Merah muka Siangkoan Hong, matanya beringas, bentaknya kereng: "Ji Bun aku ada cara lain untuk paksa kau buka mulut."
Dia memberi tanda kepada pengawal pribadinya, lalu katanya: "Tabas dulu tangan kirinya, lalu gusur dia pulang ke markas."
Dua orang bersenjata pedang segera mengiakan dan melompat maju, satu di antaranya angkat pedang terus menabas ke lengan kiri Ji Bun. Mendadak Ji Bun meronta seraya menggembor keras, entah darimana datangnya tenaga, sekali menggelinding, dia luputkan diri dari tabasan pedang, pada saat badannya menggelinding itu, tangan kirinya berhasil menutuk lutut penyerangnya.
Kontan si penyerang itu melolong panjang, badan terbanting dan mampus seketika.
"Berani kau," bentakan ini sedetik terlambat dari jerit lolong tadi, namun Ji Bun juga menguak sekali, badannya terlempar dua tombak oleh pukulan Wi-to-hwecu, ia jatuh di antara semak-semak berduri, darah terus menyembur dari mulut, pikirannya butek. Sudah beberapa kali dia pernah merasakan kematian seperti ini.
"Yah, lepaskan dia saja," seru Siangkoan Hwi tidak tega.
"Apa katamu?" bentak Siangkoan Hong.
"Anak mohon supaya ayah suka membebaskan dia."
"Budak binal, jangan kau terlalu membawa keinginanmu sendiri."
"Selanjutnya anak tidak akan minta apa-apa lagi," demikian ujar Siangkoan Hwi tegas. Daya pendengaran Ji Bun belum lenyap, segera timbul suatu perasaan yang sukar dilukiskan dalam benaknya.
"Tidak mungkin!" Wi-to-hwecu berkata kereng.
Pucat wajah Siangkoan Hwi, air mata bercucuran, kepala tertunduk dan sesenggukan.
Perempuan rupawan tadi melirik penuh kasih sayang, katanya kepada Wi-to-hwecu: "Turutilah keinginannya."
"Segala menuruti keinginannya," bentak Wi-to-hwecu, "kalau dia tidak begini binal, mungkinkah terjadi peristiwa keparat she-Liok itu ........" sampai di sini dia berhenti.
Siangkoan Hwi menjerit sedih sambil putar tubuh dan berlari pergi. Tapi perempuan rupawan lantas menghadang dan memeluknya, serunya kereng: "Markas Cip-po-hwe sudah kuhancur-leburkan, itu kan sudah cukup."
Agaknya Wi-to-hwecu juga merasakan kekasaran sikapnya tadi, air mukanya tenang kembali, sorot mata yang mengandung permintaan maaf tertuju kepada perempuan rupawan, ujarnya: "Ji Ing-hong selicin belut dan selicik srigala, untuk menemukan jejaknya, betapapun anaknya ini tidak boleh dilepaskan dia."
"Tujuanmu hanya menemukan Ji Ing-hong, ku kira tiada halangan kau lepaskan."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Akan kupunahkan ilmunya, lepaskan dia pergi, akhirnya toh dia akan pergi mencari ayahnya ......"
"O," seru Wi-to-hwecu paham, katanya: "Memang Hujin lebih cerdik pandai."
Walau dalam keadaan sekarat, namun percakapan orang masih terdengar oleh Ji Bun, diam-diam ia membatin "Aku hendak dijadikan umpan untuk memancing dan mencari jejak ayah, bukankah maksud mereka hanya impian belaka, apalagi mati hidup ayah masih teka-teki ......."
"Baiklah, kita putuskan begitu saja, Hujin," kata Wi-to-hwecu kemudian.
Dari kejauhan perempuan rupawan angkat jarinya terus menjentik beberapa kali, terasa oleh Ji Bun angin tajam sekuat pukulan godam mengenai badannya merembes seluruh badan. Hawa murni dalam badannya seketika buyar, badan lunglai tidak bertenaga lagi. Tapi pikiran Ji Bun menjadi jernih malah.
"Mundur semua!" sekali aba-aba, beruntun terdengar kesiur angin orang banyak berlompatan pergi, dalam sekejap suasana kembali sunyi.
Ji Bun meriggerakkan badannya, terasa sekujur badan linu dan sakit bukan main, tulang-tulang seperti copot dari ruasnya, sungguh bukan kepalang siksa yang dialami kali ini. Dia mendongak mengawasi bintang-bintang di langit, dalam sekejap ini dia merasakan lebih sedih daripada mati, Lwekang lenyap kepandaian punah. Hidup lebih sengsara daripada mati, segala cita-cita yang diharapkan selama ini bakal menjadi impian kosong belaka, hanya kebencian saja yang tetap menjalari sanubarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Fiction généraleWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...