Tanpa terasa Ji Bun juga menyurut mundur ke samping Ciang Wi-bin, matanya melirik penuh tanda tanya.
Tampak seorang paderi tua bertubuh kurus kering dan beralis putih, wajahnya bersih dan agung. Kedua matanya terpejam, duduk bersimpuh di atas kasur bundar yang dipikul oleh empat Hwesio bertubuh tinggi besar. Pelan-pelan mereka muncul dari dalam pendopo sana. Seluruh paderi sama bersabda serta membungkuk hormat menyambut kedatangannya.
Kasur bundar itu diturunkan di depan undakan, dengan laku hormat, keempat Hwesio pemikulnya lantas mundur dan berdiri berjajar di belakang. Dengan perasaan kebat-kebit Siau-lim Ciangbun maju memberi hormat: "Tecu tidak becus, sampai mengejutkan Suco yang mulia."
Paderi tua beralis putih berbadan kurus sedikit angkat tangan, namun tetap tidak bersuara. Suasana kembali menjadi hening, suara gentapun telah berhenti.
"Tak nyana bangkotan tua ini masih hidup," demikian gumam Ciang Wi-bin, "pantas pihak Ngo-hong-kau tidak berani mengusik Siau-lim-si."
Menegas alis Ji Bun, tanyanya: "Bagaimana penyelesaiannya?"
Ciang Wi-bin menepekur sebentar, katanya: "Terserah bagaimana keinginan mereka, yang terang peristiwa ini harus segera dibereskan."
Maka berkatalah paderi tua beralis putih tadi, suaranya tidak keras, namun setiap patah katanya tajam berisi, anak telinga peka tergetar: "Paderi tua Hoan-ceng, sudah tiga puluh tahun tidak pernah ikut campur urusan duniawi, tak terduga hari ini terseret juga ke dalam pertikaian Bu-lim. Tempat suci dan bersih ini pantang dikotori, apakah kedua Sicu tidak keterlaluan?"
Baru saja Ciang Wi-bin hendak buka mulut, Ji Bun sudah mendahului menjawab: "Apakah Lo-siansu sudah tahu sebab musabab dari pertikaian ini?"
"Ya, aku sudah tahu."
"Mohon tanya bagaimana Lo-siansu hendak menyelesaikan soal ini?"
"Apa yang terjadi harus diselidiki, Sicu berdua harap mundur dulu, tunggulah jawaban kami."
"Wanpwe berharap sekarang juga hal ini dibicarakan."
"Tidak mungkin, paling tidak harus makan waktu beberapa hari."
"Wanpwe tidak bisa terima."
"Lalu apa yang Siau-sicu ingin lakukan?"
"Sebelum urusan ini beres, Wanpwe tidak akan pergi dari Siau-lim-si."
Kedua mata paderi tua yang terpejam mendadak terpentang, dua jalur sorot mata yang berkilau laksana kilat menatap muka Ji Bun. Jantung Ji Bun seperti terpukul, serta merta kakinya menyurut mundur setindak. Dari pancaran sinar mata paderi tua ini Ji Bun dapat mengukur betapa tinggi taraf kepandaian silat dan Lwekang paderi tua ini. Suasana kembali tenggelam dalam keadaan tegang dan mencekam.
Tiba-tiba paderi tua beralis putih itu memejamkan mata dan bergumam: "Sang Buddha maha bijaksana, tiga puluh tahun Tecu bersemadi menghadap tembok, namun tetap mempunyai pikiran kusut dan terbuai oleh perasaan keduniawian ......"
Mendadak Siau-lim Ciangbun berlutut dan menyembah, serunya: "Dosa Tecu beramai memang terlalu besar."
Sudah tentu murid-murid Siau-lim yang lain mengikuti perbuatan Ciangbunjin, mereka ikut berlutut dan menyembah berulang-ulang, suasana yang semula tegang berubah menjadi khidmat.
"Paman," kata Ji Bun memandang Ciang Wi-bin, "bagaimana baiknya?"
Pikiran Ciang Wi-bin sudah tenang kembali, katanya: "Marilah kita selesaikan dulu urusan besar lain yang lebih penting."
"Urusan besar?'' Ji Bun menegas. "Baiklah."
Dengan suara berat Ciang Wi-bin berkata kepada paderi tua alis putih: "Siansu adalah paderi agung, terpaksa melanggar pantangan demi menjernihkan suasana, biarlah Wanpwe berdua mundur secara teratur. Tapi demi keselamatan umat persilatan umumnya, harap dalam jangka lima hari dapat memberi jawaban pasti kepada kami, sekarang Wanpwe berdua sementara mohon diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Ficción GeneralWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...