28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter

2.4K 47 1
                                    

Ji Bun menelan air liur sekali, timbul perasaan dingin dari relung hatinya, katanya kemudian: "Apakah ada kesalahan paham?"

"Salah paham apa? Hm, yang jelas dendam berdarah!"

"Dendam berdarah?" teriak Ji Bun sembari mundur selangkah pula, poci dan cangkir teh di atas meja sama menggelinding jatuh keterjang pantat Ji Bun. Sungguh peristiwa yang sukar diterima oleh akal sehat bahwa di antara suami isteri bisa terjadi dendam berdarah? Serta merta dia teringat kepada Siangkoan Hong, dia pernah bilang punya dendam kesumat terhadap Ji Ing-hong yang merebut isteri dan membunuh anaknya, mungkinkah dia ..... tak tertahan ia berteriak tanpa sadar: "Taybo kenal ...."

"Aku bukan Taybo," bentak Khong-kok-lan bengis.

Ji Bun angkat pundak, sesaat dia kememek, apa boleh buat dia mengubah panggilan: "Apakah So-cianpwe kenal Siangkoan Hong?"

"Siangkoan Hong? Belum pernah dengar."

Ji Bun melengak, agaknya dugaannya meleset, segera dia bertanya pula: "Bolehkah jelaskan duduk persoalan yang sebenarnya?"

"Kau boleh tanya kepada bapakmu."

"Dia ..... beliau sudah ...... meninggal."

"Apa? Ji ing-hong sudah mampus?"

"Ya", sahut Ji Bun, "terbunuh oleh musuh yang tidak dikenal."

Gemetar keras sekali sekujur badan Khong-kok-lan So Yan, tanyanya: "Kapan kejadiannya?"

"Sepuluh hari yang lalu."

"Bagus sekali, memang setimpal dia mampus...."

Mendelik Ji Bun, mengingat orang adalah isteri tua ayahnya, mulutnya tetap terkancing saja, betapapun dirinya adalah anak muda yang harus tetap hormat terhadap orang tua, bukan mustahil di balik peristiwa ini ada rangkaian cerita yang menakutkan? Dari mana mungkin antara suami isteri bisa terjalin dendam berdarah? Sayang sekali sejak kecil dirinya hidup secara terisolir, mengenai seluk beluk keluarga sendiripun tidak jelas. Setelah dewasa dia diperintahkan berkelana dan langsung menuju Kayhong untuk melamar puteri keluarga Ciang. Celakanya keluarga serta seluruh penghuni Jit-sing-po tahu-tahu telah hancur lebur, semuanya gugur melawan para penyerbu sehingga segala sesuatu semakin kabur.

Pada saat itulah, bocah tadi tiba-tiba muncul lagi, dia masuk dari luar kamar, mimik wajah Khong-kok-lan So Yan yang menakutkan dirangsang oleh emosinya tadi segera lenyap begitu bocah ini muncul, tanyanya dengan ramah dan lembut: "Siau-po, kau harus berjaga di luar sana."

"Bayangan tadi muncul kembali. Kalau tidak salah menguntit dia," sahut bocah itu sambil menuding Ji Bun.

Tergerak hati Ji Bun, siapakah yang menguntit dirinya? Mungkin Kwe-lo-jin? Kalau demikian mungkin pemilik gedung ini memang bukan Biau-jiu Siansing, tapi .......

"Siau-po, kau jaga di luar saja."

"Untuk apa dia kemari?" tanya anak itu.

"Nanti kuberi tahu padamu."

Bocah yang bernama Siau-po memang penurut, segera ia berlari keluar, bayangannya lenyap ditelan kegelapan, usianya masih begitu kecil, namun gerak-geriknya amat cekatan, tak tertahan Ji Bun bertanya: "Siapakah dia?"

"Kau tidak perlu tahu," sahut Khong-kok-lan So Yan, "kau masih ada urusan?"

Ji Bun ingin tanya liku-liku persoalan ini supaya jelas, namun dia juga tahu pertanyaan akan sia-sia. Nyonya ini jelas tak mau menjelaskan, yang terang ayahnya sudah meninggal, peduli bagaimana duduk persoalan sebenarnya, anggap berakhirlah segala dendam kesumat, kelak kalau ibunya berhasil ditemukan dapat tanya kepada beliau saja, namun bayangan Biau-jiau Siansing masih melekat dalam benaknya.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang