05. Balasan Pengorbanan Darah

3.6K 70 4
                                    

Tergerak hati Thian-thay-mo-ki, tanyanya,

"Jadi dia masih punya harapan hidup?"

"Ya, tapi aku ..... hanya berpeluk tangan saja."

"Kenapa?"

"Hanya sesuatu saja dalam langit ini yang mampu menghidupkan nyawanya."
Bersinar biji mata Thian-thay-mo-ki, serunya gugup,

"Apakah sesuatu itu?"

"Ah, tak usah kukatakan. Benda pusaka tak bisa diperoleh secara paksa, apalagi daya hidupnya hanya bertahan sebentar lagi."

"Cobalah Cianpwe katakan benda apakah itu?" pinta Thian-thay-mo-ki.

"Sek-liong-hiat-ciang (darah naga batu), obat mujarab yang ada di dalam dongeng."

"Sek-liong-hiat-ciang ..... Sek-liong-hiat-ciang!" gumam Thian-thay-mo-ki dengan haru dan kegirangan.

Bercucuran pula air mata perempuan setengah umur, katanya tersedu-sedu. "Nona, sikapmu memberitahu kepadaku akan hubungan kalian, aku tak bisa lama di sini, kupikir kau sudi menguburnya dengan selayaknya. Tapi ingat, jangan kau sentuh badan bagian kiri, sekarang aku hendak pergi."

Pelan-pelan dia berdiri lalu berdoa,

"Nak, maafkan aku.... aku .....," kata-kata selanjutnya tertelan oleh sedu sedannya. Sekali berkelebat, tahu-tahu bayangannya sudah menghilang.

"Cianpwe, tunggu dulu!" teriak Thian-thay-mo-ki. Tapi dia tidak memperoleh jawaban, perempuan setengah umur pergi dan datang secara mendadak. Terpaksa Thian-thay-mo-ki duduk di samping mayat Te-gak Suseng, lama dia terlonggong, akhirnya dia berkertak gigi dan ambil keputusan.

"Baik akan kucoba." gumamnya.

Dia singkap lengan bajunya, dengan kuku jarinya yang panjang runcing dia gores lengannya yang putih halus, darah segar segera mengucur keluar. Cepat tangannya yang lain menyanggah dagu Te-gak Suseng sehingga mulutnya terpentang, cucuran darahnya segera di teteskan ke mulutnya. Setengah jam kemudian, Te-gak Suseng sudah menelan puluhan teguk darahnya. Thian-thay-mo-ki menarik napas panjang, ia menghentikan tetesan darahnya terus bersimpuh istirahat.

Setelah istirahat sekian lama, dilihatnya tubuh Te-gak Suseng tetap kejang dingin tidak menunjuk sesuatu perubahan. Apa boleh buat dia menghela napas putus asa, gumamnya: "Agaknya memang sudah takdir."

Tapi pada saat itulah, tiba-tiba dilihatnya badan Te-gak Suseng mulai bergerak. Dia sangka pandangnya kabur, setelah kucek mata dia pandang lagi lebih jelas terlihat dada orang bernapas turun naik dengan teratur. Sungguh bukan kepalang girangnya. Segera ia hendak meraba dada orang, namun teringat akan peringatan perempuan tadi, lekas-lekas dia tarik tangannya pula, lalu meraba hidungnya, betul-betul terasa hembusan hangat dari lubang hidung.

"Dia hidup kembali Sek-liong-hiat-ciang betul-betul bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Kenapa sebelum ini tidak teringat olehku. Untung perempuan itu menyinggungnya, kalau tidak, kematiannya tentu amat 'penasaran," begitulah dia menggumam sendiri dengan suara gemetar. Wajahnya nan ayu bak bunga mekar menampilkan perasaan yang aneh, sudah tentu Te-gak Suseng yang belum siuman itu tidak tahu.

Sebetulnya Thian-thay-mo-ki bisa salurkan hawa murninya membantu orang siuman lebih cepat, tapi teringat pada peringatan perempuan itu, terpaksa dia menahan sabar menunggu reaksi selanjutnya.

Kenapa dia dilarang menyentuh badan bagian kiri, dan di mana letak rahasia Te-gak Suseng yang membunuh orang tanpa meninggalkan bekas luka-luka, tetap akan menjadi teka-teki bagi dirinya. Sang waktu berjalan lambat di dalam penantian yang menggelisahkan.

Bintang-bintang sudah buram, hawa dingin semakin menusuk tulang, hari sudah mendekat fajar. Tiba-tiba Te-gak Suseng membuka kedua mata, remang-remang dilihatnya seseorang bersimpuh di sampingnya. Alam pikirannya masih kabur, lama sekali dia masih dalam keadaan setengah sadar. Akhirnya menjadi jelas juga penglihatannya, dengan sendirinya ingatannya lambat launpun menjadi jernih.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang