"Hamba siap di sini!" jawab Ko Ling-jin.
"Penjagaan dan mempertahankan markas besar kuserahkan kepadamu untuk memimpinnya."
"Hamba terima perintah," setelah memberi hormat Ko Ling-jin segera mengundurkan diri pula.
Pikiran Ji Bun bekerja cepat, ia menduga kedua Hou-hoat yang dimaksud mungkin adalah Bu-cing-so dan Siang-thian-ong, kedua bangkotan tua itu, kalau betul, kekuatan Ngo-lui-kiong sungguh amat mengejutkan, kesempatan ini cukup baik bagi dirinya untuk menuntut balas kepada musuh-musuh besar ini?
Dalam hati dia sudah tahu kenapa pihak Ngo-lui-kiong meluruk kemari menuntut balas, tentu karena anak buahnya yang dipimpin Ngo-lui-kiongcu In Giok-yan terbasmi oleh laki-laki muka hitam yang menyamar sebagai Komandan ronda Wi-to-hwe di kelenteng itu.
Dalam pada itu, sikap Wi-to-hwecu tetap tenang saja, katanya: "Saudara muda, sukalah duduk lagi sebentar, biar aku keluar sejenak untuk membereskan persoalan ini."
Lekas Ji Bun berdiri, sahutnya: "Cayhe ingin ikut Hwecu untuk menghadapi musuh yang menyerbu itu."
"Kalau demikian, marilah kita keluar bersama!" Sekeluar ruang pendopo, mereka sudah ditunggu dua orang tua dan enam laki-laki berpakaian ketat yang siap dengan senjata lengkap berjajar di luar pintu, mungkin mereka inilah pimpinan kelompok bendera merah putih beserta para hulubalangnya. Di sana bayangan orang banyak juga bergerak, agaknya mereka mulai siap siaga suasana menjadi tegang.
Sambil mengulap tangan Wi-to-hwecu segera pimpin anak buahnya berlari keluar, Ji Bun mengiringinya, dibelakangnya kedua Hiangcu dari kelompok bendera merah putih. Setelah melewati lapangan luas dan mengitari lembah, sayup-sayup sudah terdengar suara pertempuran yang riuh rendah.
Lekas sekali mereka sudah berada di mulut gunung yang bertanah lapang, tertampak di tengah tanah lapang dua orang tua ubanan bertubuh tinggi dan cebo! sedang bertempur sengit melawan dua orang berbaju putih, begitu hebat jalannya pertempuran ini sampai orang-orang yang menonton mundur cukup jauh dari arena, puluhan orang berdiri sejajar disebelah sana, di depan barisan orang-orang berbaju putih ini berdiri seorang laki-laki tinggi berbaju putih, tentunya dia inilah Ketua Ngo-liu-kiong, Tin-kui-thian In Ci-san. Beberapa mayat sudah menggeletak di sana sini, yang terluka parah merintih-rintih mengenaskan.
Wi-to-hwecu bersama Ji Bun dan lain-lain langsung memasuki gelanggang.
Dalam Bu-lim masa ini, tokoh-tokoh kosen yang kira-kira setanding dengan Bu-cing-so dan Siang-thian-ong dapat dihitung dengan jari, namun kedua orang berbaju putih anak buah Ngo-lui-kong ini termasuk jago yang berkepandaian paling tinggi, mereka kuat bertahan menghadapi kedua bangkotan tua ini, maka betapa tinggi kepandaian Ngo-liu-kiong-cu In Ci-san, sungguh sukar dibayangkan.
Bu-cing-so memiliki ilmu Thian-cin-ci-sut, kenapa ilmu sakti ini tidak dia gunakan? Demikian pula ilmu pukulan Siang-thian-ong juga merupakan kepandaian yang tiada taranya, namun dia juga tak dapat mengalahkan lawannya.
"Berhenti!" begitu tiba Wi-to-hwecu segera berseru dengan suara menggeledek, empat orang sedang bertempur segera melompat mundur, tertampak oleh Ji Bun, kedua anak buah Ngo-lui-kiong itu kira-kira berusia empat puluhan, muka tidak merah, napas tidak memburu, sebaliknya Bu-cing-so dan Siang-thian-ong sama mengunjuk rasa lelah, setelah mundur mereka diam saja sambil menunduk lesu.
Wi-to-hwecu berkata dengan nada berat: "Harap kalian mundur dan istirahat, biar kubereskan mereka."
Tegak alis Bu-cing-so, katanya uring-uringan: "Mereka bisa main racun, syukur Lohu berdua mampu bertahan, kalau tidak akibatnya sukar dibayangkan."
Tergerak hati Ji Bun. Wi-to-hwecu manggut-manggut, katanya lantang: "Silakan In-ciangbun maju bicara."
Laki-laki tinggi besar berjubah putih beranjak ke depan menghadapi Wi-to-hwecu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Художественная прозаWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...