh di luar dugaan Thian-thay-mo-ki, sunguh heran dan gemas pula hatinya.
Disebelah sana Ji Bun tengah melabrak Cip-po hwe-cu dengan sengit, Cip-po hwe-cu tahu bahwa serangan Ji Bun hanya bisa dilancarkan dalam jarak dekat, maka dia tetap mempertahankan jarak tertentu dengan serangan Bik-khong-ciang (pukulan dari jauh), dalam waktu dekat keduanya masih sama kuat alias setanding.
Sementara Bu-cing-so dan Siang-thian-ong tanpa berkedip mengawasi Biau-jiu Siansing, maling sakti yang menjagoi seluruh dunia dengan gerak geriknya yang luar biasa. Selama itu kedua pihak masih sama bertahan dalam kewaspadaan tanpa bicara, namun dalam hati masing-masing cukup mengetahui bila menilai kepandaian silat dan Lwekang, kedua bangkotan tua ini cukup berkelebihan untuk membunuh Biau-jiu Siansing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
General FictionWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...