Masuk dari pintu barat tanpa sadar dia langsung menuju ke rumah ayahnya. Dia pikir kalau pak jenggot sudah mau dibeli oleh musuh dan menjadi kaki tangannya, pasti ada orang lain pula yang menghuni rumah besar itu, mungkin ada jejak lain yang bisa ditemukan di sana. Seumpama secara tidak terduga diperoleh sumber, tentu tidak usah banyak membuang tenaga dan memeras pikiran lagi. Hanya jejak dan keselamatan ibunya yang masih mengganjel hatinya.
Dia melompat ke wuwungan rumah dari arah samping, kembali dia menyelundup kedalam taman, setiba ruang depan, dilihatnya mayat pak jenggot masih menggeletak di tempat semula. Sesaat dia berdiri melongo, apa betul dalam rumah sebesar ini hanya dihuni pak jenggot seorang? Jadi pak jenggot memang sudah lama mendapat perintah untuk menjebak dirinya.
Pak jenggot adalah warga Jit-sing-po yang tertua, bahwa dia mau menjadi kaki tangan dan mencelakai jiwa tuan mudanya, sungguh suatu hal yang luar biasa?
Dengan seksama Ji Bun periksa seluruh isi rumah ini, namun tiada sesuatu yang didapatkan. Walau ia amat dendam dan benci kepada pak jenggot yang khianat ini, namun sebagai manusia berhati luhur, Ji Bun menggotongnya keluar dan dikebumikan di taman, di sinilah letak kebajikan Ji Bun.
Selesai mengubur mayat pak jenggot, haripun sudah mendekati magrib, ia pikir harus segera pergi. Tapi baru saja timbul niatnya, kesiur angin dari lambaian pakaian orang terdengar oleh kupingnya yang tajam. Tergerak hati Ji Bun, cepat dia menyelinap ke balik rumpun bunga.
Beberapa orang tampak melompat turun dari atap rumah, yang terdepan adalah Bu-cing-so diiringi delapan laki-laki berseragam hitam, segera Bu-cing-so angkat tangan memberi perintah: "Dua orang satu kelompok, geledah dengan teliti, begitu menemukan apa-apa, segera memberi tanda peringatan."
Serempak kedelapan orang mengiakan terus memencarkan diri. Pelan-pelan Bu-cing-so pandang ke seluruh penjuru, mulutnya mengguman sendiri: "Pernah ada orang bergebrak disini."
Ji Bun keheranan, apa tujuan Wi-to-hwe mengutus orang-orangnya kemari? Dendam kembali membakar dadanya. "Berantas satu persatu" itulah semboyan dalam rangka menuntut balas. Sekarang dia yakin dengan bekal Lwekangnya, pasti cukup untuk menghadapi Bu-cing-so bersama delapan anak buahnya. Begitu nafsunya timbul segera dia berkelebat keluar.
Bu-cing-so kaget, tanpa sadar dia mundur selangkah, bentaknya: "Siapa kau?"
Tujuan Ji Bun merenggut jiwa orang, dia kira tidak perlu banyak mulut lagi. Secepat kilat tangan kanannya membelah ke depan sementara tangan kiri ikut memotong miring melintang.
Tak pernah diduga Bu-cing-so bahwa laki-laki muka hitam ini mendadak muncul lantas menyerang dirinya, malah serangannya bukan olah-olah hebatnya. Secara refleks dia melompat ke belakang, begitu kaki menginjak tanah, kedua tangan segera di dorong kedepan.
"Blang", begitu pukulan saling bentur, Bu-cing-so tergetar selangkah, tak pernah terbayang olehnya bahwa lawannya memiliki Lwekang setinggi ini, maka tadi ia hanya mengerahkan enam bagian tenaganya.
Gerakan tangan kanan Ji Bun hanya tipuan belaka, sebaliknya tangan kiri mengerahkan seluruh kekuatannya, karena Bu-cing-so tergetar mundur jaraknya agak jauh, sukar untuk melancarkan ilmu beracun, namun demikian Bu-cing-so berhasil dipukul mundur ini menandakan bahwa Lwekangnya lebih tinggi dari lawan.
Mimpi juga Bu-cing-so tidak pernah menduga dalam segebrak meja dirinya sudah kecundang, bentaknya: "Sebutkan namamu."
Ji Bun tak pedulikan, tenaga dikerahkan, kedua tangan terus menggempur lagi, damparan angin seketika menerjang ke depan. Kali ini Bu-cing-so sudah kapok dan tak berani memandang rendah musuh, iapun kerahkan seluruh kekuatannya menangkis. "Plak", hawa bergolak bumi terasa bergoyang. Gerakan Ji Bun hanya teralang sekejap, sebaliknya Bu-cing-so terdorong mundur tiga empat langkah. Ji Bun tidak beri kesempatan lawan bernafas, kembali telapak tangannya tegak menabas dengan gerak mendorong lurus ke depan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Ficción GeneralWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...