10. Tamu Agung Wi-to-whe

2.9K 70 0
                                    

"Boleh saja bila kau suka. Sebaiknya kau tahu diri."

"Ha ha ha, nenek galak, selama hidup memang Lohu adalah orang yang tidak tahu diri," lalu Siang-thian-ong berpaling kepada Ji Bun dan menambahkan: "Anak muda, tiada urusanmu lagi disini, silakan pergi!"

Ji Bun tidak peduli pertengkaran mereka, mumpung ada kesempatan segera ia meninggalkan tempat ini.

"Jangan pergi," seru perempuan berkerudung, namun bersamaan waktunya Siang-thian-ong juga bergerak, sebat sekali Ji Bun berkisar dan berbalik badan, badanpun melejit tinggi meluncur ke sana, terdengar suara menggelegar di belakangnya, agaknya kedua bangkotan tua itu sudah saling hantam.

Hadirin yang berjejal di bawah panggung sudah bubar, keadaan panggung kini sudah kosong melompong dan sunyi ditingkah sinar surya dan terang benderang. Segera Ji Bun beranjak menuju ke arah bangunan gedung besar dan megah itu.

Seorang laki-laki baju hitam segera menyambut kedatangannya, sapanya sambil merangkap tangan: "Apakah tuan ini Te-gak Suseng?"

Ji Bun mengangguk.

"Silakan ikut Cayhe," kata orang itu.

Di bawah peturjuk laki-laki ini Ji Bun lantas memasuki gedung besar itu. Setelah melewati lorong pintu yang panjang, mereka tiba di sebuah pekarangan luas, tampak meja perjamuan sudah tersebar ratusan banyaknya, suara gelak-tawa bercampur percakapan yang ramai. Tidak kelihatan tamu perempuan hadir dalam perjamuan ini, agaknya mereka dijamu di tempat lain.

Dengan tajam Ji Bun sapukan pandangnya ke seluruh gelanggang, ia ingin menemukan bayangan Siangkoan Hong di antara hadirin. Namun ia kecewa, walau sudah menjelajah segala pelosok pekarangan luas tempat perjamuan, ia tetap tak menemukan jejak Siangkoan Hong.

Akhirnya Ji Bun menyusur ke serambi panjang dipinggir ruang pendopo, diam-diam Ji Bun merasa heran, ke mana dirinya hendak dibawa? Pada serambi luar ini berderet lima meja perjamuan, jelas sekali kelima meja perjamuan adalah diperuntukkan para tokoh-tokoh tingkat tinggi. Tengah ia kebingungan, dilihatnya laki-laki baju hitam yang menunjuk jalan tadi membungkuk badan ke arah meja tengah, serunya:

"Tamu sudah tiba!" lalu dia mundur dan berdiri di samping.

Bayangan seorang duduk, di tengah-tengah meja perjamuan itu kelihatan bangkit dan mengulur tangan, serunya: "Sahabat muda, silakan duduk!"

Orang yang berbangkit dari tempat duduk dan ymnyilakan dirinya duduk ini terang adalah Wi-to-hwe Hwecu. Ji Bun menjadi kaget dan kebingungan, mimpipun ia tidak habis mengerti bagaimana mungkin dirinya dipandang sebagai tamu kehormatan? Namun kenyataan tidak memberi kesempatan untuk ragu-ragu, cepat ia membungkuk dan menyahut: "Aku yang rendah tak berani menerima kehormatan setinggi ini."

"Ah, rendah hati, silakan, silakan duduk!"

Seluruh hadirin yang sudah duduk mengelilingi meja perjamuan serempak berbangkit juga, sorot mata mereka tertuju ke arah Ji Bun. Sorot mata mereka sama-sama mengunjuk tanda tanya, kenapa Te-gak Suseng bisa mendapat kehormatan setinggi ini?

Apa sebetulnya hubungan kedua pihak? Sudah tentu Ji Bun sendiripun tidak mengerti. Setelah basa basi ala kadarnya, terpaksa dia menduduki kursi kosong di sebelah kiri.

Di antara orang yang duduk semeja dia hanya kenal Bu-cing-so seorang, yang lain masih asing dan tidak dikenalnya. Air muka Wi-to-hwecu kelihatan kereng berwibawa, namun kaku dan dingin, sepintas pandang membuat perasaan orang terasa risi.

Bubur sarang burung yang panas mengepul dan bau sedap segera disuguhkan. Cukup sekali tarik napas saja sudah terasakan sesuatu oleh Ji Bun. Seketika ia mengerut kening, hampir saja ia berteriak kaget, hidungnya yang sudah terlatih baik merasakan adanya sesuatu yang tidak beres pada hidangan bubur sarang burung ini. Hidangan ini tercampur racun, malah racun jahat yang tidak berbau tidak berwarna, namun bekerja lambat, siapapun sulit mengetahuinya.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang