20. Bu-lim-siang-koay

2.5K 51 2
                                    

Lekas ia keluarkan obat penawat racun terus dijejalkan ke mulut Thian-thay-mo-ki, seiring dia tutuk pula beberapa Hiat-to dibadannya. Kira-kira segodokan air mendidih, pelan-pelan Thian-thay-mo-ki mulai bergerak lalu membuka mata, setelah melihat keadaan sekitarnya, segera ia meloncat bangun, katanya dengan penuh haru: "Dik, kau masih hidup? betapa besar perhatiannya, sungguh tak terlukiskan dengan kata-kata.

Ji Bun juga amat terharu, katanya, "Cici juga tidak apa-apa?"

"Aku tidak apa-apa. Mana Hwesio gede yang bergelar Thong-sian itu? Untung dia muncul tepat pada waktunya, kalau tidak pasti kau sudah binasa di tangan komandan ronda Wi-to-hwe tadi."

"Waktu aku siuman keadaan sunyi senyap tak kelihatan seorangpun."

Thian-thay-mo-ki merasa dadanya dingin, waktu ia menunduk, seketika mukanya menjadi merah, cepat ia membetulkan bajunya yang sobek dan berkata: "Dik, tanganmu ternyata tidak cacat?"

Karena rahasia sudah terbongkar, terpaksa Ji Bun bicara terus terang: "Cici, soalnya tanganku teramat beracun....."

"Apa, teramat beracun?" Thian-thay-mo-ki menegaskan dengan kaget.

"Benar, setelah aku meyakinkan semacam ilmu beracun yang sudah lama putus turunan, siapa saja bila tersentuh kulitnya, segera racun akan menyerang jantung dan kematian, sang korban tak memperlihatkan tanda yang mencurigakan, namun bagi orang yang mengerti soal racun dengan cepat akan dapat diketahuinya."

"Pantas kau melarang orang menyentuhmu. O ya. sekarang kuingat seseorang, selama ini kulupa memberitahu padamu."

"Siapa?" tanya Ji Bun.

"Seorang nyonya berpakaian hitam yang berwajah welas asih."

Tegak alis Ji Bun, katanya heran dan bingung: "Nyonya berbaju hitam, siapa namanya?"-

"Entahlah, dia tidak memperkenalkan diri, kukira kau mengenalnya," lalu Thian-thay-mo-ki menceritakan kejadian yang dialaminya dulu.

Serius dan penuh perhatian rona muka Ji Bun, lama sekali baru dia bersuara dengan penuh emosi: "Wajahnya welas asih?"

"Ya, secerah sinar surya di pagi hari pada musim semi."

Perawakannya sedang? Mungkinkah.......

"Siapakah dia?"

"Ibuku!" jawab Ji Bun. "Tapi, ah, tak mungkin dia meninggalkan diriku terkapar begitu saja. Lalu apa pula yang dikatakannya?"

"Tidak ada, dia tidak berkata apa-apa lagi."

Ji Bun tenggelam dalam alam pikirannya, ia kecuali ayahnya hanya ibunya saja yang tahu akan rahasia tangannya vang beracun, namun ibunya tak pernah memakai baju hitam, begitu besar kasih sayangnya terhadap dirinya, umpama dia salah periksa dan menyangka dirinya sudah mati, tak mungkin dia berpesan kepada orang lain untuk mengurus jenazahnya, lalu siapakah dia? Suatu teka teki yang meresahkan hati pula. Setelah berpikir pula sebentar, tetap tidak menemukan jawabannya, terpaksa dia, berkata dengan rawan:

"Sudahlah, sementara tak urus persoalan ini, Cici, untuk sementara biarlah kita berpisah di sini saja."

Berubah wajah Thian-thay-mo-ki, suaranya gemetar: "Dik, kau hendak berpisah dengan aku? Kau tak sudi berteman denganku lagi?"

"Tidak, Cici jangan salah paham, aku ada urusan penting......."

"Apa aku tak bisa membantu."

"Tidak, buat apa kau menempuh bahaya."

"Menempuh bahaya? Aku malah ingin ikut. Ke mana? Menyelesaikan urusan apa?"

Serba susah Ji Bun dibuatnya, sikap dan kesannya terhadap Thian-thay-mo-ki sudah jauh berubah, setelah bergaul sekian lama ini, disadarinya bahwa kesan buruknya dulu ternyata tidak berdasar sama sekali, berbagai peristiwa telah menjalin hubungan mereka semakin dekat dan intim.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang