Usia Thong-sian sudah lebih setengah abad, namun dipanggil "Hwesio cilik" sungguh lucu dan menggelikan, namun dia tetap tenang dan berkata serius: "Sicu boleh turun tangan, kalau aku tidak kuat melawan, anggaplah Pinceng yang bernasib jelek."
"Selama hidupku belum pernah kuhadapi kurcaci seangkuh kau, memangnya kau sudah bosan."
"Bukan bosan hidup, tapi aku yakin dapat melawan ilmu jarimu," demikian tantang Thong-sian malah.
"Sambut jariku!" hardik Sam-cai Lolo, tiga larik sinar kemilau laksana kilat sama menyambar ke arah Thong-sian Hwesio. Thong sian berdiri tenang sekokoh gunung, bukan saja tidak melawan juga tidak berkelit.
Terbelalak pandangan Wi-to-hwecu, berubah pula air muka Thian-thay-mo-ki, belum pernah dia melihat gurunya gusar dan menggunakan kepandaian mujijatnya ini.
"Cres, cres, cres", desis suara yang berubah menjadi letupan keras beruntun tiga kali. Begitu sinar kemilau putih mengenai jubah Hwesio seperti menumbuk dinding baja saja, seketika pecah berderai keempat penjuru. Thong-sian Hwesio hanya tergetar mundur setengah tindak.
"Sian-thian-cin-khi," seru Sam-cai Lolo terkejut.
Thong-sian menarik ilmu saktinya, katanya tawar: "Sicu memang berpengalaman luas, memang tidak malu sebagai tokoh terkemuka Bu-lim."
Pujian atau cemoohan, orang lain tidak merasakan perbedaannya, namun bagi pendengaran Sam-cai Lolo sungguh tidak karuan rasanya. Sejak seabad yang lalu dia sudah terkenal. Sam-cai-sinkang selamanya belum pernah menemukan tandingan, di mana Sam-cai-ciat muncul, golongan hitam putih sama lari menyingkir. Sungguh tak nyana setelah puluhan tahun mengasingkan diri, hari ini sudah kecundang habis-habisan. Karuan gemetar sekujur badannya saking gusar dan malu, teriaknya melengking: "Budak, hayo pergi."
Thian-thay-mo-ki melirik ke arah jenazah Ji Bun, katanya pilu: "Suhu ......."
"Mau pergi tidak?" bentak Sam-cai Lolo.
"Locianpwe tidak mempersoalkan sebab musabab kematiannya tanya Wi-to-hwecu dengan suara ramah.
Tanpa bicara dan tidak melirik, tahu-tahu Sam-cai Lolo berkelebat menghilang.
Thian-thay-mo-ki sudah angkat langkah menyusul ke sana. Tapi pada saat itulah, tiba-tiba Biau-jiu Siansing berteriak dengan suara aneh: "Lihat ..... dia ..... dia tidak mati."
Thian-thay-mo-ki segera putar balik, teriaknya penuh emosi: "Dia tidak bisa mati, kenapa tidak terpikir sejak tadi olehku."
Wi-to-hwecu dan lain-lain sama melenggong bingung, memang badan Ji Bun kelihatan bergerak-gerak seperti mengejang dadanya pun turun naik. Seseorang yang sudah mati dan dikubur masih bisa hidup kembali, sungguh kejadian yang aneh sekali.
Mungkin karena terlalu senang, kaki Thian-thay-mo-ki sampai lemas dan mendeprok di tanah.
Di antara tatapan semua orang yang serba aneh, kaget dan tidak percaya, pelan-pelan tapi pasti daya hidup Ji Bun pulih kembali. Sepeminuman teh kemudian, semua orang menanti dan menyaksikan dengan sabar, terdengar tenggorokannya berbunyi, dia kini betul-betul sudah hidup kembali setelah mati.
"Terima kasih kepada Thian Yang Maha Kuasa, ini berarti jiwa seorang yang lain telah engkau selamatkan juga," demikian ujar Biau-jiu Siansing seorang diri.
Siapakah jiwa seorang yang lain? Kata-katanya ini tidak menimbulkan reaksi apa-apa, karena perhatian semua orang tertuju kepada kejadian di depan mata yang aneh dan jarang terjadi ini.
Kejadian mayat hidup sering terdengar dan diceritakan oleh orang-orang yang suka mendongeng, mayat hidup umumnya kaku, namun mayat yang mereka lihat sekarang ini adalah lemas dapat bergerak bebas seperti manusia biasa, bau mayat tidak tercium. Malah suara deru napasnya terdengar dengan jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Fiksi UmumWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...