Malam larut, di dalam sebuah hotel sinar lampu masih kelihatan menyorot keluar dari salah sebuah kamar. Seorang pemuda berlengan satu duduk bertopang dagu di depan jendela, kadang-kadang ia mengertak gigi dengan mata mendelik, sering pula menghela napas panjang, wajahnya kuyu dan lesu. Pemuda ini adalah Te-gak Suseng Ji Bun.
Selama beberapa hari lupa makan lalai tidur, setiap detik setiap saat pikirannya tenggelam pada masa lalu, duka lara telah menyiksa dirinya hingga patah semangat dan kurus. Memang kekuatan manusia ada batasnya, pukulan batin jauh lebih parah dari pada siksaan badaniah.
Saking lelah tanpa terasa Ji Bun akhirnya jatuh pulas mendekap di atas meja, tidurnya begitu lelap sampai ketajaman indranya seakan-akan berhenti bekerja sama sekali.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang tinggi besar seperti setan muncul di belakangnya, di bawah pancaran sinar lampu jelas kelihatan orang ini mengenakan jubah sutera, kain kembang menutupi selebar mukanya, rambut tertampak sudah ubanan. Napas Ji Bun berat dan teratur, tidurnya amat lelap, sedikitpun dia tidak menyadari seseorang telah berada di belakangnya.
Tangan orang berjubah sutera pelahan terangkat, sasarannya tepat di punggung Ji Bun, agaknya seperti meragukan sesuatu, sekian lamanya tangannya berhenti di tengah udara. Cukup lama juga tangan orang berkedok ini sudah naik turun sepuluh kali, namun Ji Bun sedikitpun tidak mengetahui. Akhirnya orang berkedok seperti berkeputusan tegas, dengan menggeram lirih tangannya menggablok dengan keras.
Tanpa mengeluarkan suara Ji Bun tersungkur jatuh bersama kursi, darah kontan menyembur ke luar dari mulutnya. Namun ia tidak mati seketika. Waktu ia membuka mata, sekujur badannya tiba-tiba mengejang keras. Biji matanya hampir melotot keluar, ia mengerahkan sisa tenaganya dan berteriak dengan suara serak: "Ayah engkau kenapa .......... kenapa hendak membunuhku?"
Orang berkedok tidak menjawab, namun badannya tampak bergetar, tangannya terayun pula. Teringat oleh Ji Bun akan cerita Thian-thay-mo-ki, baru sekarang ia menyadari bahwa orang berkedok inilah yang pernah memukul mati dirinya, mungkinkah orang ini ayahnya walau perawakan dan dandanannya mirip sekali. Kembali ia membentak seram: "Siapa kau?"
Orang berkedok tetap tidak bersuara. Sekuat tenaga Ji Bun berguling ke samping, asal maju beberapa kaki dan dapat menyentuh badan orang, ia yakin mampu, menewaskan pembunuh gelap ini. Namun perhitungannya sia-sia, baru dia bergerak, telapak tangan orang sudah menjotos pula. "Waaah!" jeritan panjang yang seram ini memecahkan kesunyian pagi, darah meleleh dari mulutnya, setelah berkelojotan beberapa kali, Ji Bun rebah tidak bergerak lagi.
Orang berkedok melangkah maju meraba pernapasannya, memegang urat nadinya, setelah jelas sudah mati, seperti datangnya tadi tiba-tiba bayangannya lenyap dalam sekejap.
Jeritan Ji Bun tadi mengejutkan para tetamu di kamar lain, beramai-ramai mereka berlari keluar, malah seorang di kamar sebelah berteriak ketakutan: "Pembunuhan, ada pembunuhan!" Suasana menjadi kacau. Pemilik hotel segera datang dan memeriksa keadaan, tapi segera ia menutup kamar itu dan lapor kepada yang berwajib.
Entah berapa lama, akhirnya Ji Bun siuman dan mendapatkan dirinya diserang roboh oleh seorang berkedok. Lekas ia bangun berduduk, badannya tidak merasa sakit. Sungguh aneh dan luar biasa, jelas masih teringat olehnya, pukulan pertama pembunuh gelap itu membuatnya muntah darah dan tak mampu bangun lagi.
Pukulan kedua membuatnya lupa ingatan, ia tahu pukulan kedua orang cukup berlebihan untuk menamatkan riwayatnya. Orang berkedok sengaja hendak membunuh dirinya, tak mungkin ia menaruh belas kasihan, dirinyapun tak pernah minum sesuatu dan tidak diobati, namun kini badannya tetap segar bugar, sungguh kejadian yang tak habis dimengerti.
Mungkinkah si dia? Tiba-tiba teringat pada Thian-thay-mo-ki. Cerita Thian-thay-mo-ki tentang peristiwa yang dialami tempo hari sukar dipercaya, namun kini dialaminya sendiri. Ini terbukti bahwa cerita yang didengar itu bukan bohong belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Ficción GeneralWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...