Biau-jiu Siansing keluarkan dua butir macam bundar sebesar kelengkeng, katanya: "Yang berwarna kelabu adalah obat untuk merias muka, gunakan air dan poleskan dimuka leher dan kaki tangan yang terlihat dari luar, kulit badanmu akan berubah. Sedang yang berwarna putih ini untuk pemunahnya atau untuk memulihkan bentukmu semula. Kulitmu yang sudah berubah warna, kecuali dipunahkan dengan obat aslinya, selamanya tidak akan luntur. Dan satu hal lagi harus kau perhatikan, setelah kulit wajahmu berubah, suaramu juga harus kau ganti supaya tidak konangan, dengan dasar latihan Lwekangmu, kukira bukan soal sulit untuk mengubah suaramu."
"Soal kecil ini pasti dapat kulakukan," sahut Ji Bun.
"Demikian pula dandananmu selanjutnya harus diganti, Lohu kebetulan membawa bekal pakaian, nah ambillah," Biau-jiu Siansing membuka peti obatnya, di lapisan paling bawah dia keluarkan seperangkat pakaian dan diberikan pada Ji Bun.
Itulah satu stel baju dan celana katun warna biru, warnanya sudah luntur dan agak kumal. Bajunya malah sudah tambalan. Dalam hati Ji Bun membatin, dengan berdandan seperti ini entah berubah jadi apa bentuk dirinya ini ......"
Biau-jiu Siansing panggul peti obatnya, dengan menenteng dan membunyikan kelintingan dia beranjak pergi.
Setelah ganti pakaian, Ji Bun memendam pakaiannya yang berlepotan darah, lalu pergi ke sungai di pinggir hutan untuk membersihkan badan. Obat rias bungkusan kelabu dia keluarkan lalu dicampur air sungai dan dipoleskan ke muka dan seluruh badan, kedua lengannya kini berubah coklat legam.
Habis merias diri dia berkaca pada air sungai yang jernih. Seketika dia tertawa geli sendiri. Pelajar yang semula ganteng kini berubah jadi orang desa yang bermuka coklat legam, jangan kata orang lain, dia sendiripun tak kenal lagi pada wajahnya.
Kini ke mana dia harus pergi? Ia melamun. Dendam kebencian berkobar pula dalam hatinya. Biau-jiu Siansing menyuruhnya pergi ke Kay-hong merembuk dengan Ciang Wi-bin, sakit hati keluarga mana boleh menyangkut jiwa orang lain. Apalagi musuh sehebat Thong-sian Hwesio, memang Ciang Wi-bin mampu menandinginya.
Memandang jauh ke puncak Tong-pek-san di sebelah utara sana, darahnya yang bergolak serasa mendidih. Namun dia belum kuasa menuntut keadilan kepada orang-orang yang katanya menjunjung keadilan. Betapa derita dan tersiksa lahir batinnya sungguh sukar dibayangkan.
Dengan hambar tanpa tujuan akhirnya dia keluar dari hutan menempuh perjalanan.
Kini tugas dan kewajibannya bertambah besar, dengan munculnya nyonya muda berbaju merah di markas Wi-to-hwe. Dengan mudah orang merampas Ngo-lui-cu dari tangannya, jelas Lwekangnya lebih tinggi dari Thong-sian Hwesio. Serta merta dia bergidik. Sungguh dia tidak habis pikir, kenapa tokoh-tokoh silat kosen di jagat ini seolah-olah berkumpul di dalam Wi-to-hwe?
Tengah ia berjalan, tiba-tiba dari sebelah atas sana terdengar bentakan: "Berhenti!"
Ji Bun berhenti dan memandang ke sana, tampak tujuh orang berseragam hijau berjajar di sana, seorang pemimpinnya memegang sebuah panji kecil segi tiga dengan huruf "ronda" ditengah, agaknya mereka ini rombongan peronda dari Wi-to-hwe. Nafsu membunuh seketika bersemi dalam hati Ji Bun.
Sikap pemimpin ronda ini ternyata cukup ramah, setelah mengawasi Ji Bun sekian lama baru menegur: "Orang mana kau?"
Untuk menghabisi nyawa ketujuh orang bagi Ji Bun segampang membalik tangan. Namun setelah dipikir, sementara dia tekan nafsunya. Terhadap kaum keroco tiada gunanya mengumbar nafsu. Maka dengan suara serak dia berkata: "Hamba orang berdekatan sini."
"Dimana tempat tinggalmu?"
"Ngo-li-kip di luar kota Cinyang."
"Untuk apa kau datang kemari?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Ficção GeralWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...