49. Pembantaian di Lembah Ciang-liong-kok

2.1K 43 1
                                    

"Hiaaat!!" di tengah lolong panjang dari mulut Kho Tay-seng, pedang di tangannya berkelebat bagai kilat menyambar Ji Bun.

Ji Bun mendengus pendek, Tok-jiu-it-sek bergerak dengan kecepatan yang sama tingginya menembus lingkaran cahaya pedang lawan. Keruan bukan kepalang kaget dan takut Kho Tay-seng, lekas dia tarik pedang seraya melejit mundur sambil memberi aba-aba: "Maju semua!"

Pertama-tama ketua hukum Ang Jit bersama empat anak buahnya ahli pedang merangsak bersama. Nafsu Ji Bun sudah tak terbendung lagi, telapak kanan tegak membelah miring ke arah Ang Jit yang menyerang tiba itu, sementara telapak tangan kiri menggaris ke arah keempat orang bersenjata pedang. Walau gerakan tangan kiri dan kanan saling susul, namun kecepatan geraknya sungguh seperti dilancarkan bersamaan.

Ang Jit menggeram rendah, keempat ahli pedang menguik seram, darah menyembur dari mulut Ang Jit yang terpukul terbang ke tengah udara dan terbanting, keempat ahli pedang itu lebih celaka. Belum lagi pedang mereka dilancarkan, satu persatu sudah roboh terkapar tak bernyawa lagi. Keruan semua anak buah Ngo-hong-kau yang hadir sama takut luar biasa, mereka mendelik dengan mulut melongo.

Ji Bun tidak berhenti begitu saja, tiba-tiba kakinya menggeser miring, tubuh berkelebat ke samping pula, tahu-tahu telapak tangan kanan sudah bekerja. "Huaaak", Ang Jit yang baru bangun kena sekali pukulan pula, badannya kembali mencelat dan terbanting dengan keras, jelas jiwanya takkan tertolong pula.

Kho Tay-seng menjerit kalap, seperti banteng ketaton dengan nekat dia ayun pedang, jaraknya delapan kaki, namun ayunan pedangnya menerbitkan sinar pedang yang memanjang sejauh tujuh kaki. Jarak ini cukup tiba untuk menggal kepala Ji Bun, betapa bebat lihay permainan ilmu pedangnya, sungguh aneh, keji dan ganas sekali. Memangnya siapa yang pernah dan mampu melawan ilmu pedang yang luar biasa ini. Apalagi serangan ini menggunakan setaker tenaga dan seluruh perbendaharaan ilmu yang pernah dia yakinkan, tekadnya hendak mengadu jiwa lagi. Keruan Ji Bun dibikin kaget juga, lekas dia mundur setapak. "Cret", baju di depan dada tak urung tergores sobek sepanjang satu kaki.

Mendapat angin, Kho Tay-seng bertambah beringas, sebat sekali gerak geriknya seperti bayangan, secepat kilat sekaligus dia lancarkan serangan membadai, setombak sekitar gelanggang, merupakan sasaran empuk bagi tajam pedangnya.

Ji Bun dipaksa mundur tujuh kaki, demikian pula anak buah Ngo-hong-kau yang berkepandaian lebih tinggi juga menyurut mundur setapak, namun lekas sekali mereka sudah merubung maju, karena dikira mendapat peluang untuk mengerubut bersama.

Hampir meledak dada Ji Bun, di saat lawan berhenti setelah habis melancarkan delapan belas kali serangan pedang, secepat kilat dia mendesak maju selicin belut menyelinap ke dalam liang, dia lancarkan Tok-jiu-ji-sek.

"Aduh ........" pekik kesakitan yang mengerikan terdengar, pedang terlempar, Kho Tay seng sendiri terjungkir balik. Namun pada waktu yang sama, berbagai senjata tajam juga serempak menyambar ke arah Ji Bun selebat hujan badai.

Mendadak Ji Bun melambung tinggi ke tengah udara, maka terdengarlah suara berdering senjata yang beradu di bawah kakinya, di tengah udara tubuhnya terputar sambil meliuk, dengan gaya menukik dia menyerang dari atas, kekuatan serangan ini sungguh lihay luar biasa.

Jeritan menyayat hati memekak telinga, tujuh delapan orang kontan roboh mandi darah. Begitu tubuh meluncur turun dan menancapkan kaki, segesit kera dia terus menubruk ke arah orang yang bergerombol lebih banyak, di mana kaki tangannya bergerak, seketika terjadilah pembantaian besar-besaran. Pekik seram saling susul menegangkan urat syaraf. Keruan anak buah Ngo-hong-kau yang masih hidup menjadi ketakutan, bagai tikus lari sipat kuping.

Nafsu Ji Bun sudah menggila, orang-orang Ngo-hong-kau ini tak ubahnya ayam dan anjing dalam pandangannya. Di mana tangannya bergerak, di situ manusia terbabat roboh tak bernyawa. Hanya sekejap saja suasana gaduh dari jerit tangis manusia seketika sirap. Manusia bergelimpangan memenuhi lembah, semua tubuh sudah tak bernyawa lagi, untuk pertama kali inilah sejak Ji Bun mengembara di dunia persilatan membunuh orang sedemikian banyaknya.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang